Ketika
Aktor Berbicara Sejarah (Resensi)
Oleh :
Agusta Prihantoro, 3101412008
Mahasiswa Pend. Sejarah, Unnes
Identifikasi Buku :
1.
Judul Buku : Orang-Orang Tionghoa &
Islam di Majapahit
2.
Pengarang : Andrian Perkasa
3.
Ukuran Buku : 14,5 x 20,5 cm
4.
Jumlah Halaman : xvi + 148 halaman
5.
Penerbit : Ombak
6.
Tahun Terbit : 2012
7.
ISBN : 978-602-7544-33-8
“Jangan
sekali-kali melupakan sejarah!” Semboyan ini kerap kita dengar. Kita juga kerap
memaknai kalimat tersebut. Namun hanya sebatas pada memberikan makna saja,
tanpa berpikir jauh bagaimana cara sejarah tidak dilupakan. Agar tidak
terlupakan, sejarah harus ditulis. Penulisan sejarah ini yang disebut historiografi.
Menulis sejarah bukan hal yang mudah, karena sejarah merupakan suatu keilmuan,
sehingga sejarah harus empiris, logis, sistematis, dan memiliki metode. Metode
dalam sejarah meliputi pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber,
interpretasi, dan penulisan. Seorang penulis sejarah harus melalui tahap-tahap
tersebut untuk menelorkan tulisan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mengkonsolidasikan sumber-sumber bukan hal yang mudah pula, apalagi sumber artifisial
yang berbeda tulisan, bahasa, zaman, dan lain sebagainya. Jadi, menulis
sejarah tidak semudah mengucapkan kata-kata di depan tadi.
Begitu
pula dengan Andrian Perkasa, aktor film “Ketika Cinta Bertasbih” dan “Cinta
Suci Zahrana.” Dia harus melalui pelbagai penelitian untuk membuat tulisan ini.
Sebelum sampai pada kesimpulan ada peranan orang-orang Tionghoa dalam
pengislaman Majapahit, dia harus melakukan serangkaian riset yang mendalam
serta kajian khusus tentang sumber-sumber sejarah primer pada masa Majapahit. Buku
Andrian Perkasa ini, awalnya merupakan skripsi untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di bidang sejarah Universitas Airlangga, Surabaya. Diterbitkan oleh
Ombak pada 2012, buku ini berusaha menggabungkan kajian sejarah Indonesia
klasik (masa Hindu-Buddha) dan kajian sejarah perkembangan Islam (Indonesia
baru I), sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Buku ini akan menjelaskan
anomali-anomali sejarah pada masa klasik akhir, terutama di Majapahit, mengenai
munculnya golongan masyarakat Islam di ibukota kerajaan.
Komunitas
pedagang asing yang kemudian menjadi kelompok elite baru Majapahit berperan
besar dalam membawa Islam ke ibukota Kerajaan Majapahit (Trowulan) pada abad
XIV dan XV. Mayoritas dari mereka adalah kelompok Muslim Tionghoa. Komunitas
itu menjadi kelompok elite baru karena peranannya yang besar dalam perdagangan
antardaerah dan antarbangsa. Mereka menempati kota-kota pelabuhan milik
Majapahit. Dalam beberapa catatan Cina menyebutkan di daerah seperti Tuban,
Gresik, Surabaya, dan pelabuhan-pelabuhan lainnya merupakan daerah yang banyak
ditinggali masyarakat Tionghoa Muslim tersebut. Tidak sebatas pada kota
pelabuhan saja, bahkan Trowulan yang dianggap sebagai bekas ibukota Majapahit,
pun ditunggali oleh orang-orang Muslim Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan
adanya penemuan teracotta wanita Tionghoa di Majapahit. Selain itu
mendasarkan kemiripan tulisan Arab pada nisan Tralaya/Troloyo dengan yang ada
di Quanzhou dan Yunnan, Andrian Perkasa menyimpulkan bahwa nisan-nisa
Tralaya/Troloyo merupakan kompleks pemakaman bagi elite-elite Tionghoa Muslim yang
diterima di Majapahit. Sebagai bukti, dia menyodorkan catatan Ying-Yai
Sheng-Lan yang ditulis Ma Huan pada 1416, mengenai penduduk Majapahit. Ini
juga dibuktikan dengan lokasi pemakaman yang dekat dengan situs bekas Ibukota
Majapahit, Trowulan.
Makam
Tralaya/Troloyo yang dikenal sebagai Makam Tujuh, seperti yang dibahas pada
karya Andrian Perkasa ini, memiliki pentarikhan berkisar antara tahn 1397,
1407, 1427, 1467, 1475 M. Berarti nisan-nisan ini sudah ada semenjak Majapahit
masih berdiri (atau ketika Trowulan masih difungsikan sebagai ibukota). Makam
Tralaya/Troloyo berdekatan dengan kompleks keraton dan rumah para bangsawan
Majapahit. Bukti tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa agama Islam yang
dibawa kelompok elite baru itu, telah menyebar di kalangan keraton kemudian
dipeluk oleh para bangsawan atau keluarga Raja Majapahit. Adanya kalangan
keluarga raja yang memeluk agama baru itu karena faktor perkawinan dan ekonomi.
Penggunaan lambang Surya Majapahit pada nisan di beberapa makam dalam kompleks
Makam Tralaya/Troloyo adalah contoh para bangswan Majapahit yang telah memeluk
agama baru itu.
M.C.
Ricklef dalam “a History of Modern Indonesia”, menyatakan bahwa penyebaran
agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia,
namun juga yang paling tidak jelas. Hal ini karena proses Islamisasi tidak
banyak meninggalkan catatan, bahkan sebagian besar diantaranya merupakan
tradisi tutur di masyarakat, misalnya cerita para Walisanga. Berbeda dengan
masa Hindu-Buddha yang banyak meninggalkan batu bertulis (praçasti),
sehingga memudahkan interpretasi. Sementara itu, pengislaman masyarakat di
suatu daerah tidak meninggalkan catatan layaknya batu bertulis. Akan tetapi
terkumpul dalam memori kolektif serta menjadi tradisi tutur suatu masyarakat.
Maka tidak mengherankan apabila banyak sejarawan yang berpendapat bahwa
pengislaman Jawa terjadi semenjak Majapahit mengalami masa pudar. Parahnya, ini
diajarkan di sekolah-sekolah karena harus sesuai dengan kurikulum. Padahal
kenyataan di lapangan terdapat banyak bukti yang menolak hal tersebut.
Buku
yang pure (murni) membahas sejarah ini, menguraikan masa-masa kusut di
Majapahit. Ditarik menjadi suatu permasalahan historis dan dijadikan pijakan
untuk menyimpulkan argumentasi bahwa Islamisasi Jawa sudah terjadi pada
dekade-dekade akhir Singhasari dan awal Majapahit. Prof. Dr. Slamet Muljana
dalam buku “Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit” (LKiS, 2005), sebagai
seorang filolog sekaligus sejarawan tidak menyinggung mengenai anomali sejarah
ini. Kompleks Islam Tralaya/Troloyo yang
salah satu pentarikhan nisannya menunjukkan tahun-tahun ketika Majapahit
mengalami kejayaan, tidak sempat menjadi permasalahan yang dikajinya. Pun juga
Dr. Hasan Djafar dalam karyanya “Masa Akhir Majapahit, Girindrawarddhana &
Masalahanya” (Komunitas Bambu, 2012) hanya murni membahas suksesi-suksesi
kepemimpinan di Majapahit. Beliau tidak menyinggung mulai maraknya golongan
sosial baru di Majapahit sebagai reaksi atas semakin intensnya hubungan
dengan Islam. Buku yang menyinggung tentang makam-makam Islam Tralaya/Troloyo
(walaupun tidak secara khusus) adalah karya Dr. Uka Tjandrasasmita (Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009), berjudul “Arkeologi Islam Nusantara.” Disitu dibahas
tentang penemuan makam-makam Islam Tralaya/Troloyo sebagai situs arkeologi in situ
dalam kaitannya dengan perkembangan Majapahit di Trowulan.
Buku
ini memiliki segi organisasi isi yang cukup baik. Sistematika penulisannya
dengan urutan pembabakan (kronologi) yakni Majapahit pada masa kejayaan,
Majapahit pasca kejayaan, dan juga bahasan utama tentang orang-orang Cina serta
Islam di Majapahit. Bahasa yang digunakan juga relatif mudah dimengerti.
Kalimatnya tidak terlalu berbelit-belit, sehingga tidak mengaburkan gagasan
yang ingin disampaikan. Makam Tujuh Tralaya/Troloyo yang dibahas di sini, juga
disertakan fotonya. Sehingga pembaca yang belum pernah mengunjungi
Tralaya/Troloyo tidak hanya meraba-raba dan membayangkan bentuk nisan-nisan
tersebut. Tetapi pembaca dapat melihat bentuk-bentuk nisan berlambang Surya
Majapahit itu lewat media foto. Nampaknya Andrian paham bahwa media digunakan
untuk menyamakan presepsi sehingga dia menyertakan dokumentasi berupa foto-foto
hasil penelitiannya. Mengenai fisik buku, teknik penyajian, pencetakan, penjilidan,
dan lay out, saya kira cukup baik. Apalagi penerbit Ombak tidak diragukan lagi
sebagai penerbit buku-buku sejarah yang berkualitas. Harga buku ini juga
lumayan terjangkau.
Disatu
sisi, ada beberapa catatan yang kiranya perlu menjadi koreksi buku ini. Pertama,
ilustrasi sampul hanya menggambarkan dua aspek kajian. Menurut saya, aspek
kajian Andrian Perkasa ada tiga yakni orang-orang Tionghoa, agama Islam, dan
Kerajaan Majapahit. Sementara yang terlihat hanya Candi Wringin Lawang (Gapura
Bentar Majapahit) dan Wayang Kulit Potehi (wayang Potehi adalah wayang yang
menceritakan orang-orang Cina). Seharusnya ada ilustrasi satu gambar yang
menggambarkan agama Islam, misalnya nisan-nisan Tralaya/Troloyo atau ilustrasi
masjid. Kedua, dari segi isi, saya rasa Andrian Perkasa terlalu gegabah
dengan meyakini lokalisasi ibukota Majapahit seperti yang digambarkan Prapanca
dalam Kakawin Negarakrtagama (Deçawrnana) dengan meletakkannya di
Trowulan. Banyak sejarawan kaliber yang menolak pelokalisasian ini seperti
Prof. Dr. Slamet Muljana dan Dr. Hasan Djafar. Alasannya, penggambaran tempat-tempat
penting yang dilakukan Prapanca terhadap tata kota Majapahit sangat berbeda
dengan posisi tempat-tempat penting (misalnya candi) di Trowulan sekarang.
Trowulan mungkin salah satu kota/ibukota Majapahit, namun bukan pada masa Hayam
Wuruk.
Ketiga,
kajian artefak in situ Tralaya/Troloyo (Makam Tujuh), tidak dibuat bab tersendiri
di dalam buku. Makam Tujuh Tralaya/Troloyo merupakan sumber primer sejarah,
sehingga pembahasan ini perlu dibuatkan tempat dalam bab khusus. Saya juga
tidak melihat bahwa buku ini mengelompokkan sumber-sumber yang digunakan dalam
penulisan karya, dalam satu bab khusus sehingga memudahkan pembacaan sekaligus
juga penafsiran. Keempat, kelemahan mendasar yang saya garis bawahi dari
buku Andrian Perkasa, dia terlalu berani mengambil panafsiran terhadap beberapa
teks Jawa-Kuno. Latar belakangnya bukan filologi, penafsiran yang dia lakukan
bisa jadi tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah linguistik Jawa-Kuno. Salah
satunya, dia terlalu yakin dengan tafsiran teks berikut sebagai sebuah bangunan
keagamaan Islam (masjid) di Majapahit :
“...Kaňcit prāpta eng tĕgal Wilajanggala,
saňjateng Majapahit, aneng Pablantikan, Ampel-Gading kalawan, Masigit-Agung wus
ĕnti...”(Kidung Sunda, KITLV, C.C. Berg)
Masigit-Agung dia tafsirkan sebagai
Masjid Agung. Namun disini dia hanya sekedar menafsirkan saja, tanpa memberikan
lokalisasi perkiraan bangunan yang dia anggap sebagai Masjid Agung, dan
bukti-bukti artefak bekas masjid yang kiranya mendukung pendapatnya tersebut. Di
lain halaman, saya juga menemukan dia menafsirkan salah satu frasa dalam
praçasti Canggu (daśārdha diwasa) dengan ibadah lima waktu atau salat.
Ini bisa bersifat sangat subyektif dan menjadi kelemahan tulisannya. Seharusnya
jika Andrian hendak melontarkan prespektif baru, dia menyodorkan pendapatnya
dengan bumbu “kemungkinan” atau “kemungkinan besar.” Kecuali jika memang dia
memiliki bukti kuat terhadap hal itu. Sebagai pembanding, dalam aliran
Tantrayana (Çiwa-Buddhā) juga terdapat ibadah lima cara yang disebut “Ma
Limā.” Jadi tidak hanya Islam saja.
Pada
akhirnya, saya tetap menyarankan buku ini untuk dibaca. Buku ini memang
benar-benar menyajikan prespektif baru tentang sejarah Islam di Jawa. Walaupun
disatu sisi, saya masih menjumpai banyak hal-hal subyektif seperti yang saya
utarakan diatas. Hal-hal subyektif ini menjadi kelemahan buku ini, namun
sekaligus juga menjadi keunikan buku. Karena seorang aktor, juga seorang arkeolog,
juga menjadi filolog, sekaligus seorang sejarawan mampu memberikan prespektif
langka Islamisasi Nusantara khususnya Jawa pada buku berjudul “Orang-Orang
Tionghoa & Islam di Majapahit” ini.
Semarang, Sabtu, 7 Juni 2014
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar