Oleh Daru Lelana
Orang Jawa memang unik.
Mereka memiliki sistem kekerabatan yang menjadikannya memiliki banyak
pendahulu. Pendahulu-pendahulu itulah yang mereka sebut sebagai “leluhur.”
Mereka diagungkan dan sangat dihormati oleh orang Jawa, dengan pelbagai adat
tradisi yang bertujuan untuk “memule” (memuliakan) leluhur.
Misalnya upacara nyurtanah, mitung dina, matangpuluh, nyatus, mendhak pisan,
mendhak pindho, nyewu, bersih desa, sadranan, punggahan, barikan, brokohan, dan
sebagainya. Mereka yakin bahwa “nek ora ana dheweke, ora bakal ana aku.”
Sehingga memuliakan leluhur, menjadi keharusan bagi seorang Jawa. Nampaknya ini
yang menyebabkan para peneliti barat mengira bahwa orang Jawa menyembah orang
mati. Tidak lebih daripada suatu paham animisme belaka.
Namun di balik itu,
yang tersirat dari pandangan orang Jawa tentang leluhur, ada suatu kepercayaan
yang terkait dengan darah daging. Orang Jawa yakin dengan pelbagai istilah
seperti misalnya “trahing kusuma, wijining atapa, rembesing madu, tedhaking
andanawarih.” Yang sangat erat dengan kepercayaan tentang genetika.
Kebanyakan orang Jawa sangat percaya bahwa seseorang yang berasal dari
keturunan pertapa misalnya, akan memiliki salah satu keturunan yang menjadi
pertapa pula. Atau melesetnya sebagai ahli agama. Kecenderungan semacam ini
banyak dipercaya oleh orang Jawa sebagai “trah”, yang bermakna darah. Sehingga
ada istilah “trah pandhita”, “trah bangsawan”, “trah sudagar”, “trah ulama”,
“trah sudra”, dan lain-lain.
Orang Jawa pada umumnya
akan selalu menjaga kemurnian “trah” mereka. Keturunan ulama akan dikawinkan
dengan keturunan ulama, keturunan saudagar dengan saudagar, dan sebagainya.
Seperti misalnya pada geneologi orang Kalang, yang masih kukuh mempertahankan
perkawinan sesama orang Kalang. Ini bertujuan untuk terus menjaga kemurnian
“trah” mereka. Sehingga untuk itu, orang Jawa mengenal istilah “bobot”,
“bibit”, dan “bebet.” Bobot bermakna kualitas personal seseorang, apakah
memiliki keunggulan yang nantinya akan diturunkan pada generasi berikutnya.
Bibit terkait dengan keturunan-keturunan, artinya kualitas benih yang
menyebabkan timbulnya dia. Dan bebet terkait dengan kualitas susila yang
dimiliki. Pada setiap perkawinan orang Jawa, ini menjadi perhatian utama, dalam
upaya menjaga kualitas “trah” mereka.
Kembali pada persolan
leluhur, orang Jawa memiliki 18 tingkatan leluhur yang unik. Pada tingkatan
pertama, terdapat 2 orang leluhur yang disebut sebagai “bapak” dan “ibu.” Di
beberapa wilayah, misalnya di Banyumas dikenal juga istilah “rama” dan
“biyung.” Juga dikenal istilah “mamak” untuk menggantikan istilah “ibu.” Pada
tingkat selanjutnya, terdapat 4 orang leluhur yang disebut sebagai “simbah”
atau “embah” (Indonesia: Kakek & Nenek). Dikenal juga istilah “kaki” untuk
laki-laki, dan “nini” untuk perempuan. Juga istilah “eyang”, juga merupakan
penyebutan bagi leluhur tingkatan ini. Pada tingkatan ketiga, terdapat 8 orang
leluhur yang disebut dengan istilah “Mbah Buyut.” Selanjutnya pada tingkatan
keempat, terdapat 16 orang leluhur yang disebut dengan istilah “Mbah Canggah.”
Tingkatan kelima, 32 orang “Mbah Wareng.” Tingkatan keenam, 64 “Mbah
Udheg-Udheg.” Ketujuh, 128 “Mbah Gantung Siwur.” Kedelapan, 256 “Mbah Gropak
Senthe.” Kesembilan, 512 “Mbah Debog Bosok.” Kesepuluh, 1024 “Mbah Galih Asem.”
Angka tersebut terus
berlipat hingga pada tingkatan 18, orang Jawa akan memiliki leluhur yang
disebut dengan istilah “Trah Tumerah” dengan jumlah 262144 orang. Angka-angka
tersebut merupakan angka “pancer”, artinya hanya leluhur (Jawa: leluhur pancer)
yang menurunkan satu orang tertentu saja. Pada faktanya, orang Jawa mungkin
saja memiliki banyak leluhur karena satu orang leluhur memiliki banyak saudara.
Sehingga leluhur yang demikian bukan disebut sebagai “leluhur pancer”, namun
“leluhur iringan” karena merupakan saudara “leluhur pancer.”
Angka-angka tersebut
bisa bertambah atau berkurang pada beberapa kasus. Angka-angka tersebut
bertambah jika seorang leluhur memiliki saudara, seperti yang telah dibahas
sebelumnya, sehingga menjadi “leluhur iringan.” Namun, angka tersebut menjadi
berkurang manakala terjadi perkawinan sedarah, sehingga jumlah leluhur
diatasnya menjadi tidak sesuai dengan jumlah angka pada setiap generasi.
Misalkan seseorang yang pada generasi ketujuh diatasnya, terdapat perkawinan
sedarah, maka mungkin saja jumlah “Galih Asemnya” menjadi kurang dari 1024
orang.
Dalam hal ini orang
Jawa juga mengenal istilah “nak-sanak” atau “nak-dulur”, “Misan”, “Mindho”,
“Ming Telu”, dan seterusnya. “Nak Sanak” berarti “tunggal embah” atau satu
kakek. Saudara “Misan” berarti “tunggal buyut” atau satu buyut/cicit. Sedangkan
saudara “Mindho” berarti saudara “tunggal canggah” atau satu canggah/piut. Dan
“Ming Telu” adalah saudara “tunggal wareng.” Guna menghindari perkawinan
sedarah, orang Jawa mengenal tuturan “misan bisa dari besan, mindho bisa dadi
bojo” artinya “saudara satu buyut diperbolehkan menjadi besan, dan saudara satu
canggah diperbolehkan menjadi suami-istri.”
Namun jeleknya orang
Jawa, ia merupakan orang yang plin-plan dan tidak konsisten. Mereka memuliakan
leluhur, tetapi tidak meninggalkan catatan siapa saja nama leluhur pada setiap
generasi atau tingkatan. Sehingga perkawinan sedarah mungkin sekali banyak
terjadi karena ketidaktahuan kesamaan leluhur. Sampai berapa generasikah anda
tahu nama leluhur anda sendiri? Simbah? Mbah Buyut? Mbah Canggah? Mbah Wareng?
Mbah Udheg-Udheg? Mbah Gantung Siwur? Mbah Gropak Senthe?
DL!
Semarang, 25 Juli 2015
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar