Oleh Agusta
Prihantoro, Mahasiswa Sejarah, Unnes
Desa
wisata Talunkacang, terletak di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota
Semarang. Desa yang terletak di atas deretan pegunungan ini memiliki dua
destinasi wisata unggulan yang menawan, yaitu Gua Kreo dan Waduk/Dam
Jatibarang. Pemerintah Kota Semarang, mengembangkan kawasan ini menjadi tempat
wisata yang indah dengan mengoptimalkan daya dukung masyarakat desa dalam
kelompok masyarakat sadar wisata (Pok Darwis). Sehingga destinasi
wisata gua dan waduk memiliki nilai plus dengan adanya simbiosis mutualisme dengan
masyarakat. Beberapa usaha kecil dan menengah seperti usaha rumahan membuat
tape singkong, kerajinan tangan dari bambu, dan warung-warung makanan
menggeliat seiring bertambah ramainya pengunjung. Desa ini dan masyarakatnya, sejak
beberapa tahun silam telah menjadi desa binaan civitas akademika Universitas
Negeri Semarang (Unnes). Berbagai program yang menumbuhkan daya dukung wisata,
oleh Unnes dilaksanakan di sini. Pemberdayaan masyarakat Talunkacang (secara
umum Kandri), tetap dilakukan hingga sekarang oleh Unnes. Seperti acara yang
dibuat oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Penelitian (UKM-P) Unnes berjudul Narescamp
(National Research Camp) dipusatkan di Desa Wisata Kandri, Dukuh
Talunkacang, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Semarang sejak 17-19
Oktober 2014.
Acara
bertajuk pengabdian masyarakat ini diikuti oleh berbagai universitas di
Indonesia, seperti Universitas Negeri Semarang, Universitas Diponegoro,
Universitas Sebelas Maret, Universitas Jember, Universitas Negeri Makassar,
Universitas Wakhid Hasyim, dan lain sebagainya. Saya tergabung dalam kelompok
kecil mahasiswa Unnes, mengadakan penelitian, kajian, dan pengabdian. Acara yang bertujuan memberdayakan masyarakat
Talunkacang, Kelurahan Kandri ini, menjadi lebih menarik karena salah satu
rangkaian kegiatannya adalah field trip ke kawasan Gua Kreo, tak jauh
dari perumahan penduduk. Sepanjang jalan dari home stay menuju destinasi
wisata Gua Kreo, saya melihat kanan kiri jalan raya Talunkacang tampak rumah
warga berjajar dengan rapi. Setiap halaman rumah ditanami dengan beberapa tanaman
buah terutama mangga. Juga saya jumpai tanaman rambutan dan kelengkeng.
Sampan Diatas Gunung, Anomali Budaya
Talunkacang
Hal menarik yang saya
lihat sepanjang jalan menuju Gua Kreo adalah beberapa kapal kecil (sampan) yang
teronggok di depan rumah warga. Kondisinya masih bagus, catnya masih nampak
terang, mengindikasikan bahwa sampan-sampan tersebut buatan baru. Sampan di
atas pegunungan semacam ini menjadi wajar ketika realitanya pemerintah Kota
Semarang terus menggenjot pembangunan Waduk Jatibarang. Nampaknya pemerintah
Kota Semarang berupaya ingin segera terciptanya masyarakat nelayan “gunung”
pada masyarakat Talunkacang, yang terletak di pinggir waduk. Saya kira
pengadaan sampan baik secara kolektif oleh masyarakat maupun oleh pemerintah
bukan hal yang sulit. Hal tersulit yang saya duga adalah mengubah budaya
masyarakat pegunungan yang agraris ke masyarakat nelayan. Jika proyek pembuatan
waduk sudah sempurna dan upaya “nelayanisasi” masyarakat Talunkacang sudah
mulai digencarkan, saya yakin akan banyak penelitian sosial-budaya (etnografi)
yang bermunculan bertemakan “studi kasus, perubahan masyarakat petani menjadi
masyarakat nelayan di Talunkacang.”
Jika menganut pendapat
Toynbee bahwa budaya merupakan jawaban atas tantangan alam, maka konsepnya
dapat kita lihat di desa ini. Alam sudah berganti (atau mungkin tepatnya
“diganti”) dari batu dan tanah gembur menjadi air berombak dan ber-ikan.
Masyarakat ditantang untuk berubah, terutama oleh pembuat kebijakan pembangunan
Waduk Jatibarang. Namun yang perlu diingat, masih berdasarkan pendapat Toynbee,
masyarakat yang tidak mampu menjawab tantangan alam (bersinergi/beradaptasi)
akan terseleksi atau termarjinalkan dari peradaban. Saya yakin merubah budaya
bukan perkara yang gampang dan tanpa efek. Terlebih lagi dampaknya bisa sangat
riskan. Pemerintah dan pemerhati lain dalam kasus di Talunkacang adalah civitas
akademika Unnes, perlu meminimalisir dampak yang terjadi dalam proses
“perubahan” budaya di sini. Atau masyarakat menjadi kalang-kabut tidak keruan
karena “menjawab tantangan alam.”
Kreo Dalam Tradisi Tutur
Mbah Sumari (?), salah
seorang petugas jaga di kawasan obyek wisata Gua Kreo menuturkan “sejarah”
terbentuknya Gua Kreo kepada saya ketika field trip ke lokasi. Pembawaannya
tampak kalem dan berwibawa, mengenakan blangkon wulung gaya Mataraman,
dia menyampaikan dengan berapi-api cerita tutur masyarakat sekitar Kreo kepada
para pengunjung tepat di depan mulut Gua Kreo. Diceritakan bahwa suatu ketika
Sunan Kalijaga diperintahkan oleh sidang para wali untuk mencari kayu jati ke
hutan belantara di kawasan barat Demak yang akan digunakan sebagai saka guru
(tiang penyangga) masjid. Sang wali yang dikenal sebagai wali yang memiliki
kesaktian dan keutamaan ini, menebang pohon jati di suatu kawasan hutan belukar
di barat Demak. Namun ketika pohon jati yang sudah ditebang itu jatuh,
glondongan kayu tersebut “ngalih” atau berpindah dengan sendirinya.
Walaupun dikejar tetap berpindah-pindah dengan sendirinya. Sang wali kemudian
memberikan nama wilayah tersebut dengan nama Jatingaleh yang berarti
pohon jati yang berpindah.
Pengejaran terhadap
pohon jati yang berpindah-pindah tersebut tetap dilakukan, sampai suatu tempat
sang sunan tidak melihat glondongan kayu jati tadi. Tempat tersebut diceritakan
menjadi tempat bersembunyinya glondongan kayu jati, dan kini dinamakan Deliksari
(Delik : bersembunyi). Dalam pengejaraan di tengah malam, sang sunan
mendengar orang menumbuk padi di tengah malam. Karena keheranan, sang sunan
kemudian mengira bahwa suara tersebut adalah orang sedheng (gila) yang
sedang menumbuk padi. Tempat itu kemudian disebut Sadeng. Seterusnya,
sang sunan mendengar azan menandakan bahwa waktu sudah subuh. Sang sunan
kemudian mengambil air wudu dan setelahnya mengepung glondongan kayu jati yang
berpindah-pindah dan menangkapnya. Tempat mengepung tersebut kemudian disebut
dengan nama Jatikalang (kalang : terhalang). Glondongan kayu jati yang
sudah tertangkap kemudian dihanyutkan di suatu sungai. Namun tersangkut dan
tidak keli (tidak hanyut di air).
Sunan Kalijaga ingin
bertawasul, berdoa kepada Tuhan guna meminta petunjuk terkait permasalahan ini.
Dia kemudian membuat gua di sebuah dinding bukit yang akan menjadi tempatnya
bertawasul. Namun belum terlalu dalam pembuatannya, dia kepergok oleh masyarakat
sekitar. Sehingga pembuatan guanya dihentikan. Setelah itu muncul empat ekor monyet
berwarna putih, hitam, merah, dan kuning yang datang menyampaikan maksudnya
kepada sang sunan. Mereka berjanji akan menjaga glondongan kayu jati yang tidak
keli. Sehingga Sunan Kalijaga hanya membawa glondongan kayu jati yang
kecil ke Demak. Namun kayu tersebut tidak cukup untuk membuat satu tiang
penyangga masjid, sehingga harus disambung dengan tatal.
Pembangunan masjid
dilakukan hanya dalam waktu semalam dengan tergesa-gesa (Jawa : demumukan).
Sehingga tempat tersebut kemudian disebut dengan nama Demak. Sedangkan tempat
Sunan Kalijaga bertemu dengan empat ekor monyet yang berjanji akan “ngreho”
atau menjaga glondongan kayu jati yang lebih besar kemudian disebut dengan “Kreo”
dan gua bikinan sang sunan disebut Gua Kreo. Mbah Sumari menambahkan bahwa jika
beruntung, pengunjung bisa melihat “penampakan” makhluk gaib monyet putih yang
dituturkan menjaga glondongan kayu jati tersebut.
Perlunya Analisis Historis dan Semiotis
Saya
melihat bahwa tradisi tutur diatas tidak lebih dari dongeng belaka. Nampaknya
budaya othak-athik-mathuk masyarakat Jawa lebih dominan
mewarnai tradisi tutur ini. Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa tradisi tutur
meskipun bukan sejarah dapat digunakan sebagai sumber sejarah setelah dilakukan
kritik sumber dan ditafsirkan maknanya. Masyarakat Jawa memang senang membuat
cerita simbolik, terbingkai dalam imajinasi tinggi, dan kultur yang kuat.
Logika berpikirnya sangat sederhana. Suatu realita dicari awal mula sekenanya (waton
pas/mathuk), yang sesuai dengan citarasa budaya itu sendiri. Cerita tentang
Jatingaleh, Deliksari, Sadeng, Jatikalang, dan Kreo seperti yang sudah saya
sampaikan diatas, bisa jadi timbul dari pertanyaan dan pemikiran sederhana.
Kenapa ada daerah namanya Jatingaleh, Deliksari, Sadeng, Jatikalang, dan Kreo?
Ahhh, ceritanya begini...! Oh ini pasti karena jatinya berpindah, oh ini pasti
karena jatinya bersembunyi, oh ini pasti dia orang gila, oh ini pasti karena
dikerubung untuk ditangkap, oh ini pasti karena itu, oh itu pasti karena ini.
Melegendakan
asal-usul nama suatu tempat barangkali merupakan kebiasaan orang Jawa. Legenda/dongeng/mitos
dan sebagainya merupakan jawaban pra-logis dari pertanyaan logis. Namun jawaban
yang pra-logis tersebut, yang oleh orang Jawa dibumbui dengan citarasa budaya,
mengandung simbol-simbol tertentu. Sehingga ada kemungkinan bahwa
legenda/dongeng/mitos dan sebagainya, bisa jadi merupakan bias dari ingatan
kolektif masyarakat pada masa lalu. Sehingga dengan menganalisis kritis
bias-bias tadi, akan dapat disingkap fakta-fakta tertentu tentang suatu
masyarakat.
Islamisasi Kawasan Konsentrasi
Hindu-Buddha di Pedalaman Jawa
Sebelum
menganalisis “kemungkinan” adanya aneksasi Hindu-Buddha di kawasan Gua Kreo,
ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu tentang latar belakang historis awal
masa Islam di Jawa. Tradisi tutur tentang Gua Kreo ini mengambil setting waktu
pada saat pembangunan Masjid Agung Demak. Menurut Nurhadi Rangkuti (1998),
pembangunan Masjid Agung Demak tidak dilakukan dalam waktu satu malam seperti
dalam tuturan masyarakat. Bahkan dari beberapa data yang dia kaji, pembangunan
masjid dilakukan secara bertahap. Dalam tulisannya (1998) berjudul “Saka
Guru, Golongan Menengah”, dia mengidentifikasi setidaknya terdapat tiga (3)
tahap pembangunan masjid hingga bentuknya yang sekarang.
Pertama,
menurutnya (sesuai teks Babad Demak) Masjid Agung Demak ditandai dengan
angka tahun lawang trus gunaning jalma, atau tahun Jawa 1399 (1447
Masehi). Pembangunan dimulai dari pemasangan empat sakaguru, kemudian
bagian-bagian lainnya, termasuk puncak masjid. Kedua, berdasarkan
lambang kura-kura, Nurhadi Rangkuti menafsirkan, lambang tersebut menunjukkan
tahun Jawa 1401 (1479 M). Ketiga, berdasarkan candrasangkala
(kronogram) lainnya yang tertera pada kayu di pintu gerbang utama, menyiratkan
angka tahun Jawa 1428 (1506 M) atau pada masa Sultan Trenggana. Jadi, dapat
disimpulkan pembangunan ini dilakukan sejak 1447-1479-1506 M. Tidak satu malam!
Pembangunan pertama pada 1447 M,
merupakan masa ketika Majapahit masih berdiri. Tatanan masyarakat Hindu-Buddha
di wilayah pedalaman masih sangat kuat mengakar, dibanding dengan masyarakat
pesisir yang sudah mendapat pengaruh Islam. Keterbukaan secara ruang dan
karakter masyarakat pesisir yang mudah berubah ‒karena keintensifan difusi
budaya‒, menyebabkan masyarakat pesisir lebih dinamis. Dengan sigap, masyarakat
Islam di pesisir memanfaatkan gonjang-ganjing politik Istana
Majapahit untuk membentuk suatu konsensus kepemerintahan di wilayah Bintara,
Demak. Wilayah Bintara dipilih bukan bahasan utama esai ini, namun yang pasti
Bintara memiliki posisi strategis dalam usaha membina kekuatan politik.
Buktinya, kerajaan yang baru seumur jagung ini pernah mengerahkan armada
lautnya untuk menggempur Malaka.
Di satu sisi, proses Islamisasi Jawa
terus digencarkan menuju pedalaman yang memiliki konsentrasi masyarakat
Hindu-Buddha relatif kuat. Kita tengok dalam Babad Kediri, Sunan Bonan atas
bantuan ulama Giri menggempur wilayah pedalaman Kediri. Menurut Agus Sunyoto
(2012) dalam Atlas Walisongo, penggempuran kekuatan politik Hindu-Buddha
di Kediri, terabadikan dalam tradisi tutur Jin Lodhaya. Di mana dalam
pertempuran tersebut, Lodhaya menyatakan takluk kepada Sunan Bonang. Jin
Lodhaya merupakan simbolisasi tokoh pemimpin Hindu-Buddha, yang terbiaskan
dan menjadi tradisi tutur. Hingga kini, dalam cerita masyarakat, Lodhaya merupakan
sosok gaib yang mbahureksa daerah tersebut.
Islamisasi atas daerah yang dahulu
merupakan pusat peradaban Hindu-Buddha masa klasik (Mataram kuno), juga
dilakukan. Dalam Babad Kedu, Sunan Kedu/Ki Ageng Makukuhan, menjadi agen Islamisasi
kawasan ini. Bahkan lebih jelas lagi bahwa Islamisasi di Kedu, seperti
diungkapkan dalam Babad Kedu, dilakukan atas prakarsa Sunan Kalijaga secara
langsung. Ini menunjukkan betapa sangat kuat posisi Hindu-Buddha di kawasan
Kedu, sehingga para wali memrakarsai secara langsung kegiatan Islamisasi.
Proses Islamisasi Kedu bahkan terus
berlangsung hingga zaman Sultan Agung di Mataram (Islam), seperti diceritakan
dalam tradisi tutur di Somolangu, Kebumen. Pemimpin pertama Pesantren Somolangu
yaitu Syeh Abdul Kahfi Awwal, dimitoskan berasal dari Hadramaut. Oleh Sultan
Agung, dia diperintahkan untuk menempati daerah yang kini bernama Somolangu.
Jika melihat toponimi desa-desa di sekitar Somolangu, ada beberapa desa yang
diawali dengan nama “candi”, seperti Candiwulan, dan sebagainya. Di
kawasan ini pula ditemukan dua buah Yoni era Mataram kuno di sungai. Ada
kemungkinan Yoni tersebut sengaja dibuang untuk menghilangkan jejak Hindu-Buddha
di kawasan Kebumen. Sehingga kalau dicermati, masa sejarah di Kebumen muncul
dengan tiba-tiba (Jawa : mak bedunduk) setelah masa Islam. Padahal
sejarah sendiri merupakan kontinuitas atau kelanjutan dari masa sebelumnya.
Wilayah Semarang Hutan Belantara atau Kawasan
Konsentrasi Hindu-Buddha?
Kembali pada tradisi tutur
masyarakat sekitar Gua Kreo. Masyarakat (narasumber Mbah Sumari) cenderung
menyatakan bahwa pada saat pembangunan Masjid Agung Demak, kawasan Semarang
masih merupakan hutan belantara. Pernyataan ini sebenarnya sangat ahistoris,
dan tidak memiliki pijakan yang pasti. Adanya hutan belantara cenderung akan
mengasosiasikan bahwa kawasan tersebut tidak terjamah oleh manusia dan dihuni
oleh binatang-binatang buas. Namun fakta sejarah berbicara lain.
Pertama, wilayah
Semarang dan sekitarnya, justru merupakan kawasan Hindu-Buddha klasik awal
berdasarkan temuan-temuan arkhais. Candi Gedong Songo, beberapa candi di
Karangjati, dan reruntuhan candi di Limbangan, Kendal, merupakan bukti nyata
bahwa wilayah Semarang dan sekitarnya bukan wilayah hutan belantara. Sudah ada
masyarakat di kawasan ini jauh hari sebelum Kesultanan Demak berdiri. Apalagi
mengingat wilayah Semarang merupakan kawasan pesisir yang relatif terbuka bagi
masyarakat luar. Saya sama sekali tidak percaya dengan asumsi tidak berdasar
yang menyatakan bahwa sebelum Demak berdiri, kawasan Semarang merupakan kawasan
hutan belantara. Bisa jadi malah kebalikannya, bahwa Demak merupakan daerah rawa-rawa
atau dapat dikatakan lebih muda dibanding Semarang. Mengingat pendangkalan
secara sempurna Selat Murya/Muria yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Muria
baru dapat dirasakan pada abad 17. Sementara itu, Ki Ageng Pandanaran I yang
membuka daerah sedimentasi di Bubakan, Jurnatan, dan Kanjengan pada tahun
1500-an.
Kedua, mengerucut
di Gunungpati dan sekitarnya. Ada beberapa laporan penemuan artefak
Hindu-Buddha di kawasan ini, salah satunya di Desa Patemon, Kecamatan
Gunungpati. Di desa ini pernah ditemukan genta pendeta yang merupakan sarana
kelengkapan dalam ritus agama Hindu. Temuan ini disimpan dan diinfentarisasi
oleh Museum Ronggowarsito, Semarang. Ini menunjukkan bahwa di kawasan ini
“paling tidak” pernah hidup suatu masyarakat dengan kepercayaan Hindu-Buddha.
Lebih terang lagi dalam buku Semarang Sepanjang Jalan Kenangan,
merupakan kumpulan tulisan yang dieditori oleh Djawahir Muhammad, dinyatakan
bahwa Pulau Tirang (Bergota sekarang) dan Candibaru-Candilama merupakan kawasan
konsentrasi Hindu-Buddha. Jelas bahwa Semarang dan khususnya Gunungpati bukan
kawasan hutan belantara yang minus penduduk. Perlu ditegaskan bahwa sebelum sedimentasi
kawasan Semarang bawah sempurna pada 1500-an, kawasan Gunungpati berhadapan
langsung dengan laut (Jawa : ngongkang segara). Sehingga tidak menutup
kemungkinan wilayah pesisir ini telah dihuni oleh masyarakat, terutama yang
beraliran kepercayaan Hindu-Buddha.
Ketiga, beberapa
nama tempat/desa di wilayah Gunungpati dan sekitarnya, memiliki toponimi
berkaitan dengan Hindu-Buddha. Di Kecamatan Gunungpati, terdapat beberapa nama
desa yang “mungkin” memiliki kaitan dengan tradisi masa Hindu-Buddha. Walaupun
tidak berkaitan langsung, setidaknya ada indikasi bahwa Gunungpati pernah
berada dalam pengaruh Hindu-Buddha. Di kecamatan ini terdapat desa bernama
Sadeng. Entah sejak kapan desa ini diberi nama Sadeng, saya sendiri tidak
mengetahui dengan pasti. Namun nama Sadeng mengingatkan kita terhadap suatu
peristiwa bersejarah pada zaman Majapahit. Peristiwa Sadeng (pasadeng),
seperti dicatat dalam Pararaton, merupakan peristiwa pergolakan politik pasca
kematian Jayanegara/Kala Gemet (pada saat Bhre Kahuripan menjadi raja).
Pararaton mencatat sebagai berikut
ini :
“....Tumuli pasadeng. Sira Tadah patih amangkubhumi
agĕring sakarĕngan tan kawaça marĕk, anguswakĕn marĕk ring talampakanira
bhatâra asaha mangkubhumi, tan tinanggapan denira Bhre Koripan. ....Kĕcapira
Gajah Mada : Alĕmĕh siranakira, yen apatiha mangke. Lamun saking Sadeng agĕlĕm
apatih. .... Mangkin mangkat maring Sadeng....” (Serat Pararaton)
(“....Kemudian terjadi peristiwa Sadeng. Tadah yang menjadi patih mangkubumi menderita sakit, sehingga tak bisa menghadap, menyerahkan penghadapan kepada raja dan mengembalikan jabatan mangkubumi, akan tetapi tak dihiraukan oleh Bhre Kahuripan. ....Gajah Mada berkata : ananda tidak sanggup menjadi patih sekarang ini. Jika sudah kembali dari Sadeng hamba bersedia menjadi patih. ....Kini ia berangkat ke Sadeng....”)
(“....Kemudian terjadi peristiwa Sadeng. Tadah yang menjadi patih mangkubumi menderita sakit, sehingga tak bisa menghadap, menyerahkan penghadapan kepada raja dan mengembalikan jabatan mangkubumi, akan tetapi tak dihiraukan oleh Bhre Kahuripan. ....Gajah Mada berkata : ananda tidak sanggup menjadi patih sekarang ini. Jika sudah kembali dari Sadeng hamba bersedia menjadi patih. ....Kini ia berangkat ke Sadeng....”)
Saya tidak bermaksud melokalisasikan
Sadeng seperti yang dimaksud dalam Pararaton berada di Kecamatan Gunungpati,
Kota Semarang. Hanya saja saya melihat kemungkinan bahwa ingatan-ingatan
kolektif masyarakat pada masa lalu masih terakumulasi. Dalam hal ini saya
melihat kemungkinan bahwa ingatan kolektif masyarakat tentang suatu masa, di
mana pernah terjadi suatu pemberontakan daerah Sadeng di zaman Majapahit,
terabadikan sebagai nama sebuah desa. Mungkin saja, di suatu masyarakat yang
dahulu merupakan basis Hindu-Buddha. Nama-nama yang hampir mirip dengan Sadeng
juga banyak ditemukan di lain tempat. Seperti misalnya di Kebumen, ada daerah
yang dikenal dengan nama Sadang.
Selain Desa Sadeng, nama lain yang
mengingatkan kita dengan Hindu-Buddha adalah Desa Polaman. Kata Polaman akan
kita jumpai pada Pararaton yang menceritakan runtuhnya Singhasari dan
peperangan Tar-Tar melawan Jawa. Atau tepatnya setelah Jayakatwang berhasil
diruntuhkan dari tahta Singhasari. Pararaton menguraikan sebagai berikut :
“....Teka ring Jung Galuh Aji Katong angapus kidung
Wukir Polaman, wusing angapus kidung moksa. ....” (Serat Pararaton)
(“....Setelah Raja Katong –Jayakatwang‒ datang di Jung Galuh, menulis kidung Wukir Polaman, sesudah itu dia wafat. ....”
(“....Setelah Raja Katong –Jayakatwang‒ datang di Jung Galuh, menulis kidung Wukir Polaman, sesudah itu dia wafat. ....”
Nama Wukir Polaman seperti yang
disebut dalam Pararaton tersebut, adalah nama sebuah karya sastra kidung. Jadi
bukan nama tempat atau wilayah. Sekali lagi saya mengatakan, “mungkin” saja
memori kolektif masyarakat masih mengingat kejadian-kejadian seperti yang
diceritakan Pararaton, dalam tradisi tutur penamaan suatu desa. Sehingga desa
tersebut kemudian disebut dengan nama Polaman. Jika dahulu tidak terdapat
masyarakat penganut Hindu-Buddha, suatu kemustahilan desa tersebut disebut
dengan Polaman. Maka pernyataan bahwa Semarang secara umum merupakan kawasan
hutan belantara, sangat disangsikan.
Ada juga beberapa toponimi dukuh
(dibawah desa) yang mungkin memiliki kaitan dengan masa Hindu-Buddha. Seperti
nama dukuh di daerah Sumurrejo yang disebut dengan nama Karanggeneng. Nama ini
mengingatkan kita pada nama tempat yang disebut “Kagenengan” seperti
yang ada di Pararaton. Dua desa ke utara dari Sumurrejo, yakni Patemon, pernah
ditemukan artefak Hindu-Buddha seperti yang saya sebutkan diatas. Juga dalam
tradisi tutur masyarakat Kreo yang sudah saya tuliskan diatas, mengingatkan
saya pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Nama “Jatikalang” mengingatkan
saya pada kelompok marjinal “Kalang” yang memiliki keunikan pada struktur
masyarakat dan hubungan sosialnya.
Mengenai keunikan wong Kalang,
saya tidak akan membahasnya terlampau jauh. Uraian mengenai Kalang, dapat
ditelusuri pada beberapa jurnal yang khusus membahas Kalang secara mendalam.
Tulisan Warto dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha (UNS), Vol. XV, No. 1 Februari
2011 : 33-41, juga Mutiah Amini dalam Jurnal Humaniora (UGM), Vol. 18, No. 2
Juni 2006 : 157-164, juga Muslichin dalam Jurnal Paramita (Unnes), Vol. 21, No.
2 Juli 20111 : 164-178, menguraikan panjang lebar mengenai orang Kalang. Khusus
pada tulisan Warto yang berjudul “Kalang, Pesanggem, dan Sejarah Kaum
Marjinal di Kawasan Hutan Rembang”, saya menemukan uraian bahwa kelompok
Kalang sudah muncul pada zaman Hindu-Buddha. Kelompok Kalang dipekerjakan oleh
penguasa untuk mengelola dan menebang pohon-pohon jati yang akan digunakan
untuk keperluan tertentu.
Pada tulisan Muslichin yang berjudul
“Orang Kalang dan Budayanya, Tinjauan Historis Masyarakat Kalang di
Kabupaten Kendal”, lebih mengerucut lagi pada wilayah yang sangat dekat
dengan Gunungpati, yakni Kendal. Penulis (Muslichin) mengutip pendapat beberapa
ahli yang mengatakan bahwa Kalang merupakan bagian dari klasifikasi sosial
masyarakat Hindu-Buddha. Kelompok Kalang menempati hirarkhi paling bawah dalam
urutan tingkatan sosial. Kalang dianggap sebagai golongan candala dan paria
(out of kasta). Intinya bahwa kelompok masyarakat Kalang, menurut para
ahli, kemunculannya sudah ada pada zaman Hindu-Buddha. Bahkan beberapa ahli
antropologi berpendapat bahwa masyarakat Kalang merupakan sisa-sisa ras
Melanesia yang masih berada di Jawa dan secara sosial-budaya terpisah dengan
pendatang baru, masyarakat proto-deutro Melayu.
Adanya tempat yang disebut Jatikalang di
Gunungpati, mengindikasikan kuat bahwa ada juga kelompok Kalang di daerah ini.
Mengingat beberapa kilometer ke barat, di Kabupaten Kendal, juga terdapat
kelompok Kalang. Jika benar bahwa Kalang dianggap sebagai kelompok yang berada
di luar kasta, berarti di masyarakat Gunungpati kala itu, terdapat masyarakat
yang membagi kelompok-kelompok masyarakatnya dalam kasta. Tidak lain adalah
masyarakat Hindu. Meskipun demikian, kajian tentang Kalang di Gunungpati,
Semarang, juga perlu mendapat perhatian, mengingat pendapat yang mengatakan
bahwa Semarang pada zaman dahulu adalah hutan belantara. Warto dalam
tulisannya, mengungkapkan bahwa Kalang juga ditugasi membuka kawasan-kawasan
pemukiman baru di sekitar hutan. Di Gunungpati, terdapat Desa Bubakan, yang
dalam bahasa Jawa baru berarti “desa baru.”
Maka berdasarkan temuan-temuan
arkhais di Semarang, temuan-temuan artefak di Gunungpati, dan toponimi beberapa
tempat di Gunungpati, saya menyimpulkan bahwa Semarang dan khususnya Gunungpati
pernah menjadi basis Hindu-Buddha (kawasan konsentrasi Hindu-Buddha). Saya tidak
percaya bahwa Gunungpati atau Semarang utamanya, pada zaman dahulu (awal Demak
atau pada saat pembangunan Masjid Agung Demak) merupakan kawasan hutan
belantara. Jelas bahwa tradisi tutur yang disampaikan masyarakat Kreo sangat ahistoris.
Namun, saya yakin terdapat makna (simbol) tertentu yang berusaha dikelabui atau
disamarkan dalam tradisi tutur tersebut.
Seorang sunan, yang memiliki otoritas
keagamaan, hingga mengkhususkan diri ke kawasan Kreo menjadi pertanyaan
mendasar saya. Kedatangan Sunan Kalijaga ke Gunungpati (Kreo) bisa memiliki
tafsiran dua macam. Pertama, kedatangan Sunan Kalijaga bisa berarti
fisik. Maksudnya memang sosok sunan tersebut datang ke Kreo untuk tujuan
tertentu. Kedua, kedatangan Sunan Kalijaga dalam arti non-fisik.
Ajaran-ajaran dan kebesaran nama sunan tersebut sampai di kawasan Kreo.
Tafsiran tradisi tutur ini menjadi lebih logis apabila kedatangan Sunan
Kalijaga di Kreo (Gunungpati umumnya), dalam rangka menggiatkan Islamisasi atas
kawasan konsentrasi Hindu-Buddha di Gunungpati. Tidak hanya sekedar mencari
glondongan kayu jati seperti yang ada pada tradisi tutur. Kedatangan Sunan
Kalijaga ke Gunungpati juga dapat ditafisirkan dalam rangka meneguhkan posisi
Demak sebagai pewaris syah Majapahit.
Realitas pada saat pembangunan
Masjid Agung Demak (1447), merupakan masa-masa keruntuhan imperium Hindu-Buddha
di Jawa. Jika kita cermati, pada masa-masa ini terdapat banyak penggeseran
hegemoni Hindu-Buddha oleh Islam. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa
kedatangan Sunan Kalijaga seperti diungkapkan dalam tradisi tutur masyarakat
Kreo, juga dalam rangka “mengakhiri” hegemoni Hindu-Buddha di kawasan
Gunungpati atau Semarang umumnya.
Menggali Makna Tradisi Tutur
Pada tradisi tutur diatas,
diceritakan bahwa Sunan Kalijaga mendengar orang menumbuk padi di tengah malam.
Dan mengira hal itu dilakukan oleh orang gila (Jawa : sedheng). Sehingga
kawasan tersebut kemudian disebut Sadeng. Meskipun terkesan hanya
menghubung-hubungkannya, namun hal ini bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang
logis. Çiwa dan Parwati (Durga) dalam mitologi Hindu dilambangkan dengan lingga
dan yoni. Lingga (phallus) melambangkan sosok maskulin adalah sesuatu yang
silindris dan lonjong. Sedangkan Yoni melambangkan sosok feminis adalah sesuatu
yang lebar dan cekung (Jawa : dhekok). Penyatuan dua sosok tadi (Lingga
& Yoni) dalam kepercayaan Hindu menimbulkan kesuburan, kekuatan, dan
kesejahteraan.
Menumbuk padi pada zaman dahulu
dilakukan dengan menggunakan lesung. Piranti menumbuknya adalah alu.
Teknisnya butir padi diletakkan pada cekungan lesung, dan ditumbuk
berkali-kali dengan alu hingga kulitnya terkelupas dan menghasilkan
butir beras. Pada prinsipnya ini adalah wujud nyata dari lingga dan yoni.
Penyampai tradisi tutur mungkin bermaksud mengatakan bahwa tempat ini adalah
kawasan para pemeluk Hindu aliran Çiwa. Hanya dibingkai dalam simbol tertentu
yang sangat rapi. Pendapat ini perlu diperkuat dengan bukti arkhais yang harus
ditemukan di Sadeng dan sekitarnya. Jika tafsiran ini dapat diterima dan
dibenarkan, maka sesungguhnya sudah jelas bahwa kedatangan Sunan Kalijaga ke kawasan
Gunungpati dalam rangka Islamisasi. Bukan untuk mencari kayu jati seperti dalam
tradisi tutur.
Mengenai pohon jati dan glondongan
kayu jati yang ditebang Sunan Kalijaga, sesungguhnya dapat kita tafsirkan pula
menjadi lebih logis. Dalam budaya Jawa, pohon jati disebut juga sebagai kayu
taun (kayu tahun). Maksudnya pohon jati dapat bertumbuh terus menjadi besar
dan kuat sepanjang tahun, dengan umur hingga ratusan tahun. Akarnya tunggang,
jauh melesak di dalam bumi. Dan batangnya sangat kuat, mampu menopang
dahan-dahan yang banyak. Ini sesungguhnya dapat dianalisis sebagai suatu tamsil
atau perumpamaan. Jati bisa bermakna kepercayaan yang sudah mengakar kuat dan
berkembang pesat. Sehingga menebang pohon jati di sini dapat kita maknai
sebagai usaha menumbangkan kekuatan atau sendi-sendi kepercayaan lama.
Ini lebih logis, bahwa Sunan
Kalijaga memang “bertugas” dan/atau “ditugaskan” untuk mengakhiri hegemoni
kepercayaan lama yang sudah mengakar kuat pada masyarakat Jawa. Tafsiran ini
juga akan lebih cocok apabila kita melihat beberapa pendapat tentang asal-usul
penggunaan nama kalijaga. Beberapa sejarawan menghubungkan nama kalijaga
yang disandang Raden Said, dengan tempat tinggalnya ketika berada di
Cirebon, yaitu Kalijaga. Ini tentu saja maklum, mengingat Raden Said adalah
menantu dari Sunan Gunungjati. Lagi pula di Cirebon memang ditemukan beberapa
situs yang oleh masyarakat sekitar dipercaya sebagai petilasan Raden Said.
Beberapa sejarawan juga
menghubungkan nama kalijaga dengan istilah kaliyuga. Istilah kaliyuga
merupakan istilah pembagian zaman dalam mitologi Hindu-Buddha. Kaliyuga merujuk
pada zaman akhir dalam kepercayaan tersebut, yang akan ditandai dengan
kekacauan, kemunduran nilai-nilai dan norma, kemaksiatan, bencana alam, dan
sebagainya. Zaman Kaliyuga selalu akan diakhiri dengan adanya pralaya
(kiamat/kematian). Dan diikuti oleh kemunculan zaman baru serta tatanan hidup
yang baru pula. Pada kenyataannya Sunan Kalijaga atau Raden Said (secara umum
juga para penyebar Islam) memang hidup dalam tatanan masyarakat Hindu-Buddha
akhir. Di mana tatanan masyarakat Hindu-Buddha Majapahit sedang kehilangan
keteguhan sebagai sebuah masyarakat yang jauh lebih lama memiliki akar
ke-Nusantaraan, dibanding masyarakat baru yang muncul di sekitar kota-kota
pelabuhan di pesisir utara Jawa.
Kalijaga bisa berarti
sunan terakhir. Juga bisa pula berarti sunan yang bertugas mengakhiri hegemoni
Hindu-Buddha dengan konsep pralaya-nya. Serta menawarkan kondisi baru,
tatanan masyarakat baru yang lebih egaliter dan menjanjikan. Nampaknya pohon
jati yang dimaksud di sini adalah kepercayaan lama (Hindu-Buddha) yang berusaha
ditumbangkan oleh Raden Said atau Sunan Kalijaga, namun dengan susah payah dan
alot. Jati berpindah-pindah bisa bermakna masyarakat yang tidak berkenan
memeluk agama baru, yang memang secara politis terdesak oleh tekanan Sunan
Kalijaga.
Maka Sunan Kalijaga yang sedang
menebang pohon di daerah Jatingaleh sekarang, bisa bermakna Sunan Kalijaga
sedang menghancurkan kekuatan Hindu-Buddha di kawasan tersebut. Bisa jadi
bermakna politis, manakala kita melihat bahwa sunan tesebut diperintahkan untuk
menebang pohon jati di kawasan Semarang. Tentu saja dalam hal ini kita melihat
Demak sebagai sebuah kekuatan politik baru yang berusaha menegakkan kedaulatan
atas wilayah pesisir. Dan pada masa selanjutnya, nampak kita lihat fakta
menarik bahwa Demak menanan bawahan di Semarang (Ki Ageng Pandanaran), dan
menjadikan Semarang sebagai pelabuhan utama Demak. Mungkinkah pada masa akhir
Majapahit, wilayah Semarang dibawah penguasa Hindu-Buddha lokal, yang secara politis
berhubungan atau tidak sama sekali dengan Majapahit? Atau setidaknya terdapat
kelompok masyarakat Hindu-Buddha yang relatif solid, sehingga perlu dihancurkan
guna meneguhkan hegemoni Demak (Islam)?
Kreo Kehilangan Jejak Hindu-Buddha
Apabila
tafsiran-tafsiran diatas dapat kita terima (manakala sudah didukung bukti yang kuat),
maka kita dapat menyimpulkan bahwa Semarang merupakan basis Hindu-Buddha.
Terutama pada daerah-daerah yang dituturkan seperti dalam tradisi tutur
masyarakat Kreo, meliputi Jatingaleh, Deliksari, Sadeng, dan juga Kreo
(Talunkacang). Di mana Sunan Kalijaga memang berurusan langsung dengan
nama-nama tempat seperti yang dituturkan tersebut. Pernyataan ini harus
didukung oleh bukti-bukti historis, terutama kajian arkeologis di kawasan-kawasan
tersebut.
Khusus
pada Gua Kreo, menurut penuturan Mbah Sumari ketika bendungan belum dibuat,
terdapat air terjun tidak jauh dari lokasi gua. Adanya air terjun sebagai
sumber mata air, begitu pula terdapat gua yang dalam tradisi tutur memang digunakan
untuk bertapa Sunan Kalijaga, semakin mengindikasikan nilai kesakralan sekitar
Kreo. Tidak menutup kemungkinan, dahulu merupakan pusat para pertapa dan rśi,
yang menjadi kelompok kasta brahmana bagi masyarakat sekitar Kreo.
Pernyataan ini harus didukung oleh bukti-bukti arkeologis yang harus ditemukan
di sekitar Kreo. Namun nampaknya tidak terdapat bukti semacam ini di
Talunkacang, atau memang sengaja dihilangkan seperti pada kasus yoni
yang berada di Kebumen (sudah disinggung di atas).
Hal
yang menarik dari Gua Kreo adalah terdapat banyaknya monyet ekor panjang (Macaca
F sp). Ini mengingatkan kita dengan pura di Sangeh, Bali. Monyet seperti
ini juga kita jumpai berkeliaran liar di sekitar pura, sekaligus memang
dikeramatkan. Apakah memang benar bahwa kawanan monyet di sekitar Gua Kreo ini
sudah ada semenjak akhir Majapahit sebagaimana dituturkan dalam tradisi tutur
masyarakat Talunkacang yang mengatakan bahwa monyet-monyet ini ditugasi untuk ngreho?
Jika demikian adanya, berarti bahwa monyet-monyet ini, pada masa silam memang
dibiarkan hidup liar di sekitar kawasan yang disucikan (Gua Kreo), tak ubahnya
seperti di Sangeh, Bali. Atau dengan kata lain, kawanan monyet ini merupakan
sisa-sisa bukti bahwa Gua Kreo pada masa silam merupakan pusat Hindu-Buddha.
Barangkali
memang terkesan menghubung-hubungkan, akan tetapi paling tidak bisa membuka
jalan kemungkinan wacana bahwa Semarang pada tempo pra-Islam menjadi pusat
Hindu-Buddha. Dan khusus pada kawasan Kreo, nampaknya telah terjadi aneksasi
oleh kelompok Islam. Atau jika diksi aneksasi akan menimbulkan efek psikologis
yang tidak baik, paling tidak kelompok Islam telah menggunakan simbol-simbol
Hindu-Buddha untuk menggencarkan proses Islamisasi di sini. Dan dari sini, Kreo
memang telah kehilangan jejak-jejak Hindu-Buddha. Sejarah Kreo pra-Islam akan
kabur, selama sejarawan masih terpaku pada sumber-sumber seperti catatan dan
bukti-bukti arkeologis, tanpa menimbang betapa pentingnya tradisi tutur dalam
kajian seperti ini.
Semarang,
2 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar