Minggu, 15 Juni 2014

Ketika Aktor Berbicara Sejarah (Resensi)


Ketika Aktor Berbicara Sejarah (Resensi)
Oleh :
Agusta Prihantoro, 3101412008
Mahasiswa Pend. Sejarah, Unnes

Identifikasi Buku :
1.      Judul Buku                  : Orang-Orang Tionghoa & Islam di Majapahit
2.      Pengarang                   : Andrian Perkasa
3.      Ukuran Buku              : 14,5 x 20,5 cm
4.      Jumlah Halaman          : xvi + 148 halaman
5.      Penerbit                       : Ombak
6.      Tahun Terbit                : 2012
7.      ISBN                           : 978-602-7544-33-8
8.      Foto                             :

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Semboyan ini kerap kita dengar. Kita juga kerap
memaknai kalimat tersebut. Namun hanya sebatas pada memberikan makna saja, tanpa berpikir jauh bagaimana cara sejarah tidak dilupakan. Agar tidak terlupakan, sejarah harus ditulis. Penulisan sejarah ini yang disebut historiografi. Menulis sejarah bukan hal yang mudah, karena sejarah merupakan suatu keilmuan, sehingga sejarah harus empiris, logis, sistematis, dan memiliki metode. Metode dalam sejarah meliputi pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Seorang penulis sejarah harus melalui tahap-tahap tersebut untuk menelorkan tulisan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Mengkonsolidasikan sumber-sumber bukan hal yang mudah pula, apalagi sumber artifisial yang berbeda tulisan, bahasa, zaman, dan lain sebagainya. Jadi, menulis sejarah tidak semudah mengucapkan kata-kata di depan tadi.
            Begitu pula dengan Andrian Perkasa, aktor film “Ketika Cinta Bertasbih” dan “Cinta Suci Zahrana.” Dia harus melalui pelbagai penelitian untuk membuat tulisan ini. Sebelum sampai pada kesimpulan ada peranan orang-orang Tionghoa dalam pengislaman Majapahit, dia harus melakukan serangkaian riset yang mendalam serta kajian khusus tentang sumber-sumber sejarah primer pada masa Majapahit. Buku Andrian Perkasa ini, awalnya merupakan skripsi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang sejarah Universitas Airlangga, Surabaya. Diterbitkan oleh Ombak pada 2012, buku ini berusaha menggabungkan kajian sejarah Indonesia klasik (masa Hindu-Buddha) dan kajian sejarah perkembangan Islam (Indonesia baru I), sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Buku ini akan menjelaskan anomali-anomali sejarah pada masa klasik akhir, terutama di Majapahit, mengenai munculnya golongan masyarakat Islam di ibukota kerajaan.
            Komunitas pedagang asing yang kemudian menjadi kelompok elite baru Majapahit berperan besar dalam membawa Islam ke ibukota Kerajaan Majapahit (Trowulan) pada abad XIV dan XV. Mayoritas dari mereka adalah kelompok Muslim Tionghoa. Komunitas itu menjadi kelompok elite baru karena peranannya yang besar dalam perdagangan antardaerah dan antarbangsa. Mereka menempati kota-kota pelabuhan milik Majapahit. Dalam beberapa catatan Cina menyebutkan di daerah seperti Tuban, Gresik, Surabaya, dan pelabuhan-pelabuhan lainnya merupakan daerah yang banyak ditinggali masyarakat Tionghoa Muslim tersebut. Tidak sebatas pada kota pelabuhan saja, bahkan Trowulan yang dianggap sebagai bekas ibukota Majapahit, pun ditunggali oleh orang-orang Muslim Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan teracotta wanita Tionghoa di Majapahit. Selain itu mendasarkan kemiripan tulisan Arab pada nisan Tralaya/Troloyo dengan yang ada di Quanzhou dan Yunnan, Andrian Perkasa menyimpulkan bahwa nisan-nisa Tralaya/Troloyo merupakan kompleks pemakaman bagi elite-elite Tionghoa Muslim yang diterima di Majapahit. Sebagai bukti, dia menyodorkan catatan Ying-Yai Sheng-Lan yang ditulis Ma Huan pada 1416, mengenai penduduk Majapahit. Ini juga dibuktikan dengan lokasi pemakaman yang dekat dengan situs bekas Ibukota Majapahit, Trowulan.
            Makam Tralaya/Troloyo yang dikenal sebagai Makam Tujuh, seperti yang dibahas pada karya Andrian Perkasa ini, memiliki pentarikhan berkisar antara tahn 1397, 1407, 1427, 1467, 1475 M. Berarti nisan-nisan ini sudah ada semenjak Majapahit masih berdiri (atau ketika Trowulan masih difungsikan sebagai ibukota). Makam Tralaya/Troloyo berdekatan dengan kompleks keraton dan rumah para bangsawan Majapahit. Bukti tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa agama Islam yang dibawa kelompok elite baru itu, telah menyebar di kalangan keraton kemudian dipeluk oleh para bangsawan atau keluarga Raja Majapahit. Adanya kalangan keluarga raja yang memeluk agama baru itu karena faktor perkawinan dan ekonomi. Penggunaan lambang Surya Majapahit pada nisan di beberapa makam dalam kompleks Makam Tralaya/Troloyo adalah contoh para bangswan Majapahit yang telah memeluk agama baru itu.
            M.C. Ricklef dalam “a History of Modern Indonesia”, menyatakan bahwa penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas. Hal ini karena proses Islamisasi tidak banyak meninggalkan catatan, bahkan sebagian besar diantaranya merupakan tradisi tutur di masyarakat, misalnya cerita para Walisanga. Berbeda dengan masa Hindu-Buddha yang banyak meninggalkan batu bertulis (praçasti), sehingga memudahkan interpretasi. Sementara itu, pengislaman masyarakat di suatu daerah tidak meninggalkan catatan layaknya batu bertulis. Akan tetapi terkumpul dalam memori kolektif serta menjadi tradisi tutur suatu masyarakat. Maka tidak mengherankan apabila banyak sejarawan yang berpendapat bahwa pengislaman Jawa terjadi semenjak Majapahit mengalami masa pudar. Parahnya, ini diajarkan di sekolah-sekolah karena harus sesuai dengan kurikulum. Padahal kenyataan di lapangan terdapat banyak bukti yang menolak hal tersebut.
            Buku yang pure (murni) membahas sejarah ini, menguraikan masa-masa kusut di Majapahit. Ditarik menjadi suatu permasalahan historis dan dijadikan pijakan untuk menyimpulkan argumentasi bahwa Islamisasi Jawa sudah terjadi pada dekade-dekade akhir Singhasari dan awal Majapahit. Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku “Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit” (LKiS, 2005), sebagai seorang filolog sekaligus sejarawan tidak menyinggung mengenai anomali sejarah ini. Kompleks  Islam Tralaya/Troloyo yang salah satu pentarikhan nisannya menunjukkan tahun-tahun ketika Majapahit mengalami kejayaan, tidak sempat menjadi permasalahan yang dikajinya. Pun juga Dr. Hasan Djafar dalam karyanya “Masa Akhir Majapahit, Girindrawarddhana & Masalahanya” (Komunitas Bambu, 2012) hanya murni membahas suksesi-suksesi kepemimpinan di Majapahit. Beliau tidak menyinggung mulai maraknya golongan sosial baru di Majapahit sebagai reaksi atas semakin intensnya hubungan dengan Islam. Buku yang menyinggung tentang makam-makam Islam Tralaya/Troloyo (walaupun tidak secara khusus) adalah karya Dr. Uka Tjandrasasmita (Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), berjudul “Arkeologi Islam Nusantara.” Disitu dibahas tentang penemuan makam-makam Islam Tralaya/Troloyo sebagai situs arkeologi in situ dalam kaitannya dengan perkembangan Majapahit di Trowulan.
            Buku ini memiliki segi organisasi isi yang cukup baik. Sistematika penulisannya dengan urutan pembabakan (kronologi) yakni Majapahit pada masa kejayaan, Majapahit pasca kejayaan, dan juga bahasan utama tentang orang-orang Cina serta Islam di Majapahit. Bahasa yang digunakan juga relatif mudah dimengerti. Kalimatnya tidak terlalu berbelit-belit, sehingga tidak mengaburkan gagasan yang ingin disampaikan. Makam Tujuh Tralaya/Troloyo yang dibahas di sini, juga disertakan fotonya. Sehingga pembaca yang belum pernah mengunjungi Tralaya/Troloyo tidak hanya meraba-raba dan membayangkan bentuk nisan-nisan tersebut. Tetapi pembaca dapat melihat bentuk-bentuk nisan berlambang Surya Majapahit itu lewat media foto. Nampaknya Andrian paham bahwa media digunakan untuk menyamakan presepsi sehingga dia menyertakan dokumentasi berupa foto-foto hasil penelitiannya. Mengenai fisik buku, teknik penyajian, pencetakan, penjilidan, dan lay out, saya kira cukup baik. Apalagi penerbit Ombak tidak diragukan lagi sebagai penerbit buku-buku sejarah yang berkualitas. Harga buku ini juga lumayan terjangkau.
            Disatu sisi, ada beberapa catatan yang kiranya perlu menjadi koreksi buku ini. Pertama, ilustrasi sampul hanya menggambarkan dua aspek kajian. Menurut saya, aspek kajian Andrian Perkasa ada tiga yakni orang-orang Tionghoa, agama Islam, dan Kerajaan Majapahit. Sementara yang terlihat hanya Candi Wringin Lawang (Gapura Bentar Majapahit) dan Wayang Kulit Potehi (wayang Potehi adalah wayang yang menceritakan orang-orang Cina). Seharusnya ada ilustrasi satu gambar yang menggambarkan agama Islam, misalnya nisan-nisan Tralaya/Troloyo atau ilustrasi masjid. Kedua, dari segi isi, saya rasa Andrian Perkasa terlalu gegabah dengan meyakini lokalisasi ibukota Majapahit seperti yang digambarkan Prapanca dalam Kakawin Negarakrtagama (Deçawrnana) dengan meletakkannya di Trowulan. Banyak sejarawan kaliber yang menolak pelokalisasian ini seperti Prof. Dr. Slamet Muljana dan Dr. Hasan Djafar. Alasannya, penggambaran tempat-tempat penting yang dilakukan Prapanca terhadap tata kota Majapahit sangat berbeda dengan posisi tempat-tempat penting (misalnya candi) di Trowulan sekarang. Trowulan mungkin salah satu kota/ibukota Majapahit, namun bukan pada masa Hayam Wuruk.
Ketiga, kajian artefak in situ Tralaya/Troloyo (Makam Tujuh), tidak dibuat bab tersendiri di dalam buku. Makam Tujuh Tralaya/Troloyo merupakan sumber primer sejarah, sehingga pembahasan ini perlu dibuatkan tempat dalam bab khusus. Saya juga tidak melihat bahwa buku ini mengelompokkan sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan karya, dalam satu bab khusus sehingga memudahkan pembacaan sekaligus juga penafsiran. Keempat, kelemahan mendasar yang saya garis bawahi dari buku Andrian Perkasa, dia terlalu berani mengambil panafsiran terhadap beberapa teks Jawa-Kuno. Latar belakangnya bukan filologi, penafsiran yang dia lakukan bisa jadi tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah linguistik Jawa-Kuno. Salah satunya, dia terlalu yakin dengan tafsiran teks berikut sebagai sebuah bangunan keagamaan Islam (masjid) di Majapahit :
“...Kaňcit prāpta eng tĕgal Wilajanggala, saňjateng Majapahit, aneng Pablantikan, Ampel-Gading kalawan, Masigit-Agung wus ĕnti...”(Kidung Sunda, KITLV, C.C. Berg)
Masigit-Agung dia tafsirkan sebagai Masjid Agung. Namun disini dia hanya sekedar menafsirkan saja, tanpa memberikan lokalisasi perkiraan bangunan yang dia anggap sebagai Masjid Agung, dan bukti-bukti artefak bekas masjid yang kiranya mendukung pendapatnya tersebut. Di lain halaman, saya juga menemukan dia menafsirkan salah satu frasa dalam praçasti Canggu (daśārdha diwasa) dengan ibadah lima waktu atau salat. Ini bisa bersifat sangat subyektif dan menjadi kelemahan tulisannya. Seharusnya jika Andrian hendak melontarkan prespektif baru, dia menyodorkan pendapatnya dengan bumbu “kemungkinan” atau “kemungkinan besar.” Kecuali jika memang dia memiliki bukti kuat terhadap hal itu. Sebagai pembanding, dalam aliran Tantrayana (Çiwa-Buddhā) juga terdapat ibadah lima cara yang disebut “Ma Limā.” Jadi tidak hanya Islam saja.
            Pada akhirnya, saya tetap menyarankan buku ini untuk dibaca. Buku ini memang benar-benar menyajikan prespektif baru tentang sejarah Islam di Jawa. Walaupun disatu sisi, saya masih menjumpai banyak hal-hal subyektif seperti yang saya utarakan diatas. Hal-hal subyektif ini menjadi kelemahan buku ini, namun sekaligus juga menjadi keunikan buku. Karena seorang aktor, juga seorang arkeolog, juga menjadi filolog, sekaligus seorang sejarawan mampu memberikan prespektif langka Islamisasi Nusantara khususnya Jawa pada buku berjudul “Orang-Orang Tionghoa & Islam di Majapahit” ini.

Semarang, Sabtu, 7 Juni 2014

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar