Sabtu, 05 September 2015

Tradisi Lisan di Kabupaten Kebumen, Tinjauan Sosio-Kultural terhadap Tradisi Masyarakat Pedesaan



Tradisi Lisan di Kabupaten Kebumen,
Tinjauan Sosio-Kultural terhadap Tradisi Masyarakat Pedesaan
Oleh Agusta Prihantoro (3101412008),
Mahasiswa Pend. Sejarah, S1, Unnes


Abstrak
Kabupaten Kebumen, adalah wilayah geopolitik di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Pulau Jawa bagian selatan. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, di timur laut dan utara dengan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Sementara itu di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Di sebelah selatan Samudra Hindia. Wilayah yang terhampar, seluas 1.281,115 km2 ini, memiliki aspek kebudayaan yang beragam. Secara kultural merupakan bagian dari budaya Banyumasan, sehingga bahasa yang digunakan sebagian besar penduduknya adalah Banyumasan. Tradisi yang ada di masyarakat pun tidak jauh berbeda dengan kultural masyarakat di wilayah-wilayah Banyumasan. Sebagian besar masyarakat pedesaan (pinggiran dan pedalaman) masih sangat kental dengan tradisi lisannya. Dengan tradisi lisan yang relatif masih berkembang, menjadi potensi Kabupaten Kebumen secara sosio-kultural untuk dikembangkan menjadi potensi wisata dan khasanah budaya tersendiri.
Kata kunci : Tradisi lisan, masyarakat pedesaan, Kabupaten Kebumen




PENDAHULUAN
Kebumen sebagai wilayah agraris terutama di kawasan Kebumen bagian selatan yang tanahnya alluvial, menjadi kawasan hamparan pertanian yang sangat produktif. Sementara itu kawasan Kebumen atas yang meliputi wilayah perbukitan menjadi daerah pemasok kayu untuk bahan bangunan yang baik. Ada sungai yang menghubungkan antara Kebumen atas dengan daerah pesisir, yaitu sungai Luk Ula / Luk Ulo. Sungai terbesar di Kebumen itu mengalir dari hulunya di perbatasan Wonosobo-Banjarnegara dengan Kebumen, menuju samudera selatan di daerah perbatasan Kecamatan Klirong dengan Buluspesantren yang dikenal dengan nama Prumpung. Dari sini muncul istilah bagi masyarakat daerah pesisir (muara sungai) untuk menyebut dan membedakan asal seseorang, yakni Wong Wetan Kali dan Wong Kulon Kali.
Sungai yang mengalir tepat di selatan jantung Kota Kebumen ini (Kota Kebumen berada persis di utara kelokan Luk Ulo seperti diungkapkan dalam Babad Kebumen karya Raden Soemodidjojo di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1953 halaman 4 yang tertulis, “....ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang...”, “....Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi / Kanjeng Pangeran Bumidirja –paman Susuhunan Amangkurat I Tegalwangi− wau ujuripun mangidul urut sapinggiring Lepen Lukula, udakawis sampun wonten 3 pal, dene alangipun mangetan udakawis wonten ½ pal...”), menurut beberapa peneliti di LIPI Karangsambung, merupakan sungai tua. Hal tersebut berdasarkan atas kajian ilmiah morfologi dan keadaan sungai serta kajian arkeologi purbakala yang ditemukan di daerah Gombong (beberapa jenis kapak genggam), di mana diketahui sungai ini memiliki meander yang cukup banyak. Bahkan meander-meandernya yang sudah sangat mengendap di sekeliling sungai dijadikan lahan pertanian warga sepanjang sungai. Maka sangat mungkin sekali bahwa dahulunya di wilayah sekitar sungai ini menjadi daerah hidup manusia purba, mengingat adanya penemuan beberapa artefak purba di Gombong. Jika diperhatikan pemberian nama Luk Ulo ini sangat cocok dengan kondisi alam sungai ini yang sangat berkelok-kelok (Jawa = Luk) yang kelihatan seperti ular (Jawa = Ulo) menjulur mulai pucuk utara hingga Samudera Hindia.
Sungai ini juga rahmat bagi para penambang pasir dan pengusaha cincin akik/permata, karena berjuta-juta ton material pasir selalu tersedia di hampir sepanjang sungai ini, yang kadang juga membawa batu-batu yang indah untuk dipoles menjadi kerajinan batu permata. Dahulu, sungai ini juga digunakan untuk transportasi terutama hasil hutan seperti Bambu untuk dipasarkan di kota, tetapi seiring dengan semakin kecilnya arus sungai terutama ketika musim kemarau serta kamajuan zaman, cara transportasi ini mulai ditinggalkan (Sugeng Riyadi, 1992 : 7).
Secara historis, seperti yang sudah disinggung sedikit di depan, nama Kebumen berasal dari nama seorang bangsawan Mataram, Kanjeng Pangeran Bumidirja, adik Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ketika masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, Pangeran Bumidirja meninggalkan kraton karena tidak cocok dengan model pemerintahan yang dijalankan oleh Sunan Amangkurat I, dan membuka hutan di samping sungai Luk Ula / Ulo (Soemodidjojo, 1953 : 3-4). Seperti diceritakan di Babad Kebumen, Pangeran Bumidirja mengganti namanya menjadi Kyai Bumi. Dan hutan yang dibuka menjadi kawasan pemukiman tersebut disebut dengan Kabumian atau Kebumen.
Tetapi perlu diingat, bahwa historiografi tradisional tersebut yakni Babad Kebumen, sepenuhnya atas sudut pandang elit bangswasan di kraton. Tanpa melihat kenyataan lain bahwa jauh hari sebelum Kyai Bumi menetap di Kebumen, sudah ada sekelompok penguasa lokal yang menguasai wilayah ini. Seperti diceritakan di Babad Karangsambung, ada keluarga galur Panembahan Badranala yang lebih dahulu menetap di Kebumen atau di historiografi tersebut menyebut dengan nama Panjer (Otigus, 1987 : 4). Menurut babad ini, Panembahan Badranala (Ki Bagus Badranala) adalah putra dari Ki Madusena atau cucu dari Ki Ageng Mangir VI (Wonoboyo) dan Ratu Pambayun. Jadi masih keturunan dari Panembahan Senapati secara langsung. Terlepas dari valid dan tidaknya pemberitaan di babad ini, kita diberi gambaran cerita sejarah dari sudut pandang orang Kebumen sendiri.
Jika Babad Kebumen lebih menekankan pada pencitraan keluarga Kraton Mataram yakni Pangeran Bumidirja dan keturunannya, sedangkan Babad Karangsambung lebih menekankan pada keluarga Panembahan Badranala dan keturunannya, walaupun secara total tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur kraton dan kebangsawanan. Babad Kebumen jika kita cermati akan memberikan kisah-kisah tentang keluarga R.A Arungbinang dan keturunannya, serta jasanya bagi Kraton Kartasura dan Surakarta. Serta kekuatan magi yang meliputinya. Sedangkan Babad Karangsambung memberikan kisah tentang kekuasaan-kekuasaan lokal K.R.T Kalapaking dan perseteruan antara keluarga Kalapaking dan keluarga Arungbinang. Bahkan mengenai kedatangan Pangeran Bumidirja di Panjer/Kebumen, nampaknya sudut pandang kedua babad ini berlainan. Jika Babad Karangsambung menulis bahwa pada tahun 1670, Pangeran Bumidirja lolos meninggalkan Mataram dan datang di Panjer Roma. Oleh Ki Gede Panjer Roma II diberikan tanah disebelah utara kelokan sungai Luk Ulo untuk dijadikan pemukiman/padepokan. Sementara di Babad Kebumen, tertulis demikian,
“...Tindakipun Sang Pangeran sakaliyan garwa, kadherekaken abdi titiga ingkang kinasih. Gancaring cariyos tindakipun wau sampun dumugi tanah Panjer ing sacelaking lepen Lukula. Ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang, nanging taksih wujud wana tarataban. Wana tarataban sacelaking lepen Lukula wau lajeng kabukak kadadosaken pasabinan lan pategilan, sarta pakawisan sakedhik, margi ing ngriku dereng dipun dunungi tiyang...”
(Perginya Sang Pangeran dan istrinya, diikuti tiga orang abdi yang terkasihi. Diceritakan bahwa kedatangannya telah sampai di wilayah Panjer di dekat Sungai Lukula. Di situ tanahnya bagus dan luas, airnya banyak, tetapi masih berwujud hutan belantara. Hutan belantara dekat dengan Sungai Lukula tersebut kemudian dibuka dan dijadikan areal pesawahan dan kebun, dan pekarangan sedikit, karena disitu belum dijadikan tempat tinggal manusia) (Soemodidjojo, 1953 : 4).
            Nampak bahwa pemberitaan kedua babad tersebut berbeda. Jika Babad Karangsambung menunjukkan posisi Ki Gede Panjer Roma II sebagai orang yang berkuasa terhadap tanah yang diberikan kepada Pangeran Bumidirja, maka Babad Kebumen sebaliknya. Tidak ada pemberitaan sama sekali tentang orang bernama Ki Gede Panjer Roma. Babad ini hanya menonjolkan peranan Pangeran Bumidirja membuka daerah tersebut dan keturunan-keturunannya terutama dari sisi magi yang kemudian menjadi keluarga R.A Arungbinang, bupati Kebumen setelah terjadi perebutan dari Kalapaking.
Secara sosio-kultural, wilayah geopolitik Kebumen termasuk dalam lingkup budaya Banyumasan. Sehingga bahasanya pun termasuk dialek Banyumasan. Seperti dipaparkan di buku berjudul Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak karya Budiono Herusatoto, bahwa dialek Banyumasan memiliki sub dialek, seperti Banyumasan sendiri, Kebumenan, Tegalan, Pemalangan, Indramayu-Cirebonan. Sub dialek Kebumenan tidak jauh berbeda dengan dialek Banyumasan. Kata-kata yang digunakan lebih banyak kesamaannya, hanya dalam fonemnya saja dialek Kebumenan sudah tidak sekental dialek Banyumasan. Kemungkinan pencairan kekentalannya itu karena sudah sedikit terbawa logat bandhekan (Purworejo) yang ucapannya ringan. Meskipun demikian, menurut Budiono Herusatoto mengutip pendapat Raminah Baribin, struktur berbagai jenis dialek dalam bahasa Jawa itu tidaklah seajeg atau terukur secara pasti karena setiap jenis dialek bahasa itu amat sulit untuk dibakukan, seperti halnya membakukan batas wilayah otonomi pemerintahan, misalnya batas wilayah kabupaten. Dialek bahasa bagi komunitas yang tinggal di daerah yang berbatasan langsung, akan saling tukar dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya (Budiono Herusatoto, 2008 : 163-164).
Secara budaya, tidak ada perbedaan yang mencolok antara daerah-daerah Banyumasan lain dengan wilayah Kebumen. Meskipun secara budaya batas-batas geopolitik semacam ini tidak nampak pasti, mengingat ada beberapa wilayah di Kebumen sebelah timur yang sangat lekat dengan budaya Mataraman dengan bahasa dialek bandhekannya. Wilayah budaya ini (Banyumasan-Kebumenan) secara geografis hampir 80% lebih merupakan wilayah pedesaan. Dengan areal pesawahan yang masih sangat produktif menghasilkan padi setiap tahunnya. Semboyan Bhumitirta Praja Mukti, yang terdapat pada lambang Kabupaten Kebumen memberikan spirit kepada masyarakat untuk selalu bergerak dan bekerja demi kesejahteraan wilayahnya.  Maka tidak mengherankan apabila masyarakat pedesaan di Kabupaten Kebumen sangat ulet dan tekun. Selain bertani, masyarakat Kabupaten Kebumen yang ada di pedesaan-pedesaan mengisi waktu luang ketika masa tanam padi dengan berternak dan berwirausaha lain. Seperti di Kecamatan Petanahan, banyak sekali masyarakat yang ahli membuat kerajinan tangan dari bambu seperti caping, kocok (semacam keranjang kecil dari bambu), serok wajan (piranti goreng menggoreng dari bambu), dll.
Di Kecamatan Ambal, selain menanam padi dan tanaman-tanaman palawija, masyarakat wilayah tersebut juga menanam Pohon Mlinjo. Dengan berbekal penuturan lisan, tanpa bersekolah, masyarakat Ambal dari tua sampai yang muda mampu untuk membuat makanan Emping (makanan tradisional berbahan utama buah Mlinjo). Yang kemudian dipasarkan ke pasar-pasar tradisonal di Kebumen, seperti Pasar Gombong, Pasar Karanganyar, Pasar Petanahan, Pasar Tumenggungan Kebumen, Pasar Ambal, dan bahkan dipasarkan hingga Gamping, Yogyakarta. Sebelah selatan Kecamatan Ambal memanjang sepanjang pesisir hingga Kecamatan Buluspesantren, terdapat suatu kawasan tanah yang dikenal dengan nama Urut Sewu. Dahulu ini merupakan tanah bebas milik pemerintah, tidak dimiliki oleh perorangan. Namun ketika kesuburan tanah ini diolah, dan dimanfaatkan oleh masyarakat, wilayah ini kemudian ramai dihuni oleh masyarakat. Berbagai tanaman palawija dan buah musiman, banyak diproduksi dari daerah ini. Misalnya semangka, melon, belimbing, mentimun, kacang panjang, kacang tanah, cabai merah, cabai rawit, tomat, jagung, dll.
Sektor peternakan yang paling banyak dijumpai di wilayah Kebumen adalah unggas. Masyarakat pedesaan yang tinggal di dekat areal pesawahan banyak yang memelihara ayam dan bebek. Bebek yang dipelihara biasanya ada dua macam cara, dengan klethekan dan atau buaran/giringan. Pemeliharaan secara tradisional ini biasanya yang paling umum adalah klethekan yakni dengan memelihara 6-15 ekor bebek untuk dilepasliarkan di areal pesawahan, dan ketika sore hari kawanan bebek tersebut kembali ke kandangnya untuk bertelur. Sementara pemeliharaan tradisional secara buaran/giringan lebih besar lagi dengan melibatkan beberapa orang atau kelompok wong buara (orang yang menggembalakan bebek), dengan jumlah bebek mencapai ratusan. Pemeliharaan ini biasanya berpindah-pindah untuk mencari sumber makanan bagi bebek tersebut.

PEMBAHASAN
Masyarakat pedesaan di Kabupaten Kebumen lebih harmonis dan lebih natural dibandingkan dengan wilayah-wilayah pusat perekonomian dan pemerintahan, seperti Gombong, Karanganyar, dan Kebumen sendiri. Etika-etika tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat lain lebih terkesan santun dan lebih toleran dengan perbedaan antar individu anggota masyarakatnya. Tradisi yang berkembang secara lisan (Oral Tradition), sangat benyak di wilayah Kabupaten Kebumen. Meskipun pada masyarakat pedesaan lebih bervariatif dari pada masyarakat pusat perekonomian dan pemerintahan. Diantara wilayah-wilayah Kebumen yang dapat digolongkan masuk dalam kawasan pelosok adalah Kecamatan Sempor, Karanggayam, Sadang, Ayah, Buayan, Puring, Petanahan, dll. Meskipun penggolongan semacam ini bukan hal yang baku, apalagi pada era saat ini, pembangunan daerah pelosok terus dikebut agar terjadi pemerataan kemakmuran. Namun demikian, penggolongan wilayah pelosok untuk mengindikasikan bahwa secara sosio-kultural masyarakat wilayah-wilayah tersebut lebih “terjaga” dari perubahan kultural masyarakat. Sehingga budayanya relatif masih alami, walaupun tidak menafikan bahwa tradisi-tradisi masyarakat tersebut juga sudah mengalami sentuhan-sentuhan pembaharuan. Beberapa tradisi lisan yang ada di Kabupaten Kebumen diantaranya,
      1.            Prosesi Panen Sarang Burung Walet, dan interaksi sosio-kultural di Kecamatan Buayan, Kebumen.
Panen sarang burung Walet, adalah prosesi adat pengunduhan sarang burung Walet di Gua Karangbolong, Kecamatan Buayan, Kebumen. Atau sekitar 18 km di selatan kota Gombong (Sugeng Riyadi, 1992 : 59). Sebenarnya, burung ini secara alami hidup di beberapa gua di daerah Kecamatan Buayan, Kebumen. Burung-burung ini membuat sarang di dalam atap-atap gua seperti di Gua Karangbolong, Gua Karangduwur dan Gua Pasir. Tetapi pada prosesi ini, yang dikhususkan sebagai potensi wisata daerah adalah di Gua Karangbolong. Mulut gua ini menghadap ke laut. Deburan ombak dikala pasang menerobos ke dalam ruangan gua.

Ini adalah salah satu tradisi unik dan khas Kabupaten Kebumen. Sekaligus menjadi event wisata unggulan daerah. Mengingat ini adalah suatu prosesi yang dilaksanakan hanya pada waktu-waktu tertentu serta biaya yang mahal, sehingga prosesi pengunduhan sarang burung Walet, ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Kebumen secara langsung dan dijadikan potensi wisata khas daerah Kebumen. Dan dilaksanakan oleh masyarakat sekitar lokasi wisata Gua Karangbolong, Kecamatan Buayan. Prosesi persiapannya memang dibuka untuk umum, tetapi kegiatan intinya, umumnya tidak terbuka bagi masyarakat luas. Hal ini karena medan menuju tempat pengunduhan (Gua Karangbolong) sangat sulit dan riskan kecelakaan. Sehingga hanya orang yang ahli dan ditugasi untuk mengunduh saja yang diperbolehkan menuju ke tempat pengunduhan.
Pengunduhan sarang burung Walet ini, biasanya dilakukan rata-rata tiga bulan sekali. Sedangkan yang menjadi patokan pelaksanaan pengunduhan adalah hitungan pranatamangsa (musim) dalam adat Jawa (Sugeng Riyadi, 1992 : 60). Waktu-waktu pengunduhan adalah pada musim/mangsa ke,
1.      Mangsa Karo (kira-kira pada bulan Agustus)
2.      Mangsa Kapat (kira-kira pada bulan Oktober)
3.      Mangsa Kapitu (kira-kira pada bulan Januari)
4.      Mangsa Kasanga (kira-kira pada bulan Maret).
Rata-rata tiap tahunnya Pemda Kabupaten Kebumen memanen 1,5 kwintal sarang burung Walet. Data ini didasarkan pada tulisan karya Sugeng Riyadi pada tahun 1992. Ada kemungkinan produksi sarang setiap tahunnya mengalami penurunan, karena ulah sebagian masyarakat yang jahil, melakukan pencurian sarang pada waktu yang tidak ditentukan sehingga banyak burung Walet yang bubar dan pindah tempat. Gua karang lain yakni Karangduwur dan Pasir, letaknya tidak jauh dari Gua Karangbolong.
            Prosesi pengunduhan sarang burung ini telah dikenal sejak dahulu kala, paling tidak sudah ada laporan dari Pemerintah Kolonial mengenai prosesi pengunduhan dibuktikan dengan adanya foto lukisan yang mengilustrasikan pengunduhan sarang burung Walet di Karangbolong pada tahun 1883-1889. Berdasarkan tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat sekitar lokasi gua, prosesi biasanya dimulai pada hari Jumat. Setelah salat Jumat diadakan upacara selamatan di Komando Pengunduhan, yaitu di Pesanggrahan Karangbolong. Selamatan disini karena menurut kepercayaan masyarakat sekitar lokasi, yang memiliki burung Walet tersebut adalah Nyai Ratu Kidul, mitologi dewi penguasa samudra selatan. Tujuannya agar terhindar dari musibah, sehingga semua peserta panen (pemanen) sarang burung Walet siwajibkan mengikuti (nglakoni) rangkaian ritual adat. Upacara selamatan dipimpin oleh Pak Mandor.
            Setelah acara selamatan di Pesanggrahan Karangbolong, kemudian digelar pertunjukan wayang kulit di depan Gua Contoh (buatan) Karangbolong di obyek wisata Pantai Karangbolong, dengan memainkan lakon yang selalu sama, yaitu Rama Tambak dan diahiri dengan melarung sesaji (Sugeng Riyadi, 1992 : 36). Pertunjukan wayang ini berbeda dengan pertunjukan wayang biasanya karena tidak menggunakan kelir atau layar. Selain itu persiapan perangkat Gamelan dan penabuhnya pun relatif sederhana, sehingga terlihat unik serta berbeda dengan pertunjukan wayang umumnya. Setelah persiapan pertunjukan selesai, sang dhalang membuka dengan membaca mantra untuk membuka pagelaran. Mantra tersebut sebagai perwujudan doa sekaligus minta izin kepada Sing Bahureksa (penguasa gaib yang menjaga tempat tersebut), diantaranya Kanjeng Ratu Kidul dan pengikutnya seperti Joko Suryo, Suryawati, Den Bagus Cemeti, Kyai Bekel, Kyai Surti agar diberi keselamatan dan diizinkan mengambil sarang burung Walet.
            Setelah pertunjukan wayang selesai, kemudian dilanjutkan melarung (membuang) sesaji ke laut di Pantai Karangbolong. Sedangkan sesaji yang harus ada adalah kain lurik ijo gadung (kain hijau muda), udeng wulung (penutup kepala dari kain khas orang Jawa yang berwarna hitam), selendang, kasur, bantal putih, dan jajan pasar (makanan pasar). Menurut masyarakat, ini adalah klangenan (kesukaan) Kanjeng Ratu Kidul. Sesaji lain yang sifatnya tidak menentu adalah 3 kepala kerbau muda. Hal ini karena kegiatan pengunduhan dilakukan di tiga tempat yang berbeda (Sugeng Riyadi, 1992 : 37).
            Pada malam harinya (malam Sabtu), dilanjutkan dengan hiburan wayang kulit semalam suntuk. Cerita masyarakat sekitar lokasi Karangbolong sebagai berikut ini,
“Nang pagelaran wayang kulit, ana aturane yakuwe paraga wayang ora olih gugur nang perang, sebab nek nang pergelaran kuwe ana sing mati, diyakini bakal ana pengundhuh susuh walet sing kenang musibah.”
(Di pagelaran wayang kulit, ada aturan yaitu tokoh wayang tidak boleh gugur dalam perang, sebab kalau pergelaran itu ada yang mati, dipercaya akan ada pengunduh sarang burung Walet yang terkena musibah).
Kemudian pada hari Sabtu siang diadakan pagelaran kesenian tradisional kuda lumping dan tari topeng. Sore harinya ditampilkan kesenian Tayub/Lengger dengan mengikutkan para pengunduh. Barulah pada Minggu pagi pengunduhan dilaksanakan. Itupun tergantung pada pasang atau surutnya air laut. Jika permukaan laut sedang pasang naik, maka pengunduhan mundur sampai situasi memungkinkan (Sugeng Riyadi, 1992 : 37). Ketika sampai di dalam gua, pengunduhan harus dilakukan dengan membuat tangga-tangga hingga ke atap gua dan seorang pengunduh menaikinya dan mengunduh menggunakan galah panjang.
            Dongeng terkait prosesi pengunduhan sarang burung Walet ini yang berkembang di masyarakat Buayan secara lisan adalah terkait Kyai Surti. Menurut masyarakat sekitar lokasi, Kyai Surti adalah utusan Kerajaan Mataram Kartasura, dia ditugasi agar mencari obat bagi permaisuri raja yang sedang sakit keras, ke arah barat hingga tiba di Pantai Karangbolong. Kyai Surti kemudian bertapa di tempat tersebut hingga mendapatkan wangsit dari Dewi Suryawati, anak buah Kanjeng Ratu Kidul. Dia memberikan petunjuk bahwa obat yang dicari itu adalah sarang burung Walet yang ada di dalam Gua Karangbolong. Diceritakan bahwa selanjutnya Kyai Surti menikah dengan Dewi Suryawati dan permaisuri raja kembali sehat.
Dari berbagai sudut pandang, tradisi panen sarang burung Walet memiliki aspek-aspek seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Secara ekonomi, dengan adanya tradisi semacam ini tentu saja akan menambah destinasi wisata dan membuka peluang usaha terkait kegiatan tersebut misalnya paket wisata. Selain itu, nilai ekonomis dari sarang burung Walet dapat menjadi pendapatan asli daerah Kabupaten Kebumen. Dari sisi sosial, tradisi mengunduh sarang burung Walet mampu merekatkan semangat-semangat masyarakat pedesaan yang guyub dan rukun. Mengingat medan menuju tempat pengunduhan yang sangat berat, dengan kerjasama yang bagus dan tepat, serta semangat gotong royong, mereka dapat melakukan pengunduhan tersebut. Dari sisi budaya, sangat jelas dengan tetap berlangsungnya kegiatan pengunduhan sarang burung Walet, budaya khas tersebut tetap lestari dan terjaga. Walaupun untuk beberapa unsur diantaranya sudah lebih luwes dengan logika masyarakat masa kini. Tradisi masyarakat Jawa yang erat dengan cerita tutur layaknya Kyai Surti seperti diatas tadi, membuat masyarakat pedesaan Buayan berupaya menjaga kelestarian budaya tutur tersebut dengan membuat suatu even pengunduhan yang dalam pelaksanaannya sangat multi unsur tradisi yang terlibat.
      2.            Kesenian Tradisional Jamjaneng (Janeng), pesan moral dalam ritmis lagu tradisional di pedesaan Kebumen.
Jamjaneng atau sering disebut janeng, adalah kesenian tradisional bernuansa islam yang banyak terdapat di semua wilayah pedesaan Kabupaten Kebumen (Slamet Riyadi, 1992 : 37). Kesenian ini minimal dibawakan oleh sekitar enam orang seniman, yang masing-masing menabuh alat musik tersendiri sambil menyanyi (Jawa : nggerongi). Lagu-lagu yang dibawakan berupa solawatan yang diambil dari Kitab Al-Barzanji dan lagu-lagu lain yang bernuansa Islam. Sementara standar alat musik kesenian ini terbuat dari kayu dan kulit (perkusi), ada lima macam,
a.       Gong ; bentuknya seperti rebana besar dengan garis tengah lebih kurang 60 sampai dengan 70 cm,
b.      Petengah ; seperti Gong namun bentuknya lebih kecil, garis tengah lebih kurang 30 sampai dengan 40 cm,
c.       Kenong ; rebana paling kecil dengan ukuran garis tengah lebih kurang 25 sampai dengan 35 cm,
d.      Kendang ; bentuknya sama dengan kendang seperti pada kesenian karawitan,
e.       Ketipung ; kendang kecil (http://kebumenkab.go.id).
Populasi kesenian Jamjaneng tersebar di semua desa di Kabupaten Kebumen, bahkan banyak desa yang memiliki lebih dari satu kelompok setiap desa. Jika dahulu kesenian ini hanya dimainkan oleh kaum laki-laki, tetapi pada era sekarang ini lebih adaptif lagi dengan munculnya kelompok Jamjaneng wanita. Di Kabupaten Kebumen, seni Jamjaneng yang terkenal banyak berasal dari wilayah desa Peniron, Kecamatan Pejagoan. Dan wilayah-wilayah Kebumen utara seperti di Kecamatan Sadang (Slamet Riyadi, 1992 : 37).
Tradisi tutur masyarakat di wilayah Kebumen, memercayai cerita sejarah mengenai Jamjaneng. Dikatakan bahwa, pada jaman kesultanan Demak, agama Islam tersebar di berbagai penjuru Jawa Tengah, termasuk juga wilayah Kebumen. Salahsatu penyebarnya adalah Sunan Kalijaga. Di dalam menyiarkan agama Islam, Sunan Kalijaga memasukkan jalur seni, seperti di Demak dengan seni Wayang Kulit dengan musik gamelan. Demikian pula di daerah Kebumen, karena sulit untuk mendapatkan seperangkat gamelan, selain jauh dari pengrajin juga sangat mahal harganya. Kemudian Sunan Kalijaga menyuruh membuat alat kesenian dari potongan kayu yang dilobangi kemudian salah satu permukaannya ditutup dengan kulit binatang. Sedangkan untuk gendang ditutup keduanya.
Disela-sela memberi pengajian diisi hiburan musik dari kayu dengan syair sholawat. Pembuat alat tersebut adalah seorang tukang yang berasal dari daerah Kebumen bernama KI JAMJANI. Sepeninggal Sunan Kalijaga, kesenian tersebut berkembang, bahkan beberapa desa di sekitarnya ikut membuat kesenian tersebut. Namun sampai Ki Jamjani meninggal, kesenian tersebut belum memiliki nama, hasil kesepakatan masyarakat dan atas saran Sunan Kalijaga, kesenian tersebut diberi nama JAMJANENG karena alatnya adalah hasil karya Kyai Jamjani (http://kebumenkab.go.id).
Beberapa hal yang membedakan kesenian Jamjaneng dengan kesenian di daerah lain adalah adanya bagian lagu yang disebut dengan Bawa. Bagian ini dilagukan sebelum lagu inti dan alat musik dibunyikan. Lagu vocal dinyanyikan tanpa iringan apapun, biasanya berupa tembang Macapat. Isinya mengenai petuah-petuah baik yang harus diterapkan dalam kehidupan di dunia agar selamat dunia ahirat. Contohnya seperti tembang Macapat jenis Pucung sebagi berikut ini,
            “Sabar iku, tuhu musthikaning laku,
            Ganjarane nyata,
            Tan winates dening Gusti,
            Tuhu begja, sapa bisa angamalna.”
            (Sabar itu, memang utamanya perbuatan,
            Pahalanya nyata,
            Tidak dibatasi oleh Tuhan,
            Sungguh beruntung, siapa yang dapat mengamalkannya).
Kesenian Jamjaneng biasanya ditanggap oleh masyarakat pedesaan yang sedang memiliki hajat tertentu semalam suntuk. Terutama ketika seseorang akan menikahkan anak perempuannya, semalaman sebelum acara atau sebelum hari H, diadakan pertunjukan seni Jamjaneng semalaman. Ini terkait dengan kepercayaan Jawa yang disebut malam midodareni, yaitu malam sebelum penganten dipertemukan atau dinikahkan. Ini adalah malam sakral ketika para bidadari turun dari kahyangan untuk memberikan berkah kepada orang yang akan menikah. Maka yang empunya hajat, diharapakan tidak tidur (Jawa : tuguran) sekaligus bersiap-siap agar acara yang akan diselenggarakan besok berjalan lancar. Untuk menghilangkan sepi, kemudian ditanggaplah kesenian tersebut. Mengenai ongkosnya, kelompok kesenian Jamjaneng biasanya tidak pernah memasang tarif, hanya kebijaksanaan dari yang menanggap. Hal ini seperti yang pernah saya alami sendiri, ketika masih aktif di kesenian ini beberapa tahun lalu di kelompok Seni Jamjaneng Purwa Sangga Langit, Dukuh Ulekan Raya, Desa Karangduwur, Kecamatan Petanahan. Ketika itu grup kami sedang ada tanggapan di rumah Haji Darnuji, seorang sesepuh kampung yang menikahkan anak perempuannya. Pertunjukkan kesenian ini dilakukan semalam suntuk dengan penonton warga sekitar rumah Haji Darnuji yang sedang membantu persiapan hajatnya.
Pesan-pesan sosial keagamaan yang disampaikan dalam kesenian ini misalnya seperti ada pada teks lagu Jamjaneng yang sering dibawakan, berjudul Yo Elingo,
“E Dzikrullah Allah Allah Dzikrullah
Yen Dzikira Sira Maring Gusti Allah

E Sirrullah Allah-Allah Isirullah
E Yola Datullah, Allah Allah Allah Yola Datullah
E Sifatullah, Allah Allah Wujudullah

E Ulehana Kulo Dumateng Dunya
E Umahena Kula Niki Pinggireng Masjid
E Shalat Makmum Shalat Sunat Kulo Lampahi.”

Syair diatas menggambarkan ketika seseorang kafir yang tidak beragama meninggal dunia, di dalam kubur dia disiksa oleh Malaikat Mungkar-Nakir. Metrum yang dibawakan dengan nada tinggi (Jawa : ngelik) tersebut secara jelas menggambarkan beratnya siksa kubur. “...E Ulehana kula dhumateng dunya, e umahena kula niki pinggireng masjid, e shalat makmum shalat sunat kula lampahi...” mengandung maksud permohonan oleh si mayat agar dia dikembalikan lagi ke dunia, dan diberikan rumah di pinggir masjid, agar dapat beribadah menunaikan salat berjamaah serta salat sunah. Syair Janengan dengan tema tasawuf seperti diatas tadi berisi ajakan untuk mengingat Allah, selalu ada dalam setiap pertunjukan Jamjaneng (Akhmad Arif Junaidi, 2013 : 484).


SIMPULAN
            Tradisi lisan ada di masyarakat dan diwariskan secara verbal antar generasi. Hal penting yang perlu dicatat dari tradisi lisan di wilayah pedesaan Kebumen, pada umumnya tidak bisa terlepas dari unsur mitologi. Unsur ini seolah menjadi daya tarik utama dalam setiap latar belakang tradisi lisan yang ada. Selain itu, tidak dapat kita pungkiri bahwa tradisi lisan di wilayah pedesaan Kebumen banyak sekali mengandung nilai-nilai moral, yakni nilai tentang benar dan salah, kasar dan halus, atau baik dan buruk.
            Nilai yang tersampaikan secara verbal ini memang tidak disampaikan secara lugas dalam bentuk aturan yang mengikat tentang sesuatu baik atau sesuatu buruk, tetapi dalam kemasan yang sangat rapi sekaligus menjadi teka-teki bagi generasi penerusnya mengenai maksud serta tindakan apa yang mesti diperbuat. Misalnya nilai moral tentang kesabaran, tidak disampaikan kepada genarasi penerusnya dengan memerintahkan secara langsung untuk berbuat yang disebut dengan sabar, tetapi membungkusnya dalam nyanyian Jamjaneng, sehingga ada kesan seni. Barangkali si empunya sudah paham bahwa sesuatu yang disampaikan dengan senang hati, tidak terpaksa, dan dalam kemasan seni, akan mudah ditangkap dan dihayati oleh pendengarnya.


Daftar Pustaka

  1. Riyadi, Sugeng. 1992. Kebumen Beriman, Tanah Kelahiranku. Kebumen : CV. Pustaka Abadi Kebumen 
  2. Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Yogyakarta : LKiS 
  3. Soemodidjojo, Raden. 1953. Babad Kebumen, Nyariosaken Mulabukanipun Ingkang Cikalbakal ing Kebumen. Yogyakarta : Praja Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat 
  4. Otigus. 1987. Dongeng Karang Sambung, Kenangan Atas Leluhur Tercinta (Babad Karangsambung). Kebumen : Media Daerah Indrakila Kebumen 
  5. Junaidi, Akhmad Arif. 2013. Janengan Sebagai Seni Tradisional Islam Jawa. E-Journal Walisongo vol. 21. 2 : 469-489
  6. http://kebumenkab.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar