Rabu, 02 September 2015

Leluhur Orang Jawa



Oleh Daru Lelana

Orang Jawa memang unik. Mereka memiliki sistem kekerabatan yang menjadikannya memiliki banyak pendahulu. Pendahulu-pendahulu itulah yang mereka sebut sebagai “leluhur.” Mereka diagungkan dan sangat dihormati oleh orang Jawa, dengan pelbagai adat tradisi yang bertujuan untuk “memule (memuliakan) leluhur. Misalnya upacara nyurtanah, mitung dina, matangpuluh, nyatus, mendhak pisan, mendhak pindho, nyewu, bersih desa, sadranan, punggahan, barikan, brokohan, dan sebagainya. Mereka yakin bahwa “nek ora ana dheweke, ora bakal ana aku.” Sehingga memuliakan leluhur, menjadi keharusan bagi seorang Jawa. Nampaknya ini yang menyebabkan para peneliti barat mengira bahwa orang Jawa menyembah orang mati. Tidak lebih daripada suatu paham animisme belaka.
Namun di balik itu, yang tersirat dari pandangan orang Jawa tentang leluhur, ada suatu kepercayaan yang terkait dengan darah daging. Orang Jawa yakin dengan pelbagai istilah seperti misalnya “trahing kusuma, wijining atapa, rembesing madu, tedhaking andanawarih.” Yang sangat erat dengan kepercayaan tentang genetika. Kebanyakan orang Jawa sangat percaya bahwa seseorang yang berasal dari keturunan pertapa misalnya, akan memiliki salah satu keturunan yang menjadi pertapa pula. Atau melesetnya sebagai ahli agama. Kecenderungan semacam ini banyak dipercaya oleh orang Jawa sebagai “trah”, yang bermakna darah. Sehingga ada istilah “trah pandhita”, “trah bangsawan”, “trah sudagar”, “trah ulama”, “trah sudra”, dan lain-lain.
Orang Jawa pada umumnya akan selalu menjaga kemurnian “trah” mereka. Keturunan ulama akan dikawinkan dengan keturunan ulama, keturunan saudagar dengan saudagar, dan sebagainya. Seperti misalnya pada geneologi orang Kalang, yang masih kukuh mempertahankan perkawinan sesama orang Kalang. Ini bertujuan untuk terus menjaga kemurnian “trah” mereka. Sehingga untuk itu, orang Jawa mengenal istilah “bobot”, “bibit”, dan “bebet.” Bobot bermakna kualitas personal seseorang, apakah memiliki keunggulan yang nantinya akan diturunkan pada generasi berikutnya. Bibit terkait dengan keturunan-keturunan, artinya kualitas benih yang menyebabkan timbulnya dia. Dan bebet terkait dengan kualitas susila yang dimiliki. Pada setiap perkawinan orang Jawa, ini menjadi perhatian utama, dalam upaya menjaga kualitas “trah” mereka.
Kembali pada persolan leluhur, orang Jawa memiliki 18 tingkatan leluhur yang unik. Pada tingkatan pertama, terdapat 2 orang leluhur yang disebut sebagai “bapak” dan “ibu.” Di beberapa wilayah, misalnya di Banyumas dikenal juga istilah “rama” dan “biyung.” Juga dikenal istilah “mamak” untuk menggantikan istilah “ibu.” Pada tingkat selanjutnya, terdapat 4 orang leluhur yang disebut sebagai “simbah” atau “embah” (Indonesia: Kakek & Nenek). Dikenal juga istilah “kaki” untuk laki-laki, dan “nini” untuk perempuan. Juga istilah “eyang”, juga merupakan penyebutan bagi leluhur tingkatan ini. Pada tingkatan ketiga, terdapat 8 orang leluhur yang disebut dengan istilah “Mbah Buyut.” Selanjutnya pada tingkatan keempat, terdapat 16 orang leluhur yang disebut dengan istilah “Mbah Canggah.” Tingkatan kelima, 32 orang “Mbah Wareng.” Tingkatan keenam, 64 “Mbah Udheg-Udheg.” Ketujuh, 128 “Mbah Gantung Siwur.” Kedelapan, 256 “Mbah Gropak Senthe.” Kesembilan, 512 “Mbah Debog Bosok.” Kesepuluh, 1024 “Mbah Galih Asem.”
Angka tersebut terus berlipat hingga pada tingkatan 18, orang Jawa akan memiliki leluhur yang disebut dengan istilah “Trah Tumerah” dengan jumlah 262144 orang. Angka-angka tersebut merupakan angka “pancer”, artinya hanya leluhur (Jawa: leluhur pancer) yang menurunkan satu orang tertentu saja. Pada faktanya, orang Jawa mungkin saja memiliki banyak leluhur karena satu orang leluhur memiliki banyak saudara. Sehingga leluhur yang demikian bukan disebut sebagai “leluhur pancer”, namun “leluhur iringan” karena merupakan saudara “leluhur pancer.”
Angka-angka tersebut bisa bertambah atau berkurang pada beberapa kasus. Angka-angka tersebut bertambah jika seorang leluhur memiliki saudara, seperti yang telah dibahas sebelumnya, sehingga menjadi “leluhur iringan.” Namun, angka tersebut menjadi berkurang manakala terjadi perkawinan sedarah, sehingga jumlah leluhur diatasnya menjadi tidak sesuai dengan jumlah angka pada setiap generasi. Misalkan seseorang yang pada generasi ketujuh diatasnya, terdapat perkawinan sedarah, maka mungkin saja jumlah “Galih Asemnya” menjadi kurang dari 1024 orang.
Dalam hal ini orang Jawa juga mengenal istilah “nak-sanak” atau “nak-dulur”, “Misan”, “Mindho”, “Ming Telu”, dan seterusnya. “Nak Sanak” berarti “tunggal embah” atau satu kakek. Saudara “Misan” berarti “tunggal buyut” atau satu buyut/cicit. Sedangkan saudara “Mindho” berarti saudara “tunggal canggah” atau satu canggah/piut. Dan “Ming Telu” adalah saudara “tunggal wareng.” Guna menghindari perkawinan sedarah, orang Jawa mengenal tuturan “misan bisa dari besan, mindho bisa dadi bojo” artinya “saudara satu buyut diperbolehkan menjadi besan, dan saudara satu canggah diperbolehkan menjadi suami-istri.”
Namun jeleknya orang Jawa, ia merupakan orang yang plin-plan dan tidak konsisten. Mereka memuliakan leluhur, tetapi tidak meninggalkan catatan siapa saja nama leluhur pada setiap generasi atau tingkatan. Sehingga perkawinan sedarah mungkin sekali banyak terjadi karena ketidaktahuan kesamaan leluhur. Sampai berapa generasikah anda tahu nama leluhur anda sendiri? Simbah? Mbah Buyut? Mbah Canggah? Mbah Wareng? Mbah Udheg-Udheg? Mbah Gantung Siwur? Mbah Gropak Senthe?
DL!

Semarang, 25 Juli 2015

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar