Rabu, 02 September 2015

Tradisi Tutur Masyarakat Talunkacang (Kreo) Dalam Analisis Historis, Suatu Esai



Oleh Agusta Prihantoro, Mahasiswa Sejarah, Unnes

            Desa wisata Talunkacang, terletak di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Desa yang terletak di atas deretan pegunungan ini memiliki dua destinasi wisata unggulan yang menawan, yaitu Gua Kreo dan Waduk/Dam Jatibarang. Pemerintah Kota Semarang, mengembangkan kawasan ini menjadi tempat wisata yang indah dengan mengoptimalkan daya dukung masyarakat desa dalam kelompok masyarakat sadar wisata (Pok Darwis). Sehingga destinasi wisata gua dan waduk memiliki nilai plus dengan adanya simbiosis mutualisme dengan masyarakat. Beberapa usaha kecil dan menengah seperti usaha rumahan membuat tape singkong, kerajinan tangan dari bambu, dan warung-warung makanan menggeliat seiring bertambah ramainya pengunjung. Desa ini dan masyarakatnya, sejak beberapa tahun silam telah menjadi desa binaan civitas akademika Universitas Negeri Semarang (Unnes). Berbagai program yang menumbuhkan daya dukung wisata, oleh Unnes dilaksanakan di sini. Pemberdayaan masyarakat Talunkacang (secara umum Kandri), tetap dilakukan hingga sekarang oleh Unnes. Seperti acara yang dibuat oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Penelitian (UKM-P) Unnes berjudul Narescamp (National Research Camp) dipusatkan di Desa Wisata Kandri, Dukuh Talunkacang, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Semarang sejak 17-19 Oktober 2014.
            Acara bertajuk pengabdian masyarakat ini diikuti oleh berbagai universitas di Indonesia, seperti Universitas Negeri Semarang, Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, Universitas Jember, Universitas Negeri Makassar, Universitas Wakhid Hasyim, dan lain sebagainya. Saya tergabung dalam kelompok kecil mahasiswa Unnes, mengadakan penelitian, kajian, dan pengabdian.  Acara yang bertujuan memberdayakan masyarakat Talunkacang, Kelurahan Kandri ini, menjadi lebih menarik karena salah satu rangkaian kegiatannya adalah field trip ke kawasan Gua Kreo, tak jauh dari perumahan penduduk. Sepanjang jalan dari home stay menuju destinasi wisata Gua Kreo, saya melihat kanan kiri jalan raya Talunkacang tampak rumah warga berjajar dengan rapi. Setiap halaman rumah ditanami dengan beberapa tanaman buah terutama mangga. Juga saya jumpai tanaman rambutan dan kelengkeng.
Sampan Diatas Gunung, Anomali Budaya Talunkacang
Hal menarik yang saya lihat sepanjang jalan menuju Gua Kreo adalah beberapa kapal kecil (sampan) yang teronggok di depan rumah warga. Kondisinya masih bagus, catnya masih nampak terang, mengindikasikan bahwa sampan-sampan tersebut buatan baru. Sampan di atas pegunungan semacam ini menjadi wajar ketika realitanya pemerintah Kota Semarang terus menggenjot pembangunan Waduk Jatibarang. Nampaknya pemerintah Kota Semarang berupaya ingin segera terciptanya masyarakat nelayan “gunung” pada masyarakat Talunkacang, yang terletak di pinggir waduk. Saya kira pengadaan sampan baik secara kolektif oleh masyarakat maupun oleh pemerintah bukan hal yang sulit. Hal tersulit yang saya duga adalah mengubah budaya masyarakat pegunungan yang agraris ke masyarakat nelayan. Jika proyek pembuatan waduk sudah sempurna dan upaya “nelayanisasi” masyarakat Talunkacang sudah mulai digencarkan, saya yakin akan banyak penelitian sosial-budaya (etnografi) yang bermunculan bertemakan “studi kasus, perubahan masyarakat petani menjadi masyarakat nelayan di Talunkacang.”
Jika menganut pendapat Toynbee bahwa budaya merupakan jawaban atas tantangan alam, maka konsepnya dapat kita lihat di desa ini. Alam sudah berganti (atau mungkin tepatnya “diganti”) dari batu dan tanah gembur menjadi air berombak dan ber-ikan. Masyarakat ditantang untuk berubah, terutama oleh pembuat kebijakan pembangunan Waduk Jatibarang. Namun yang perlu diingat, masih berdasarkan pendapat Toynbee, masyarakat yang tidak mampu menjawab tantangan alam (bersinergi/beradaptasi) akan terseleksi atau termarjinalkan dari peradaban. Saya yakin merubah budaya bukan perkara yang gampang dan tanpa efek. Terlebih lagi dampaknya bisa sangat riskan. Pemerintah dan pemerhati lain dalam kasus di Talunkacang adalah civitas akademika Unnes, perlu meminimalisir dampak yang terjadi dalam proses “perubahan” budaya di sini. Atau masyarakat menjadi kalang-kabut tidak keruan karena “menjawab tantangan alam.”
Kreo Dalam Tradisi Tutur
Mbah Sumari (?), salah seorang petugas jaga di kawasan obyek wisata Gua Kreo menuturkan “sejarah” terbentuknya Gua Kreo kepada saya ketika field trip ke lokasi. Pembawaannya tampak kalem dan berwibawa, mengenakan blangkon wulung gaya Mataraman, dia menyampaikan dengan berapi-api cerita tutur masyarakat sekitar Kreo kepada para pengunjung tepat di depan mulut Gua Kreo. Diceritakan bahwa suatu ketika Sunan Kalijaga diperintahkan oleh sidang para wali untuk mencari kayu jati ke hutan belantara di kawasan barat Demak yang akan digunakan sebagai saka guru (tiang penyangga) masjid. Sang wali yang dikenal sebagai wali yang memiliki kesaktian dan keutamaan ini, menebang pohon jati di suatu kawasan hutan belukar di barat Demak. Namun ketika pohon jati yang sudah ditebang itu jatuh, glondongan kayu tersebut “ngalih” atau berpindah dengan sendirinya. Walaupun dikejar tetap berpindah-pindah dengan sendirinya. Sang wali kemudian memberikan nama wilayah tersebut dengan nama Jatingaleh yang berarti pohon jati yang berpindah.
Pengejaran terhadap pohon jati yang berpindah-pindah tersebut tetap dilakukan, sampai suatu tempat sang sunan tidak melihat glondongan kayu jati tadi. Tempat tersebut diceritakan menjadi tempat bersembunyinya glondongan kayu jati, dan kini dinamakan Deliksari (Delik : bersembunyi). Dalam pengejaraan di tengah malam, sang sunan mendengar orang menumbuk padi di tengah malam. Karena keheranan, sang sunan kemudian mengira bahwa suara tersebut adalah orang sedheng (gila) yang sedang menumbuk padi. Tempat itu kemudian disebut Sadeng. Seterusnya, sang sunan mendengar azan menandakan bahwa waktu sudah subuh. Sang sunan kemudian mengambil air wudu dan setelahnya mengepung glondongan kayu jati yang berpindah-pindah dan menangkapnya. Tempat mengepung tersebut kemudian disebut dengan nama Jatikalang (kalang : terhalang). Glondongan kayu jati yang sudah tertangkap kemudian dihanyutkan di suatu sungai. Namun tersangkut dan tidak keli (tidak hanyut di air).
Sunan Kalijaga ingin bertawasul, berdoa kepada Tuhan guna meminta petunjuk terkait permasalahan ini. Dia kemudian membuat gua di sebuah dinding bukit yang akan menjadi tempatnya bertawasul. Namun belum terlalu dalam pembuatannya, dia kepergok oleh masyarakat sekitar. Sehingga pembuatan guanya dihentikan. Setelah itu muncul empat ekor monyet berwarna putih, hitam, merah, dan kuning yang datang menyampaikan maksudnya kepada sang sunan. Mereka berjanji akan menjaga glondongan kayu jati yang tidak keli. Sehingga Sunan Kalijaga hanya membawa glondongan kayu jati yang kecil ke Demak. Namun kayu tersebut tidak cukup untuk membuat satu tiang penyangga masjid, sehingga harus disambung dengan tatal.
Pembangunan masjid dilakukan hanya dalam waktu semalam dengan tergesa-gesa (Jawa : demumukan). Sehingga tempat tersebut kemudian disebut dengan nama Demak. Sedangkan tempat Sunan Kalijaga bertemu dengan empat ekor monyet yang berjanji akan “ngreho” atau menjaga glondongan kayu jati yang lebih besar kemudian disebut dengan “Kreo” dan gua bikinan sang sunan disebut Gua Kreo. Mbah Sumari menambahkan bahwa jika beruntung, pengunjung bisa melihat “penampakan” makhluk gaib monyet putih yang dituturkan menjaga glondongan kayu jati tersebut.
Perlunya Analisis Historis dan Semiotis
            Saya melihat bahwa tradisi tutur diatas tidak lebih dari dongeng belaka. Nampaknya budaya othak-athik-mathuk masyarakat Jawa lebih dominan mewarnai tradisi tutur ini. Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa tradisi tutur meskipun bukan sejarah dapat digunakan sebagai sumber sejarah setelah dilakukan kritik sumber dan ditafsirkan maknanya. Masyarakat Jawa memang senang membuat cerita simbolik, terbingkai dalam imajinasi tinggi, dan kultur yang kuat. Logika berpikirnya sangat sederhana. Suatu realita dicari awal mula sekenanya (waton pas/mathuk), yang sesuai dengan citarasa budaya itu sendiri. Cerita tentang Jatingaleh, Deliksari, Sadeng, Jatikalang, dan Kreo seperti yang sudah saya sampaikan diatas, bisa jadi timbul dari pertanyaan dan pemikiran sederhana. Kenapa ada daerah namanya Jatingaleh, Deliksari, Sadeng, Jatikalang, dan Kreo? Ahhh, ceritanya begini...! Oh ini pasti karena jatinya berpindah, oh ini pasti karena jatinya bersembunyi, oh ini pasti dia orang gila, oh ini pasti karena dikerubung untuk ditangkap, oh ini pasti karena itu, oh itu pasti karena ini.
            Melegendakan asal-usul nama suatu tempat barangkali merupakan kebiasaan orang Jawa. Legenda/dongeng/mitos dan sebagainya merupakan jawaban pra-logis dari pertanyaan logis. Namun jawaban yang pra-logis tersebut, yang oleh orang Jawa dibumbui dengan citarasa budaya, mengandung simbol-simbol tertentu. Sehingga ada kemungkinan bahwa legenda/dongeng/mitos dan sebagainya, bisa jadi merupakan bias dari ingatan kolektif masyarakat pada masa lalu. Sehingga dengan menganalisis kritis bias-bias tadi, akan dapat disingkap fakta-fakta tertentu tentang suatu masyarakat.
Islamisasi Kawasan Konsentrasi Hindu-Buddha di Pedalaman Jawa
            Sebelum menganalisis “kemungkinan” adanya aneksasi Hindu-Buddha di kawasan Gua Kreo, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu tentang latar belakang historis awal masa Islam di Jawa. Tradisi tutur tentang Gua Kreo ini mengambil setting waktu pada saat pembangunan Masjid Agung Demak. Menurut Nurhadi Rangkuti (1998), pembangunan Masjid Agung Demak tidak dilakukan dalam waktu satu malam seperti dalam tuturan masyarakat. Bahkan dari beberapa data yang dia kaji, pembangunan masjid dilakukan secara bertahap. Dalam tulisannya (1998) berjudul “Saka Guru, Golongan Menengah”, dia mengidentifikasi setidaknya terdapat tiga (3) tahap pembangunan masjid hingga bentuknya yang sekarang.
Pertama, menurutnya (sesuai teks Babad Demak) Masjid Agung Demak ditandai dengan angka tahun lawang trus gunaning jalma, atau tahun Jawa 1399 (1447 Masehi). Pembangunan dimulai dari pemasangan empat sakaguru, kemudian bagian-bagian lainnya, termasuk puncak masjid. Kedua, berdasarkan lambang kura-kura, Nurhadi Rangkuti menafsirkan, lambang tersebut menunjukkan tahun Jawa 1401 (1479 M). Ketiga, berdasarkan candrasangkala (kronogram) lainnya yang tertera pada kayu di pintu gerbang utama, menyiratkan angka tahun Jawa 1428 (1506 M) atau pada masa Sultan Trenggana. Jadi, dapat disimpulkan pembangunan ini dilakukan sejak 1447-1479-1506 M. Tidak satu malam!
Pembangunan pertama pada 1447 M, merupakan masa ketika Majapahit masih berdiri. Tatanan masyarakat Hindu-Buddha di wilayah pedalaman masih sangat kuat mengakar, dibanding dengan masyarakat pesisir yang sudah mendapat pengaruh Islam. Keterbukaan secara ruang dan karakter masyarakat pesisir yang mudah berubah ‒karena keintensifan difusi budaya‒, menyebabkan masyarakat pesisir lebih dinamis. Dengan sigap, masyarakat Islam di pesisir memanfaatkan gonjang-ganjing politik Istana Majapahit untuk membentuk suatu konsensus kepemerintahan di wilayah Bintara, Demak. Wilayah Bintara dipilih bukan bahasan utama esai ini, namun yang pasti Bintara memiliki posisi strategis dalam usaha membina kekuatan politik. Buktinya, kerajaan yang baru seumur jagung ini pernah mengerahkan armada lautnya untuk menggempur Malaka.
Di satu sisi, proses Islamisasi Jawa terus digencarkan menuju pedalaman yang memiliki konsentrasi masyarakat Hindu-Buddha relatif kuat. Kita tengok dalam Babad Kediri, Sunan Bonan atas bantuan ulama Giri menggempur wilayah pedalaman Kediri. Menurut Agus Sunyoto (2012) dalam Atlas Walisongo, penggempuran kekuatan politik Hindu-Buddha di Kediri, terabadikan dalam tradisi tutur Jin Lodhaya. Di mana dalam pertempuran tersebut, Lodhaya menyatakan takluk kepada Sunan Bonang. Jin Lodhaya merupakan simbolisasi tokoh pemimpin Hindu-Buddha, yang terbiaskan dan menjadi tradisi tutur. Hingga kini, dalam cerita masyarakat, Lodhaya merupakan sosok gaib yang mbahureksa daerah tersebut.
Islamisasi atas daerah yang dahulu merupakan pusat peradaban Hindu-Buddha masa klasik (Mataram kuno), juga dilakukan. Dalam Babad Kedu, Sunan Kedu/Ki Ageng Makukuhan, menjadi agen Islamisasi kawasan ini. Bahkan lebih jelas lagi bahwa Islamisasi di Kedu, seperti diungkapkan dalam Babad Kedu, dilakukan atas prakarsa Sunan Kalijaga secara langsung. Ini menunjukkan betapa sangat kuat posisi Hindu-Buddha di kawasan Kedu, sehingga para wali memrakarsai secara langsung kegiatan Islamisasi.
Proses Islamisasi Kedu bahkan terus berlangsung hingga zaman Sultan Agung di Mataram (Islam), seperti diceritakan dalam tradisi tutur di Somolangu, Kebumen. Pemimpin pertama Pesantren Somolangu yaitu Syeh Abdul Kahfi Awwal, dimitoskan berasal dari Hadramaut. Oleh Sultan Agung, dia diperintahkan untuk menempati daerah yang kini bernama Somolangu. Jika melihat toponimi desa-desa di sekitar Somolangu, ada beberapa desa yang diawali dengan nama “candi”, seperti Candiwulan, dan sebagainya. Di kawasan ini pula ditemukan dua buah Yoni era Mataram kuno di sungai. Ada kemungkinan Yoni tersebut sengaja dibuang untuk menghilangkan jejak Hindu-Buddha di kawasan Kebumen. Sehingga kalau dicermati, masa sejarah di Kebumen muncul dengan tiba-tiba (Jawa : mak bedunduk) setelah masa Islam. Padahal sejarah sendiri merupakan kontinuitas atau kelanjutan dari masa sebelumnya.
Wilayah Semarang Hutan Belantara atau Kawasan Konsentrasi Hindu-Buddha?
Kembali pada tradisi tutur masyarakat sekitar Gua Kreo. Masyarakat (narasumber Mbah Sumari) cenderung menyatakan bahwa pada saat pembangunan Masjid Agung Demak, kawasan Semarang masih merupakan hutan belantara. Pernyataan ini sebenarnya sangat ahistoris, dan tidak memiliki pijakan yang pasti. Adanya hutan belantara cenderung akan mengasosiasikan bahwa kawasan tersebut tidak terjamah oleh manusia dan dihuni oleh binatang-binatang buas. Namun fakta sejarah berbicara lain.
Pertama, wilayah Semarang dan sekitarnya, justru merupakan kawasan Hindu-Buddha klasik awal berdasarkan temuan-temuan arkhais. Candi Gedong Songo, beberapa candi di Karangjati, dan reruntuhan candi di Limbangan, Kendal, merupakan bukti nyata bahwa wilayah Semarang dan sekitarnya bukan wilayah hutan belantara. Sudah ada masyarakat di kawasan ini jauh hari sebelum Kesultanan Demak berdiri. Apalagi mengingat wilayah Semarang merupakan kawasan pesisir yang relatif terbuka bagi masyarakat luar. Saya sama sekali tidak percaya dengan asumsi tidak berdasar yang menyatakan bahwa sebelum Demak berdiri, kawasan Semarang merupakan kawasan hutan belantara. Bisa jadi malah kebalikannya, bahwa Demak merupakan daerah rawa-rawa atau dapat dikatakan lebih muda dibanding Semarang. Mengingat pendangkalan secara sempurna Selat Murya/Muria yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Muria baru dapat dirasakan pada abad 17. Sementara itu, Ki Ageng Pandanaran I yang membuka daerah sedimentasi di Bubakan, Jurnatan, dan Kanjengan pada tahun 1500-an.
Kedua, mengerucut di Gunungpati dan sekitarnya. Ada beberapa laporan penemuan artefak Hindu-Buddha di kawasan ini, salah satunya di Desa Patemon, Kecamatan Gunungpati. Di desa ini pernah ditemukan genta pendeta yang merupakan sarana kelengkapan dalam ritus agama Hindu. Temuan ini disimpan dan diinfentarisasi oleh Museum Ronggowarsito, Semarang. Ini menunjukkan bahwa di kawasan ini “paling tidak” pernah hidup suatu masyarakat dengan kepercayaan Hindu-Buddha. Lebih terang lagi dalam buku Semarang Sepanjang Jalan Kenangan, merupakan kumpulan tulisan yang dieditori oleh Djawahir Muhammad, dinyatakan bahwa Pulau Tirang (Bergota sekarang) dan Candibaru-Candilama merupakan kawasan konsentrasi Hindu-Buddha. Jelas bahwa Semarang dan khususnya Gunungpati bukan kawasan hutan belantara yang minus penduduk. Perlu ditegaskan bahwa sebelum sedimentasi kawasan Semarang bawah sempurna pada 1500-an, kawasan Gunungpati berhadapan langsung dengan laut (Jawa : ngongkang segara). Sehingga tidak menutup kemungkinan wilayah pesisir ini telah dihuni oleh masyarakat, terutama yang beraliran kepercayaan Hindu-Buddha.
Ketiga, beberapa nama tempat/desa di wilayah Gunungpati dan sekitarnya, memiliki toponimi berkaitan dengan Hindu-Buddha. Di Kecamatan Gunungpati, terdapat beberapa nama desa yang “mungkin” memiliki kaitan dengan tradisi masa Hindu-Buddha. Walaupun tidak berkaitan langsung, setidaknya ada indikasi bahwa Gunungpati pernah berada dalam pengaruh Hindu-Buddha. Di kecamatan ini terdapat desa bernama Sadeng. Entah sejak kapan desa ini diberi nama Sadeng, saya sendiri tidak mengetahui dengan pasti. Namun nama Sadeng mengingatkan kita terhadap suatu peristiwa bersejarah pada zaman Majapahit. Peristiwa Sadeng (pasadeng), seperti dicatat dalam Pararaton, merupakan peristiwa pergolakan politik pasca kematian Jayanegara/Kala Gemet (pada saat Bhre Kahuripan menjadi raja).
Pararaton mencatat sebagai berikut ini :
“....Tumuli pasadeng. Sira Tadah patih amangkubhumi agĕring sakarĕngan tan kawaça marĕk, anguswakĕn marĕk ring talampakanira bhatâra asaha mangkubhumi, tan tinanggapan denira Bhre Koripan. ....Kĕcapira Gajah Mada : Alĕmĕh siranakira, yen apatiha mangke. Lamun saking Sadeng agĕlĕm apatih. .... Mangkin mangkat maring Sadeng....” (Serat Pararaton)
(“....Kemudian terjadi peristiwa Sadeng. Tadah yang menjadi patih mangkubumi menderita sakit, sehingga tak bisa menghadap, menyerahkan penghadapan kepada raja dan mengembalikan jabatan mangkubumi, akan tetapi tak dihiraukan oleh Bhre Kahuripan. ....Gajah Mada berkata : ananda tidak sanggup menjadi patih sekarang ini. Jika sudah kembali dari Sadeng hamba bersedia menjadi patih. ....Kini ia berangkat ke Sadeng....”)
Saya tidak bermaksud melokalisasikan Sadeng seperti yang dimaksud dalam Pararaton berada di Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Hanya saja saya melihat kemungkinan bahwa ingatan-ingatan kolektif masyarakat pada masa lalu masih terakumulasi. Dalam hal ini saya melihat kemungkinan bahwa ingatan kolektif masyarakat tentang suatu masa, di mana pernah terjadi suatu pemberontakan daerah Sadeng di zaman Majapahit, terabadikan sebagai nama sebuah desa. Mungkin saja, di suatu masyarakat yang dahulu merupakan basis Hindu-Buddha. Nama-nama yang hampir mirip dengan Sadeng juga banyak ditemukan di lain tempat. Seperti misalnya di Kebumen, ada daerah yang dikenal dengan nama Sadang.
Selain Desa Sadeng, nama lain yang mengingatkan kita dengan Hindu-Buddha adalah Desa Polaman. Kata Polaman akan kita jumpai pada Pararaton yang menceritakan runtuhnya Singhasari dan peperangan Tar-Tar melawan Jawa. Atau tepatnya setelah Jayakatwang berhasil diruntuhkan dari tahta Singhasari. Pararaton menguraikan sebagai berikut :
“....Teka ring Jung Galuh Aji Katong angapus kidung Wukir Polaman, wusing angapus kidung moksa. ....” (Serat Pararaton)
(“....Setelah Raja Katong –Jayakatwang datang di Jung Galuh, menulis kidung Wukir Polaman, sesudah itu dia wafat. ....”
            Nama Wukir Polaman seperti yang disebut dalam Pararaton tersebut, adalah nama sebuah karya sastra kidung. Jadi bukan nama tempat atau wilayah. Sekali lagi saya mengatakan, “mungkin” saja memori kolektif masyarakat masih mengingat kejadian-kejadian seperti yang diceritakan Pararaton, dalam tradisi tutur penamaan suatu desa. Sehingga desa tersebut kemudian disebut dengan nama Polaman. Jika dahulu tidak terdapat masyarakat penganut Hindu-Buddha, suatu kemustahilan desa tersebut disebut dengan Polaman. Maka pernyataan bahwa Semarang secara umum merupakan kawasan hutan belantara, sangat disangsikan.
            Ada juga beberapa toponimi dukuh (dibawah desa) yang mungkin memiliki kaitan dengan masa Hindu-Buddha. Seperti nama dukuh di daerah Sumurrejo yang disebut dengan nama Karanggeneng. Nama ini mengingatkan kita pada nama tempat yang disebut “Kagenengan” seperti yang ada di Pararaton. Dua desa ke utara dari Sumurrejo, yakni Patemon, pernah ditemukan artefak Hindu-Buddha seperti yang saya sebutkan diatas. Juga dalam tradisi tutur masyarakat Kreo yang sudah saya tuliskan diatas, mengingatkan saya pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Nama “Jatikalang” mengingatkan saya pada kelompok marjinal “Kalang” yang memiliki keunikan pada struktur masyarakat dan hubungan sosialnya.
            Mengenai keunikan wong Kalang, saya tidak akan membahasnya terlampau jauh. Uraian mengenai Kalang, dapat ditelusuri pada beberapa jurnal yang khusus membahas Kalang secara mendalam. Tulisan Warto dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha (UNS), Vol. XV, No. 1 Februari 2011 : 33-41, juga Mutiah Amini dalam Jurnal Humaniora (UGM), Vol. 18, No. 2 Juni 2006 : 157-164, juga Muslichin dalam Jurnal Paramita (Unnes), Vol. 21, No. 2 Juli 20111 : 164-178, menguraikan panjang lebar mengenai orang Kalang. Khusus pada tulisan Warto yang berjudul “Kalang, Pesanggem, dan Sejarah Kaum Marjinal di Kawasan Hutan Rembang”, saya menemukan uraian bahwa kelompok Kalang sudah muncul pada zaman Hindu-Buddha. Kelompok Kalang dipekerjakan oleh penguasa untuk mengelola dan menebang pohon-pohon jati yang akan digunakan untuk keperluan tertentu.
            Pada tulisan Muslichin yang berjudul “Orang Kalang dan Budayanya, Tinjauan Historis Masyarakat Kalang di Kabupaten Kendal”, lebih mengerucut lagi pada wilayah yang sangat dekat dengan Gunungpati, yakni Kendal. Penulis (Muslichin) mengutip pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa Kalang merupakan bagian dari klasifikasi sosial masyarakat Hindu-Buddha. Kelompok Kalang menempati hirarkhi paling bawah dalam urutan tingkatan sosial. Kalang dianggap sebagai golongan candala dan paria (out of kasta). Intinya bahwa kelompok masyarakat Kalang, menurut para ahli, kemunculannya sudah ada pada zaman Hindu-Buddha. Bahkan beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa masyarakat Kalang merupakan sisa-sisa ras Melanesia yang masih berada di Jawa dan secara sosial-budaya terpisah dengan pendatang baru, masyarakat proto-deutro Melayu.
            Adanya tempat yang disebut Jatikalang di Gunungpati, mengindikasikan kuat bahwa ada juga kelompok Kalang di daerah ini. Mengingat beberapa kilometer ke barat, di Kabupaten Kendal, juga terdapat kelompok Kalang. Jika benar bahwa Kalang dianggap sebagai kelompok yang berada di luar kasta, berarti di masyarakat Gunungpati kala itu, terdapat masyarakat yang membagi kelompok-kelompok masyarakatnya dalam kasta. Tidak lain adalah masyarakat Hindu. Meskipun demikian, kajian tentang Kalang di Gunungpati, Semarang, juga perlu mendapat perhatian, mengingat pendapat yang mengatakan bahwa Semarang pada zaman dahulu adalah hutan belantara. Warto dalam tulisannya, mengungkapkan bahwa Kalang juga ditugasi membuka kawasan-kawasan pemukiman baru di sekitar hutan. Di Gunungpati, terdapat Desa Bubakan, yang dalam bahasa Jawa baru berarti “desa baru.”
Maka berdasarkan temuan-temuan arkhais di Semarang, temuan-temuan artefak di Gunungpati, dan toponimi beberapa tempat di Gunungpati, saya menyimpulkan bahwa Semarang dan khususnya Gunungpati pernah menjadi basis Hindu-Buddha (kawasan konsentrasi Hindu-Buddha). Saya tidak percaya bahwa Gunungpati atau Semarang utamanya, pada zaman dahulu (awal Demak atau pada saat pembangunan Masjid Agung Demak) merupakan kawasan hutan belantara. Jelas bahwa tradisi tutur yang disampaikan masyarakat Kreo sangat ahistoris. Namun, saya yakin terdapat makna (simbol) tertentu yang berusaha dikelabui atau disamarkan dalam tradisi tutur tersebut.
Seorang sunan, yang memiliki otoritas keagamaan, hingga mengkhususkan diri ke kawasan Kreo menjadi pertanyaan mendasar saya. Kedatangan Sunan Kalijaga ke Gunungpati (Kreo) bisa memiliki tafsiran dua macam. Pertama, kedatangan Sunan Kalijaga bisa berarti fisik. Maksudnya memang sosok sunan tersebut datang ke Kreo untuk tujuan tertentu. Kedua, kedatangan Sunan Kalijaga dalam arti non-fisik. Ajaran-ajaran dan kebesaran nama sunan tersebut sampai di kawasan Kreo. Tafsiran tradisi tutur ini menjadi lebih logis apabila kedatangan Sunan Kalijaga di Kreo (Gunungpati umumnya), dalam rangka menggiatkan Islamisasi atas kawasan konsentrasi Hindu-Buddha di Gunungpati. Tidak hanya sekedar mencari glondongan kayu jati seperti yang ada pada tradisi tutur. Kedatangan Sunan Kalijaga ke Gunungpati juga dapat ditafisirkan dalam rangka meneguhkan posisi Demak sebagai pewaris syah Majapahit.
Realitas pada saat pembangunan Masjid Agung Demak (1447), merupakan masa-masa keruntuhan imperium Hindu-Buddha di Jawa. Jika kita cermati, pada masa-masa ini terdapat banyak penggeseran hegemoni Hindu-Buddha oleh Islam. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa kedatangan Sunan Kalijaga seperti diungkapkan dalam tradisi tutur masyarakat Kreo, juga dalam rangka “mengakhiri” hegemoni Hindu-Buddha di kawasan Gunungpati atau Semarang umumnya.
Menggali Makna Tradisi Tutur
Pada tradisi tutur diatas, diceritakan bahwa Sunan Kalijaga mendengar orang menumbuk padi di tengah malam. Dan mengira hal itu dilakukan oleh orang gila (Jawa : sedheng). Sehingga kawasan tersebut kemudian disebut Sadeng. Meskipun terkesan hanya menghubung-hubungkannya, namun hal ini bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang logis. Çiwa dan Parwati (Durga) dalam mitologi Hindu dilambangkan dengan lingga dan yoni. Lingga (phallus) melambangkan sosok maskulin adalah sesuatu yang silindris dan lonjong. Sedangkan Yoni melambangkan sosok feminis adalah sesuatu yang lebar dan cekung (Jawa : dhekok). Penyatuan dua sosok tadi (Lingga & Yoni) dalam kepercayaan Hindu menimbulkan kesuburan, kekuatan, dan kesejahteraan.
Menumbuk padi pada zaman dahulu dilakukan dengan menggunakan lesung. Piranti menumbuknya adalah alu. Teknisnya butir padi diletakkan pada cekungan lesung, dan ditumbuk berkali-kali dengan alu hingga kulitnya terkelupas dan menghasilkan butir beras. Pada prinsipnya ini adalah wujud nyata dari lingga dan yoni. Penyampai tradisi tutur mungkin bermaksud mengatakan bahwa tempat ini adalah kawasan para pemeluk Hindu aliran Çiwa. Hanya dibingkai dalam simbol tertentu yang sangat rapi. Pendapat ini perlu diperkuat dengan bukti arkhais yang harus ditemukan di Sadeng dan sekitarnya. Jika tafsiran ini dapat diterima dan dibenarkan, maka sesungguhnya sudah jelas bahwa kedatangan Sunan Kalijaga ke kawasan Gunungpati dalam rangka Islamisasi. Bukan untuk mencari kayu jati seperti dalam tradisi tutur.
Mengenai pohon jati dan glondongan kayu jati yang ditebang Sunan Kalijaga, sesungguhnya dapat kita tafsirkan pula menjadi lebih logis. Dalam budaya Jawa, pohon jati disebut juga sebagai kayu taun (kayu tahun). Maksudnya pohon jati dapat bertumbuh terus menjadi besar dan kuat sepanjang tahun, dengan umur hingga ratusan tahun. Akarnya tunggang, jauh melesak di dalam bumi. Dan batangnya sangat kuat, mampu menopang dahan-dahan yang banyak. Ini sesungguhnya dapat dianalisis sebagai suatu tamsil atau perumpamaan. Jati bisa bermakna kepercayaan yang sudah mengakar kuat dan berkembang pesat. Sehingga menebang pohon jati di sini dapat kita maknai sebagai usaha menumbangkan kekuatan atau sendi-sendi kepercayaan lama.
Ini lebih logis, bahwa Sunan Kalijaga memang “bertugas” dan/atau “ditugaskan” untuk mengakhiri hegemoni kepercayaan lama yang sudah mengakar kuat pada masyarakat Jawa. Tafsiran ini juga akan lebih cocok apabila kita melihat beberapa pendapat tentang asal-usul penggunaan nama kalijaga. Beberapa sejarawan menghubungkan nama kalijaga yang disandang Raden Said, dengan tempat tinggalnya ketika berada di Cirebon, yaitu Kalijaga. Ini tentu saja maklum, mengingat Raden Said adalah menantu dari Sunan Gunungjati. Lagi pula di Cirebon memang ditemukan beberapa situs yang oleh masyarakat sekitar dipercaya sebagai petilasan Raden Said.
Beberapa sejarawan juga menghubungkan nama kalijaga dengan istilah kaliyuga. Istilah kaliyuga merupakan istilah pembagian zaman dalam mitologi Hindu-Buddha. Kaliyuga merujuk pada zaman akhir dalam kepercayaan tersebut, yang akan ditandai dengan kekacauan, kemunduran nilai-nilai dan norma, kemaksiatan, bencana alam, dan sebagainya. Zaman Kaliyuga selalu akan diakhiri dengan adanya pralaya (kiamat/kematian). Dan diikuti oleh kemunculan zaman baru serta tatanan hidup yang baru pula. Pada kenyataannya Sunan Kalijaga atau Raden Said (secara umum juga para penyebar Islam) memang hidup dalam tatanan masyarakat Hindu-Buddha akhir. Di mana tatanan masyarakat Hindu-Buddha Majapahit sedang kehilangan keteguhan sebagai sebuah masyarakat yang jauh lebih lama memiliki akar ke-Nusantaraan, dibanding masyarakat baru yang muncul di sekitar kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa.
Kalijaga bisa berarti sunan terakhir. Juga bisa pula berarti sunan yang bertugas mengakhiri hegemoni Hindu-Buddha dengan konsep pralaya-nya. Serta menawarkan kondisi baru, tatanan masyarakat baru yang lebih egaliter dan menjanjikan. Nampaknya pohon jati yang dimaksud di sini adalah kepercayaan lama (Hindu-Buddha) yang berusaha ditumbangkan oleh Raden Said atau Sunan Kalijaga, namun dengan susah payah dan alot. Jati berpindah-pindah bisa bermakna masyarakat yang tidak berkenan memeluk agama baru, yang memang secara politis terdesak oleh tekanan Sunan Kalijaga.
Maka Sunan Kalijaga yang sedang menebang pohon di daerah Jatingaleh sekarang, bisa bermakna Sunan Kalijaga sedang menghancurkan kekuatan Hindu-Buddha di kawasan tersebut. Bisa jadi bermakna politis, manakala kita melihat bahwa sunan tesebut diperintahkan untuk menebang pohon jati di kawasan Semarang. Tentu saja dalam hal ini kita melihat Demak sebagai sebuah kekuatan politik baru yang berusaha menegakkan kedaulatan atas wilayah pesisir. Dan pada masa selanjutnya, nampak kita lihat fakta menarik bahwa Demak menanan bawahan di Semarang (Ki Ageng Pandanaran), dan menjadikan Semarang sebagai pelabuhan utama Demak. Mungkinkah pada masa akhir Majapahit, wilayah Semarang dibawah penguasa Hindu-Buddha lokal, yang secara politis berhubungan atau tidak sama sekali dengan Majapahit? Atau setidaknya terdapat kelompok masyarakat Hindu-Buddha yang relatif solid, sehingga perlu dihancurkan guna meneguhkan hegemoni Demak (Islam)?
Kreo Kehilangan Jejak Hindu-Buddha
            Apabila tafsiran-tafsiran diatas dapat kita terima (manakala sudah didukung bukti yang kuat), maka kita dapat menyimpulkan bahwa Semarang merupakan basis Hindu-Buddha. Terutama pada daerah-daerah yang dituturkan seperti dalam tradisi tutur masyarakat Kreo, meliputi Jatingaleh, Deliksari, Sadeng, dan juga Kreo (Talunkacang). Di mana Sunan Kalijaga memang berurusan langsung dengan nama-nama tempat seperti yang dituturkan tersebut. Pernyataan ini harus didukung oleh bukti-bukti historis, terutama kajian arkeologis di kawasan-kawasan tersebut.
            Khusus pada Gua Kreo, menurut penuturan Mbah Sumari ketika bendungan belum dibuat, terdapat air terjun tidak jauh dari lokasi gua. Adanya air terjun sebagai sumber mata air, begitu pula terdapat gua yang dalam tradisi tutur memang digunakan untuk bertapa Sunan Kalijaga, semakin mengindikasikan nilai kesakralan sekitar Kreo. Tidak menutup kemungkinan, dahulu merupakan pusat para pertapa dan rśi, yang menjadi kelompok kasta brahmana bagi masyarakat sekitar Kreo. Pernyataan ini harus didukung oleh bukti-bukti arkeologis yang harus ditemukan di sekitar Kreo. Namun nampaknya tidak terdapat bukti semacam ini di Talunkacang, atau memang sengaja dihilangkan seperti pada kasus yoni yang berada di Kebumen (sudah disinggung di atas).
            Hal yang menarik dari Gua Kreo adalah terdapat banyaknya monyet ekor panjang (Macaca F sp). Ini mengingatkan kita dengan pura di Sangeh, Bali. Monyet seperti ini juga kita jumpai berkeliaran liar di sekitar pura, sekaligus memang dikeramatkan. Apakah memang benar bahwa kawanan monyet di sekitar Gua Kreo ini sudah ada semenjak akhir Majapahit sebagaimana dituturkan dalam tradisi tutur masyarakat Talunkacang yang mengatakan bahwa monyet-monyet ini ditugasi untuk ngreho? Jika demikian adanya, berarti bahwa monyet-monyet ini, pada masa silam memang dibiarkan hidup liar di sekitar kawasan yang disucikan (Gua Kreo), tak ubahnya seperti di Sangeh, Bali. Atau dengan kata lain, kawanan monyet ini merupakan sisa-sisa bukti bahwa Gua Kreo pada masa silam merupakan pusat Hindu-Buddha.
            Barangkali memang terkesan menghubung-hubungkan, akan tetapi paling tidak bisa membuka jalan kemungkinan wacana bahwa Semarang pada tempo pra-Islam menjadi pusat Hindu-Buddha. Dan khusus pada kawasan Kreo, nampaknya telah terjadi aneksasi oleh kelompok Islam. Atau jika diksi aneksasi akan menimbulkan efek psikologis yang tidak baik, paling tidak kelompok Islam telah menggunakan simbol-simbol Hindu-Buddha untuk menggencarkan proses Islamisasi di sini. Dan dari sini, Kreo memang telah kehilangan jejak-jejak Hindu-Buddha. Sejarah Kreo pra-Islam akan kabur, selama sejarawan masih terpaku pada sumber-sumber seperti catatan dan bukti-bukti arkeologis, tanpa menimbang betapa pentingnya tradisi tutur dalam kajian seperti ini.

                                                                                     Semarang, 2 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar