(Telaah atas Babad Karangsambung)
Salah satu
kawasan perbukitan di pucuk utara Kebumen yang kini menjadi lokasi Geowisata
LIPI Karangsambung
Oleh : Agusta Prihantoro
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Unnes
Kebumen
adalah salah satu daerah tingkat kabupaten yang terletak di daerah garis
pesisir selatan Pulau Jawa memiliki cerita tentang konflik dualisme
kepemimpinan memerebutkan tampuk kepemimpinan bupati pada era 1800-an. Kebumen
sebagai wilayah agraris sempat beberapa kali menjadi lumbung logistik pemasok
makanan Kerajaan Mataram ketika menyerang VOC di Batavia −masih berupa kongsi
dagang dan belum diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda− saat Sultan
Agung Anyakrakusuma menjadi penguasa Mataram, pada tahun 1800-an dipimpin oleh
Bupati yang masih dibawah kepemimpinan Kraton Kasunanan Surakarta yakni Arung
Binang IV. Pada saat itu Arung Binang IV dibantu jabatan patih oleh Kolopaking
V. Konflik dualisme kepemimpinan dimulai ketika Kolopaking V menyelundupkan 300
pucuk senjata api yang dikirim ke Ki Lurah Tanurekso yang disinyalir oleh
Bupati Arung Binang IV untuk melakukan pemberontakan kepadanya dan Belanda −selanjutnya
Kompeni− yang mengadakan kongsi di Kebumen. Hal ini dapat kita tafsirkan
sebagai suatu hal yang wajar dimana pada faktanya Arung Binang IV sebagai
utusan Kraton Surakarta lebih memiliki kedekatan dengan Kompeni −walaupun dalam
beberapa halaman di bagian belakang Babad Karangsambung dikatakan bahwa Arung
Binang hanya apik laire dengan Kompeni− sehingga mendorong Kolopaking V
untuk melakukan hal semacam itu, mengingat pula konflik yang telah diwariskan
leluhurnya, turun temurun persaingan kepemimpinan tetap terjadi −di halaman
.... pada Babad Karangsambung dituliskan bahwa Arung Binang adalah pendatang
sedangkan Kolopaking adalah orang Kebumen asli−. Paling tidak trah Kolopaking
merasa kalah saing dengan trah Arung Binang yang notabene hanya pendatang
tetapi kemudian merebut kursi bupati. Bibit persaingan akan selalu muncul jika
salah satu trah masih tetap ada −dahulu menurut penuturan pengarang babad
dikatakan bahwa babad ini sempat dilarang ditulis dan di edarkan sementara babonnya
disita menunjukkan ketidak senangan trah Arung Binang dengan trah
Kolopaking−. Nampaknya kalau dalam kajian politik sekarang ada pihak selaku
Pemerintah dan ada pihak lawan sebagai Oposisi. Penyelundupan senapan tersebut
membuat kekurang percayaan Kompeni kepada pemerintahan Bupati Arung Binang IV
karena dinilai bahwa ia tidak tegas kepada perilaku pembangkangan Kolopaking V.
Dalam hal ini tentunya Kompeni merasa terancam eksistensinya di Kebumen. Bisa
jadi usaha penyelundupan tadi sebagai langkah awal mengurangi keterlibatan
Kompeni dalam kancah perpolitikan lokal di Kebumen. Gawatnya lagi apabila timbul
pembrontakan-pembrontakan seperti yang pernah dilakukan oleh leluhur Kolopaking
V yang mampu membuat Kompeni untuk sedikit tidak menganggap remeh trah
Kolopaking. Sebagai daerah bawahan (mancanagara) Kraton Surakarta maka
Susuhunan Surakarta merasa perlu memberikan solusi atas konflik internal
ditubuh kepemimpinan Kadipaten Kebumen.
Dalam
Babad Karangsambung, dituliskan bahwa solusi untuk mengatasi keadaan genting
diatas, diadakan musyawarah yang
dilakukan pada tahun 1849. Musyawarah ini membahas siapa yang paling pantas dan
berhak menduduki tahta Bupati Kebumen. Hasilnya Kolopaking V didukung oleh
banyak punggawa kadipaten. Sementara itu Arung Binang IV hanya didukung oleh
beberapa orang termasuk Ki Demang Martokondo. Disini kita tangkap suatu
tafsiran sejarah bahwasanya banyak punggawa kadipaten yang lebih condong untuk
menyatakan keberpihakannya pada Kolopaking V –mungkin saja suasana psikhis
punggawa kadipaten sama dengan pemikiran pengarang babad bahwa Kolopaking
adalah orang asli Kebumen dan Arung Binang adalah pendatang sehingga ikatan
primordial daerah (fanatik regional) lebih kuat pada Kolopaking atau melihat
pada realita bahwa Arung Binang lebih condong pada Kompeni−. Pelak menjadi
tamparan bagi Arung Binang IV yang dari segi kekuatan bisa dikatakan lebih
unggul dengan dibantu Kompeni dibanding dengan Kolopaking V yang hanya didukung
oleh kekuatan masa di Kadipaten Kebumen. Diceritakan bahwa, terjadi kericuhan
dan penyerangan oleh kubu Arung Binang IV yang dibantu Kumpeni untuk
menghancurkan koalisi Kolopaking V. Alun-alun Kebumen menjadi arena
pertempuran. Dalam pertempuran tersebut, Kolopaking V terdesak sehingga mundur
ke arah Utara menuju rumah Ki Lurah Tanurekso untuk bersembunyi. Suatu
kemakluman karena pertemuan saat itu tidak direncanakan adanya baku hantam
sehingga jelas pastinya dari kubu Kolopaking V kurang persiapan, terlebih
dengan kenyataan koalisi Arung Binang IV dibantu Kompeni yang dari segi piranti
perang lebih maju. Terlihat bahwa sudah ada hubungan antara Kolopaking V dengan
Ki Tanurekso. Bisa saja memang Kolopaking V telah menghimpun kekuatan di rumah
Tanurekso karena secara logika tidak mungkin seorang Kolopaking V yang dari
segi kedudukan lebih tinggi derajatnya dari pada Tanurekso yang hanya demang, kemudian
meminta perlindungan di rumahnya. Nampaknya jika tidak ada kekuatan di rumah
Tanurekso, sangat mustahil Kolopaking V menuju ke utara, mungkin bukan pilihan
yang tepat dibanding nyabrang kali Luk Ulo ke arah barat. Sungai mungkin
saja bisa menghambat mobilitas koalisi Arung Binang IV, tetapi opsi tersebut
tidak dipergunakannya dan lebih memilih mundur ke utara. Bisa saja basis
Kolopaking V adalah daerah utara Kebumen –kenyataannya dia bisa menghimpun
kekuatan besar setelah memusatkan kegiatannya di Panjer Gunung−. Diceritakan
dalam Babad Karangsambung bahwa perjalanan Kolopaking V ke arah utara terhadang
oleh medan perbukitan Gunung Malang Kencana. Dengan keris saktinya Kolopaking V
memancung pucuk Gunung Malang sehingga menjadi pogog atau putus pucuknya sampai sekarang bukit tersebut disebut
dengan Gunung Pogog. Tentunya tidak dapat kita telan
mentah-mentah hal ini. Bisa saja maknanya adalah kias tetapi bisa pula sebagai
alat legitimasi yang dibuat oleh pengarang Babad ini yang merupakan salah satu
keturunannya. Bukit atau gunung sebagai simbol keluhuran, kesucian dan
kehormatan –makam kuno biasanya sering ditempatkan di atas perbukitan sebagai
simbol kedekatannya dengan yang kuasa−, sedangkan puncak sebagai mahkota.
Artinya bahwa gunung tersebut telah kehilangan mahkotanya, kehilangan keluhuran
dan kehormatan. Nampaknya makna kias demikian sebagai manifest sindiran kepada
Arung Binang IV atas kedekatannya dengan Kompeni. Penulis ingin menonjolkan
bahwa perbuatan Arung Binang IV yang akrab dengan Kompeni telah membutakan dan
menghilangkan kehormatannya sebagai penguasa lokal bahkan dengan membunuh
saudaranya sekalipun sesama pribumi Jawa. Barangkali penulis berusaha
mengatakan bahwa Arung Binang IV tidak memahami arti falsafah Jawa, sedulur kuwi tega warase aja tega myang
larane, tega larane aja tega patine.
Pada
malam harinya Kumpeni yang dibantu utusan bupati Arung Binang IV bernama Ki
Demang Martokondo berusaha menyusul rombongan Kolopaking V ke rumah Ki Tanurekso.
Namun gerakan rombongan Kompeni itu diketahui penduduk daerah tersebut yang
sedang berjaga-jaga atau Kemit.
Sehingga mereka langsung membunyikan kentongan tanda bahaya dengan nada atau
irama titir/nitir. Kawasan tersebut
kemudian hari disebut dengan Kemitir. Kubu Kolopaking V yang mengetahui hal
tersebut melarikan diri berpindah ke arah utara. Daerah persembunyian yang
ditinggal tadi kemudian disebut dengan Tanuraksan. Rombongan Kumpeni kemudian
mengurungkan niatnya dan kembali ke pendopo Kadipaten (kanjengan) Kebumen. Dari
pemberitaan Babad Karangsambung ini, kita lihat sedikit taktik atau strategi
penyerangan yang dimainkan kubu Kolopaking V maupun kubu gabungan Kompeni
beserta Prajurit Kadipaten. Mungkin saja dengan melihat kenyataan kekuatan kubu
Kolopaking V di daerah-daerah utara −rumah Ki Tanurekso− maka kubu Kompeni dan
Arung Binang akan lebih memperhitungkan prosentase kemungkinan dapat unggul.
Kubu tersebut ternyata melakukan penyerangan pada malam hari. Bisa lebih
diperhitungkan kemungkinan kemenangan dalam penyerangan yang dilakukan pada
kondisi malam hari. Walaupun dari segi kekuatan lebih banyak tetapi apabila
diserang pada kondisi yang tidak siap –malam hari− maka akan sangat kecil
kemungkinan menangnya. Paling hanya bisa bertahan dan sudah pasti akan
mengurangi terhadap kekuatan awal. Sehingga lebih mudah dipatahkan untuk
kemudiannya.
Diceritakan
dalam babad tersebut ketika keesokan harinya, pengejaran kembali dilakukan yang
dipimpin sendiri oleh Arung Binang IV dan terjadi pertempuran dengan kubu
Kolopaking V di daerah Kaligending. Nampaknya dengan keterlibatan langsung
pasukan koalisi di bawah komando Arung Binang IV, kita sedikit bisa menafsirkan
bahwa Arung Binang IV sudah geram dan tidak menganggap remeh kraman atau
pembrontakan Kolopaking V. Walaupun tidak diceritakan secara eksplisit, bisa
saja pada penyerangan malam hari sebelumnya, kubu koalisi Kompeni mengalami
kekalahan. Sehingga paling tidak menjadikan Arung Binang IV merasa harus turun
tangan serta melakukan pengejaran sebelum kubu lawan berkembang menjadi lebih
besar lagi. Dalam pertempuran di Kaligending itu, satu demi satu punggawa
bawahan Arung Binang IV mulai diincar dan berguguran. Setidaknya Kolopaking V tahu
dan faham betul cara merongrong kekuatan musuh. Dengan terbunuhnya orang-orang
pribumi kepercayaan Arung Binang IV, nantinya keturunan Joko Sangkrib ini akan
meminta bantuan orang-orang Kompeni untuk lebih memperkuat pasukannya. Hal ini
tentunya akan membuat masyarakat tidak senang. Dan merubah keberpihakannya pada
Arung Binang IV menjadi kepada Kolopaking V. Hal ini ternyata benar. Nantinya
ketika Kolopaking V bermarkas di Panjer Gunung, ada banyak masyarakat
sukarelawan dari Desa Clapar –masuk Kecamatan Karanggayam sekarang− yang
kemudian menggabungkan diri dengan Kolopaking V dipimpin langsung oleh leluhur
penulis babad ini yakni Raden Mas Dipodrono. Diceritakan dalam Babad
Karangsambung tersebut, Demang Martokondo sebagai antek dari Bupati Arung
Binang IV terbunuh dan dilarikan menggunakan kuda ke arah selatan dengan tujuan
kembali ke Kadipaten melewati sebelah barat Gunung Pogog, namun mayat
yang sudah mulai membengkak tadi jatuh diperjalanan. Tempat itu kemudian
disebut dengan Mertokondo. Mayatnya yang sudah seperti Bugel −potongan pohon
kayu− kemudian dikubur agak keselatan. Makam tersebut kemudian disebut dengan
Astana Bugel. Kini jalan sepanjang Mertokondo sampai Kaligending −ditepi kali
Luk Ulo− banyak ditemui makam kuno yaitu makam prajurit Arung Binang dan
Kolopaking yang gugur dalam pertempuran. Kenyataan situs makam Bugel kini
memang ada di sebelah barat Dukuh Jetis masuk wilayah Desa Kutosari, dan kini
dijadikan makam umum −saya ingat ketika masih SMP dahulu pernah mengantar
jenazah teman SMP yang dikebumikan di Astana Bugel/mBugelan−. Dan nama
Mertokondo tempat jatuhnya mayat Ki Martokondo memang mewujudkan sebuah
perempatan dimana jalan-jalan tersebut adalah jalan arteri −utama− yang
kemungkinan sudah sejak zaman dahulu keberadaannya. Ke arah utara menyusuri tepi Luk Ulo menuju
Panjer Gunung atau daerah Kecamatan Karangsambung sekarang. Sementara ke arah
selatan –jika lurus langsung menuju kampung belakang Masjid Agung meliputi
Jetis, Kauman dan sekitarnya− dan sedikit berbelok ke arah timur langsung
menuju pusat pemerintahan sistem macapatan yakni Alun-alun, Kanjengan, Masjid
Agung dan sedikit ke arah timur adalah Pasar. Mengingat posisinya yang
strategis itu maka tidak mengherankan jika kemudian hari, jalan kecil yang
membentuk perempatan Mertokondo tadi diperbesar –jalan HM Sarbini sekarang−
serta dibuatkan jembatan permanen di Sungai Luk Ulo yang diberi nama Tembana
–jembatan ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sehingga tidak
mengherankan jika arsitektur jembatannya sangat mirip dengan jembatan-jembatan
di Eropa yakni struktur lengkung di bagian bawah jembatan−. Sudah selayaknya
Pemerintah Kabupaten Kebumen sekarang hendaknya memperhatikan terhadap
keberlangsungan dan kelestarian situs-situs tersebut sebagai kawasan cagar
budaya ditengah berkembanganya Pasar Mertokondo, pemakaman umum Bugel, dan lalu
lintas kendaraan di atas jembatan Tembana.
Selanjutnya
menurut babad tersebut sebagai batas kekuasaan Kolopaking V yang saat itu
bermarkas di Panjer Gunung adalah Selaranda −situs Geologi Watu Randa−.
Prajurit Kebumen dibawah pimpinan Kumpeni dengan kekuatan 1500 orang
menghancurkan markas di Panjer Gunung. Dugaan Kolopaking V benar bahwa paling
tidak Arung Binang IV akan meminta sokongan kekuatan yang lebih besar dari
Kompeni. Melihat kenyataan tersebut tentunya Kolopaking V tidak akan menghadapi
mentah-mentah kekuatan kubu Arung Binang IV. Diceritakan Kolopaking V mundur ke
arah utara dan beristirahat dibawah Pohon Tanjung yang besar dan rimbun dan
dibuat pesanggrahan −tempat istirahat sementara− daerah tersebut kini disebut Dukuh
Pesanggrahan yang masuk wilayah Desa Karangsambung. Kisah ini dapat kita
tafsirkan bahwa Kolopaking V memang tidak melakukan penyerangan secara berarti.
Dan memilih untuk beristirahat. Ini berarti bahwa Kolopaking V memang sedang
berusaha menghimpun tenaga –hakekat istirahat adalah menghimpun tenaga/kekuatan−.
Pohon dijadikan tempat berteduh bisa menimbulkan makna kias bahwa Kolopaking V
memang sedang berusaha mencari keadilan dengan melakukan propagandanya kepada
mayarakat atau para pemukanya di wilayah-wilayah utara. Kegiatan ini
berlangsung selama beberapa tahun, sehingga pada tahun-tahun tersebut bisa
dikatakan suasana sedikit lebih anyem, anyes lan tentrem sesuai hakekat
orang yang berteduh karena tidak ada pertempuran yang berarti –tidak
diceritakan di dalam babad berarti dianggap bukan suatu peristiwa yang penting
ataupun tidak memiliki keterkaitan dengan tokoh yang diunggulkan dalam babad−. Selang
beberapa tahun kemudian yakni pada tahun 1865, ditempat itu −Pesanggrahan− Kolopaking
V didatangi para pengikut baru yakni Tumenggung Kertodrono dari Sigaluh yang
sudah lama membuka dan membangun daerah di seberang Kali/Sungai Luk Ulo bernama
Desa Binangun. Datang pula Raden Mas Dipodrono dan Ki Suradiwangsa dari Desa Clapar
untuk bergabung melawan Kompeni. Rencana perang ketiga orang tersebut bersama Tumenggung
Kolopaking V disatukan dan disambung satu rencana dengan rencana yang lain
sehingga sebagai peringatan daerah tersebut diberi nama Desa Karangsambung. Ini
menyatakan propaganda dan usaha Kolopaking V untuk menghimpun kekuatan di
wilayah-wilayah utara memang berhasil. Dan tidak akan gentar lagi melawan
koalisi Kompeni beserta Arung Binang IV dan kemungkinan unggul dalam
pertempuran bisa diharapkan.
Memahami
bahwa kekuatan Kolopaking V bersama koalisinya
semakin besar, yang tentunya akan mempersulit dikalahkannya, serta
pertimbangan atas kondisi geografis Panjer Gunung –wilayah Kecamatan
Karangsambung sekarang− yang berupa perbukitan dan pegunungan pastinya akan
mempersulit mobilitas/pergerakan pasukan apalagi Kompeni, maka Arung Binang IV
menilai untuk perlunya kesegeraan untuk menggempur Karangsambung. Ibarat mumpung
taksih wujud plethiking geni prayoga siniram toya. Maka selang beberapa
waktu ahirnya meletus pertempuran antara kubu Kolopaking V dan Arung Binang IV
yang dibantu pasukan Kompeni. Dalam pertempuran tersebut Mayor Verbrug,
pimpinan Kompeni serta beberapa lainnya yakni Kapiten Arons, Kapiten Huster dan
Letnan Flissinger tewas. Diceritakan dalam Babad Karangsambung tersebut bahwa
Arung Binang IV keluar dari semak-semak tempat persembunyiannya sambil
men-jinjing atau mambawa tombak keramat warisan leluhurnya –Joko Sangkrip− yang
bernama Kyai Naracabala pemberian istrinya yakni ratu jin di Bulupitu. Arung
Binang IV mengaku yang telah membunuh pimpinan-pimpinan Kompeni tadi
berdasarkan luka bekas tusukan sejata yang berubah gosong di dada mayat-mayat
pimpinan Kompeni tadi serta tidak keluarnya darah dari luka tersebut. Konon
tombak Kyai Naracabala mempunyai kemampuan menghisap darah lawan. Inilah yang
saya maksudkan di depan bahwasanya Tumenggung Arung Binang IV hanya apik
laire dengan Kompeni. Terlepas dari benar atau tidaknya pemberitaan ini,
nampaknya kita jumpai suatu fakta bahwasanya telah terjadi semacam penghianatan
dari tubuh pasukan kubu Arung Binang IV –propaganda Kolopaking V ternyata
sampai ke intern pasukan musuh−. Sangat
tidak mudah menjangkau pimpinan-pimpinan Kompeni yang dilindungi anak buahnya.
Saya ibaratkan akan menangkap induk Harimau pasti akan menjumpai dulu
anak-anaknya. Kenyataannya 4 pimpinan Kompeni tewas dalam pertempuran, ini
menunjukkan pembunuhnya dengan sangat mudah menjangkau 4 petinggi pasukan
Kompeni tadi. Jika bukan orang intern pasti akan sangat sulit. Maka melihat
kenyataan kalahnya pasukan koalisi Kompeni dan Arung Binang IV dengan gugurnya
pimpinan-pimpinan mereka, Bupati Arung Binang IV dan Kompeni kemudian
mengadakan negosiasi perdamaian dengan kubu Kolopaking V di Panjer Gunung.
Bupati Kebumen, Arung Binang IV didampingi Mayor Magilis mengadakan perundingan.
Selama perundingan mayor Magilis selalu menyebut-nyebut kata bani are yang tidak dimengerti
maksudnya. Sebagai pengingat tempat tersebut disebut Desa Baniara yang masuk
dalam wilayah Kecamatan Karangsambung.
Pada tahun 1870 didapati kesepakatan Kolopaking V
sanggup berhenti berperang dan tidak masuk kembali ke dalam struktur
Birokrasi/Kepemerintahan Kabupaten Kebumen apabila kedua anaknya lelaki
dijadikan bupati pemegang wilayah. Disini nampaknya Kolopaking V sedikit lebih
mawas diri dengan sikap ksatrianya bahwa ia merasa tidak diberi mandat oleh
Kraton Kasunanan Surakarta sebagai Adipati –walaupun Kraton hanya sebagai
simbol karena hakekatnya Kompenilah yang berdaulat dan berkuasa atas semua
keputusan Kraton−. Atau memang ia tidak minat lagi menduduki jabatan Adipati
seperti leluhurnya dahulu –Ki Bagus Badranala dan anak turunnya−, dan meminta
haknya diberikan kepada anak-anaknya serta peperangan yang sudah dilalui lebih
termotif hanya untuk melawan Kompeni seperti halnya ayahnya, Kolopaking IV yang
merupakan senopati perang laskar Diponegaran. Hasil perundingan tersebut
disetujui Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1875. Tahun
1878 Putra Kolopaking V yang bernama Ki Atmodipuro diangkat menjadi Bupati
Banjarnegara bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Jayanegara I menggantikan Bupati
Raden Arya Dipodiningrat. Sedang yang bernama Ki Sukadis diangkat menjadi
Bupati Karanganyar –bukan Karanganyar timur Solo tetapi Karanganyar yang
sekarang masuk wilayah Kabupaten Kebumen sebagai Kecamatan Karanganyar− bergelar
Kanjeng Raden Tumenggung Kertonegoro menggantikan Bupati Kanjeng Raden
Tumenggung Jayadiningrat.
Bupati
Karanganyar tersebut, K.R.T Kertonegoro, kemudian digantikan oleh anaknya
bernama Kanjeng Raden Tumenggung Tirtokusumo. Terhitung tanggal 1 Januari 1936 berdasarkan
keputusan Residen Hindia Belanda untuk wilayah Kedu, Kabupaten Karanganyar
dihapus dan dijadikan satu dengan Kebumen. Tanggal tersebut itulah yang
diperingati sebagai hari lahir Kabupaten Kebumen. Bupati K.R.T Tirtokusumo
dipindah menjadi Bupati Demak. Beliau menulis sejarah leluhur-leluhurnya
menjadi semacam catatan –tetapi bukan Babad Karangsambung ini−, salah satu
copyannya dimiliki Almarhum Pak Sadiyo –meninggal ketika saya kelas 3 SMA−,
seorang tokoh pemerhati budaya dan sejarah Kebumen. Namun sayang ketika saya sowan
pertama kali ke dalemnya di Panjer, karena ketidaktahuan saya, ternyata beliau
baru saja diperingati 40 hari wafatnya. Sangat disayangkan saya tidak pernah
berbincang dan meminta copyan teks tersebut dari beliau. Semoga diberi jalan
yang terang, sowan ing pangayunaning Pangeran.
Semua
paparan diatas hanya didasarkan atas telaah Babad Karangsambung. Kiranya perlu
diadakan crosscing atau pencocokan dengan sumber lain berkaitan dengan
peristiwa diatas. Babad sebagai wujud Historiografi lokal tentunya kadar
ilmiahnya sebagai sumber Sejarah banyak diragukan oleh para ahli sejarah,
selain itu juga karena subyektifitasnya sangat dominan, tetapi tidak kemudian
kita tinggalkan begitu saja, diabaikan dari pengkajian sejarah. Telaah ilmiah
terhadap teks babad ternyata menarik karena menyajikan kisah yang dramatis, romantis bahkan teladan
yang patut kita contoh.
Semarang, 29
Maret 2013
Nyewun Sewu mas...eyang Uyut Kulo Nami ne pun Surodrono....mbok menawi wonten talian kalih Dipodrono....nyewun kajian ne pun...matursewun...
BalasHapusNgapunten, saya belum memiliki data silsilah tentang Surodrono. Tentang nama Surodrono ini sebenarnya tidak hanya dijumpai pada satu pohon silsilah saja. Tetapi ada nama Surodrono lain, seperti misalnya di pohon silsilah keluarga Bagelen.
HapusNama asli ki mertokondo siapa ya.. Lagi mencari silsilah saya..
BalasHapusSaya belum menemukan catatan tentang itu. Mohon maaf...
Hapus