Tradisi
Lisan di Kabupaten Kebumen,
Tinjauan
Sosio-Kultural terhadap Tradisi Masyarakat Pedesaan
Oleh Agusta
Prihantoro (3101412008),
Mahasiswa Pend.
Sejarah, S1, Unnes
Abstrak
Kabupaten
Kebumen, adalah wilayah geopolitik di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di
Pulau Jawa bagian selatan. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purworejo,
di timur laut dan utara dengan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Sementara
itu di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Di
sebelah selatan Samudra Hindia. Wilayah yang terhampar, seluas 1.281,115 km2
ini, memiliki aspek kebudayaan yang beragam. Secara kultural merupakan
bagian dari budaya Banyumasan, sehingga bahasa yang digunakan sebagian besar
penduduknya adalah Banyumasan. Tradisi yang ada di masyarakat pun tidak jauh
berbeda dengan kultural masyarakat di wilayah-wilayah Banyumasan. Sebagian
besar masyarakat pedesaan (pinggiran dan pedalaman) masih sangat kental dengan
tradisi lisannya. Dengan tradisi lisan yang relatif masih berkembang, menjadi
potensi Kabupaten Kebumen secara sosio-kultural untuk dikembangkan menjadi
potensi wisata dan khasanah budaya tersendiri.
Kata
kunci : Tradisi lisan, masyarakat pedesaan, Kabupaten Kebumen
PENDAHULUAN
Kebumen
sebagai wilayah agraris terutama di kawasan Kebumen bagian selatan yang
tanahnya alluvial, menjadi kawasan hamparan pertanian yang sangat
produktif. Sementara itu kawasan Kebumen atas yang meliputi wilayah perbukitan
menjadi daerah pemasok kayu untuk bahan bangunan yang baik. Ada sungai yang
menghubungkan antara Kebumen atas dengan daerah pesisir, yaitu sungai Luk Ula /
Luk Ulo. Sungai terbesar di Kebumen itu mengalir dari hulunya di perbatasan
Wonosobo-Banjarnegara dengan Kebumen, menuju samudera selatan di daerah
perbatasan Kecamatan Klirong dengan Buluspesantren yang dikenal dengan nama Prumpung.
Dari sini muncul istilah bagi masyarakat daerah pesisir (muara sungai)
untuk menyebut dan membedakan asal seseorang, yakni Wong Wetan Kali dan Wong
Kulon Kali.
Sungai
yang mengalir tepat di selatan jantung Kota Kebumen ini (Kota Kebumen berada
persis di utara kelokan Luk Ulo seperti diungkapkan dalam Babad Kebumen karya Raden
Soemodidjojo di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1953 halaman 4 yang
tertulis, “....ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun
tumumpang...”, “....Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi / Kanjeng Pangeran
Bumidirja –paman Susuhunan Amangkurat I Tegalwangi− wau ujuripun
mangidul urut sapinggiring Lepen Lukula, udakawis sampun wonten 3 pal, dene
alangipun mangetan udakawis wonten ½ pal...”), menurut beberapa peneliti di
LIPI Karangsambung, merupakan sungai tua. Hal tersebut berdasarkan atas kajian
ilmiah morfologi dan keadaan sungai serta kajian arkeologi purbakala yang
ditemukan di daerah Gombong (beberapa jenis kapak genggam), di mana diketahui
sungai ini memiliki meander yang cukup banyak. Bahkan meander-meandernya yang
sudah sangat mengendap di sekeliling sungai dijadikan lahan pertanian warga
sepanjang sungai. Maka sangat mungkin sekali bahwa dahulunya di wilayah sekitar
sungai ini menjadi daerah hidup manusia purba, mengingat adanya penemuan
beberapa artefak purba di Gombong. Jika diperhatikan pemberian nama Luk Ulo ini
sangat cocok dengan kondisi alam sungai ini yang sangat berkelok-kelok (Jawa =
Luk) yang kelihatan seperti ular (Jawa = Ulo) menjulur mulai pucuk utara hingga
Samudera Hindia.
Sungai
ini juga rahmat bagi para penambang pasir dan pengusaha cincin akik/permata,
karena berjuta-juta ton material pasir selalu tersedia di hampir sepanjang
sungai ini, yang kadang juga membawa batu-batu yang indah untuk dipoles menjadi
kerajinan batu permata. Dahulu, sungai ini juga digunakan untuk transportasi
terutama hasil hutan seperti Bambu untuk dipasarkan di kota, tetapi seiring
dengan semakin kecilnya arus sungai terutama ketika musim kemarau serta
kamajuan zaman, cara transportasi ini mulai ditinggalkan (Sugeng Riyadi, 1992 :
7).
Secara
historis, seperti yang sudah disinggung sedikit di depan, nama Kebumen berasal
dari nama seorang bangsawan Mataram, Kanjeng Pangeran Bumidirja, adik Sultan
Agung Hanyakrakusuma. Ketika masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, Pangeran
Bumidirja meninggalkan kraton karena tidak cocok dengan model pemerintahan yang
dijalankan oleh Sunan Amangkurat I, dan membuka hutan di samping sungai Luk Ula
/ Ulo (Soemodidjojo, 1953 : 3-4). Seperti diceritakan di Babad Kebumen,
Pangeran Bumidirja mengganti namanya menjadi Kyai Bumi. Dan hutan yang dibuka
menjadi kawasan pemukiman tersebut disebut dengan Kabumian atau Kebumen.
Tetapi
perlu diingat, bahwa historiografi tradisional tersebut yakni Babad Kebumen, sepenuhnya
atas sudut pandang elit bangswasan di kraton. Tanpa melihat kenyataan lain
bahwa jauh hari sebelum Kyai Bumi menetap di Kebumen, sudah ada sekelompok
penguasa lokal yang menguasai wilayah ini. Seperti diceritakan di Babad
Karangsambung, ada keluarga galur Panembahan Badranala yang lebih dahulu
menetap di Kebumen atau di historiografi tersebut menyebut dengan nama Panjer
(Otigus, 1987 : 4). Menurut babad ini, Panembahan Badranala (Ki Bagus
Badranala) adalah putra dari Ki Madusena atau cucu dari Ki Ageng Mangir VI
(Wonoboyo) dan Ratu Pambayun. Jadi masih keturunan dari Panembahan Senapati
secara langsung. Terlepas dari valid dan tidaknya pemberitaan di babad ini,
kita diberi gambaran cerita sejarah dari sudut pandang orang Kebumen sendiri.
Jika
Babad Kebumen lebih menekankan pada pencitraan keluarga Kraton Mataram yakni
Pangeran Bumidirja dan keturunannya, sedangkan Babad Karangsambung lebih
menekankan pada keluarga Panembahan Badranala dan keturunannya, walaupun secara
total tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur kraton dan kebangsawanan. Babad
Kebumen jika kita cermati akan memberikan kisah-kisah tentang keluarga R.A
Arungbinang dan keturunannya, serta jasanya bagi Kraton Kartasura dan
Surakarta. Serta kekuatan magi yang meliputinya. Sedangkan Babad Karangsambung
memberikan kisah tentang kekuasaan-kekuasaan lokal K.R.T Kalapaking dan
perseteruan antara keluarga Kalapaking dan keluarga Arungbinang. Bahkan
mengenai kedatangan Pangeran Bumidirja di Panjer/Kebumen, nampaknya sudut
pandang kedua babad ini berlainan. Jika Babad Karangsambung menulis bahwa pada
tahun 1670, Pangeran Bumidirja lolos meninggalkan Mataram dan datang di Panjer
Roma. Oleh Ki Gede Panjer Roma II diberikan tanah disebelah utara
kelokan sungai Luk Ulo untuk dijadikan pemukiman/padepokan. Sementara di Babad
Kebumen, tertulis demikian,
“...Tindakipun Sang Pangeran
sakaliyan garwa, kadherekaken abdi titiga ingkang kinasih. Gancaring cariyos
tindakipun wau sampun dumugi tanah Panjer ing sacelaking lepen Lukula. Ing
ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang, nanging taksih wujud
wana tarataban. Wana tarataban sacelaking lepen Lukula wau lajeng kabukak
kadadosaken pasabinan lan pategilan, sarta pakawisan sakedhik, margi ing ngriku
dereng dipun dunungi tiyang...”
(Perginya Sang Pangeran dan istrinya, diikuti tiga orang abdi yang terkasihi. Diceritakan
bahwa kedatangannya telah sampai di wilayah Panjer di dekat Sungai Lukula. Di
situ tanahnya bagus dan luas, airnya banyak, tetapi masih berwujud hutan
belantara. Hutan belantara dekat dengan Sungai Lukula tersebut kemudian dibuka
dan dijadikan areal pesawahan dan kebun, dan pekarangan sedikit, karena disitu
belum dijadikan tempat tinggal manusia) (Soemodidjojo, 1953 : 4).
Nampak bahwa pemberitaan kedua babad tersebut berbeda. Jika Babad
Karangsambung menunjukkan posisi Ki Gede Panjer Roma II sebagai orang yang
berkuasa terhadap tanah yang diberikan kepada Pangeran Bumidirja, maka Babad
Kebumen sebaliknya. Tidak ada pemberitaan sama sekali tentang orang bernama Ki
Gede Panjer Roma. Babad ini hanya menonjolkan peranan Pangeran Bumidirja
membuka daerah tersebut dan keturunan-keturunannya terutama dari sisi magi yang
kemudian menjadi keluarga R.A Arungbinang, bupati Kebumen setelah terjadi
perebutan dari Kalapaking.
Secara
sosio-kultural, wilayah geopolitik Kebumen termasuk dalam lingkup budaya
Banyumasan. Sehingga bahasanya pun termasuk dialek Banyumasan. Seperti
dipaparkan di buku berjudul Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak karya
Budiono Herusatoto, bahwa dialek Banyumasan memiliki sub dialek, seperti
Banyumasan sendiri, Kebumenan, Tegalan, Pemalangan, Indramayu-Cirebonan. Sub
dialek Kebumenan tidak jauh berbeda dengan dialek Banyumasan. Kata-kata yang
digunakan lebih banyak kesamaannya, hanya dalam fonemnya saja dialek Kebumenan
sudah tidak sekental dialek Banyumasan. Kemungkinan pencairan kekentalannya itu
karena sudah sedikit terbawa logat bandhekan (Purworejo) yang ucapannya
ringan. Meskipun demikian, menurut Budiono Herusatoto mengutip pendapat Raminah
Baribin, struktur berbagai jenis dialek dalam bahasa Jawa itu tidaklah seajeg
atau terukur secara pasti karena setiap jenis dialek bahasa itu amat sulit
untuk dibakukan, seperti halnya membakukan batas wilayah otonomi pemerintahan,
misalnya batas wilayah kabupaten. Dialek bahasa bagi komunitas yang tinggal di
daerah yang berbatasan langsung, akan saling tukar dan saling memengaruhi satu
dengan yang lainnya (Budiono Herusatoto, 2008 : 163-164).
Secara
budaya, tidak ada perbedaan yang mencolok antara daerah-daerah Banyumasan lain
dengan wilayah Kebumen. Meskipun secara budaya batas-batas geopolitik semacam
ini tidak nampak pasti, mengingat ada beberapa wilayah di Kebumen sebelah timur
yang sangat lekat dengan budaya Mataraman dengan bahasa dialek bandhekannya.
Wilayah budaya ini (Banyumasan-Kebumenan) secara geografis hampir 80% lebih
merupakan wilayah pedesaan. Dengan areal pesawahan yang masih sangat produktif
menghasilkan padi setiap tahunnya. Semboyan Bhumitirta Praja Mukti, yang
terdapat pada lambang Kabupaten Kebumen memberikan spirit kepada masyarakat
untuk selalu bergerak dan bekerja demi kesejahteraan wilayahnya. Maka tidak mengherankan apabila masyarakat
pedesaan di Kabupaten Kebumen sangat ulet dan tekun. Selain bertani, masyarakat
Kabupaten Kebumen yang ada di pedesaan-pedesaan mengisi waktu luang ketika masa
tanam padi dengan berternak dan berwirausaha lain. Seperti di Kecamatan
Petanahan, banyak sekali masyarakat yang ahli membuat kerajinan tangan dari
bambu seperti caping, kocok (semacam keranjang kecil dari bambu), serok
wajan (piranti goreng menggoreng dari bambu), dll.
Di
Kecamatan Ambal, selain menanam padi dan tanaman-tanaman palawija,
masyarakat wilayah tersebut juga menanam Pohon Mlinjo. Dengan berbekal
penuturan lisan, tanpa bersekolah, masyarakat Ambal dari tua sampai yang muda
mampu untuk membuat makanan Emping (makanan tradisional berbahan utama buah
Mlinjo). Yang kemudian dipasarkan ke pasar-pasar tradisonal di Kebumen, seperti
Pasar Gombong, Pasar Karanganyar, Pasar Petanahan, Pasar Tumenggungan Kebumen,
Pasar Ambal, dan bahkan dipasarkan hingga Gamping, Yogyakarta. Sebelah selatan
Kecamatan Ambal memanjang sepanjang pesisir hingga Kecamatan Buluspesantren,
terdapat suatu kawasan tanah yang dikenal dengan nama Urut Sewu. Dahulu ini
merupakan tanah bebas milik pemerintah, tidak dimiliki oleh perorangan. Namun
ketika kesuburan tanah ini diolah, dan dimanfaatkan oleh masyarakat, wilayah
ini kemudian ramai dihuni oleh masyarakat. Berbagai tanaman palawija dan
buah musiman, banyak diproduksi dari daerah ini. Misalnya semangka, melon,
belimbing, mentimun, kacang panjang, kacang tanah, cabai merah, cabai rawit,
tomat, jagung, dll.
Sektor
peternakan yang paling banyak dijumpai di wilayah Kebumen adalah unggas. Masyarakat
pedesaan yang tinggal di dekat areal pesawahan banyak yang memelihara ayam dan
bebek. Bebek yang dipelihara biasanya ada dua macam cara, dengan klethekan
dan atau buaran/giringan. Pemeliharaan secara tradisional ini biasanya
yang paling umum adalah klethekan yakni dengan memelihara 6-15 ekor
bebek untuk dilepasliarkan di areal pesawahan, dan ketika sore hari kawanan
bebek tersebut kembali ke kandangnya untuk bertelur. Sementara pemeliharaan
tradisional secara buaran/giringan lebih besar lagi dengan melibatkan
beberapa orang atau kelompok wong buara (orang yang menggembalakan
bebek), dengan jumlah bebek mencapai ratusan. Pemeliharaan ini biasanya
berpindah-pindah untuk mencari sumber makanan bagi bebek tersebut.
PEMBAHASAN
Masyarakat pedesaan di Kabupaten Kebumen lebih harmonis dan lebih
natural dibandingkan dengan wilayah-wilayah pusat perekonomian dan
pemerintahan, seperti Gombong, Karanganyar, dan Kebumen sendiri. Etika-etika
tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat lain lebih terkesan santun dan
lebih toleran dengan perbedaan antar individu anggota masyarakatnya. Tradisi
yang berkembang secara lisan (Oral Tradition), sangat benyak di wilayah
Kabupaten Kebumen. Meskipun pada masyarakat pedesaan lebih bervariatif dari
pada masyarakat pusat perekonomian dan pemerintahan. Diantara wilayah-wilayah
Kebumen yang dapat digolongkan masuk dalam kawasan pelosok adalah Kecamatan
Sempor, Karanggayam, Sadang, Ayah, Buayan, Puring, Petanahan, dll. Meskipun
penggolongan semacam ini bukan hal yang baku, apalagi pada era saat ini,
pembangunan daerah pelosok terus dikebut agar terjadi pemerataan kemakmuran.
Namun demikian, penggolongan wilayah pelosok untuk mengindikasikan bahwa secara
sosio-kultural masyarakat wilayah-wilayah tersebut lebih “terjaga” dari
perubahan kultural masyarakat. Sehingga budayanya relatif masih alami, walaupun
tidak menafikan bahwa tradisi-tradisi masyarakat tersebut juga sudah mengalami
sentuhan-sentuhan pembaharuan. Beberapa tradisi lisan yang ada di Kabupaten
Kebumen diantaranya,
1.
Prosesi Panen
Sarang Burung Walet, dan interaksi sosio-kultural di Kecamatan Buayan, Kebumen.
Panen sarang burung Walet, adalah prosesi adat pengunduhan sarang burung
Walet di Gua Karangbolong, Kecamatan Buayan, Kebumen. Atau sekitar 18 km di
selatan kota Gombong (Sugeng Riyadi, 1992 : 59). Sebenarnya, burung ini secara
alami hidup di beberapa gua di daerah Kecamatan Buayan, Kebumen. Burung-burung
ini membuat sarang di dalam atap-atap gua seperti di Gua Karangbolong, Gua
Karangduwur dan Gua Pasir. Tetapi pada prosesi ini, yang dikhususkan sebagai
potensi wisata daerah adalah di Gua Karangbolong. Mulut gua ini menghadap ke
laut. Deburan ombak dikala pasang menerobos ke dalam ruangan gua.
Ini
adalah salah satu tradisi unik dan khas Kabupaten Kebumen. Sekaligus menjadi
event wisata unggulan daerah. Mengingat ini adalah suatu prosesi yang
dilaksanakan hanya pada waktu-waktu tertentu serta biaya yang mahal, sehingga
prosesi pengunduhan sarang burung Walet, ditangani oleh Pemerintah Kabupaten
Kebumen secara langsung dan dijadikan potensi wisata khas daerah Kebumen. Dan
dilaksanakan oleh masyarakat sekitar lokasi wisata Gua Karangbolong, Kecamatan
Buayan. Prosesi persiapannya memang dibuka untuk umum, tetapi kegiatan intinya,
umumnya tidak terbuka bagi masyarakat luas. Hal ini karena medan menuju tempat
pengunduhan (Gua Karangbolong) sangat sulit dan riskan kecelakaan. Sehingga
hanya orang yang ahli dan ditugasi untuk mengunduh saja yang diperbolehkan
menuju ke tempat pengunduhan.
Pengunduhan
sarang burung Walet ini, biasanya dilakukan rata-rata tiga bulan sekali.
Sedangkan yang menjadi patokan pelaksanaan pengunduhan adalah hitungan pranatamangsa
(musim) dalam adat Jawa (Sugeng Riyadi, 1992 : 60). Waktu-waktu pengunduhan
adalah pada musim/mangsa ke,
1.
Mangsa
Karo (kira-kira pada bulan Agustus)
2.
Mangsa
Kapat (kira-kira pada bulan Oktober)
3.
Mangsa
Kapitu (kira-kira pada bulan Januari)
4.
Mangsa
Kasanga (kira-kira pada bulan Maret).
Rata-rata
tiap tahunnya Pemda Kabupaten Kebumen memanen 1,5 kwintal sarang burung Walet.
Data ini didasarkan pada tulisan karya Sugeng Riyadi pada tahun 1992. Ada
kemungkinan produksi sarang setiap tahunnya mengalami penurunan, karena ulah
sebagian masyarakat yang jahil, melakukan pencurian sarang pada waktu yang
tidak ditentukan sehingga banyak burung Walet yang bubar dan pindah tempat. Gua
karang lain yakni Karangduwur dan Pasir, letaknya tidak jauh dari Gua
Karangbolong.
Prosesi pengunduhan sarang burung
ini telah dikenal sejak dahulu kala, paling tidak sudah ada laporan dari
Pemerintah Kolonial mengenai prosesi pengunduhan dibuktikan dengan adanya foto
lukisan yang mengilustrasikan pengunduhan sarang burung Walet di Karangbolong
pada tahun 1883-1889. Berdasarkan tradisi yang berkembang di kalangan
masyarakat sekitar lokasi gua, prosesi biasanya dimulai pada hari Jumat.
Setelah salat Jumat diadakan upacara selamatan di Komando Pengunduhan, yaitu di
Pesanggrahan Karangbolong. Selamatan disini karena menurut kepercayaan
masyarakat sekitar lokasi, yang memiliki burung Walet tersebut adalah Nyai Ratu
Kidul, mitologi dewi penguasa samudra selatan. Tujuannya agar terhindar dari
musibah, sehingga semua peserta panen (pemanen) sarang burung Walet siwajibkan
mengikuti (nglakoni) rangkaian ritual adat. Upacara selamatan dipimpin
oleh Pak Mandor.
Setelah acara selamatan di
Pesanggrahan Karangbolong, kemudian digelar pertunjukan wayang kulit di depan
Gua Contoh (buatan) Karangbolong di obyek wisata Pantai Karangbolong, dengan
memainkan lakon yang selalu sama, yaitu Rama Tambak dan diahiri dengan melarung
sesaji (Sugeng Riyadi, 1992 : 36). Pertunjukan wayang ini berbeda dengan
pertunjukan wayang biasanya karena tidak menggunakan kelir atau layar. Selain
itu persiapan perangkat Gamelan dan penabuhnya pun relatif sederhana, sehingga
terlihat unik serta berbeda dengan pertunjukan wayang umumnya. Setelah
persiapan pertunjukan selesai, sang dhalang membuka dengan membaca mantra untuk
membuka pagelaran. Mantra tersebut sebagai perwujudan doa sekaligus minta izin
kepada Sing Bahureksa (penguasa gaib yang menjaga tempat tersebut),
diantaranya Kanjeng Ratu Kidul dan pengikutnya seperti Joko Suryo, Suryawati,
Den Bagus Cemeti, Kyai Bekel, Kyai Surti agar diberi keselamatan dan diizinkan
mengambil sarang burung Walet.
Setelah pertunjukan wayang selesai,
kemudian dilanjutkan melarung (membuang) sesaji ke laut di Pantai Karangbolong.
Sedangkan sesaji yang harus ada adalah kain lurik ijo gadung (kain hijau muda),
udeng wulung (penutup kepala dari kain khas orang Jawa yang berwarna hitam),
selendang, kasur, bantal putih, dan jajan pasar (makanan pasar). Menurut
masyarakat, ini adalah klangenan (kesukaan) Kanjeng Ratu Kidul. Sesaji
lain yang sifatnya tidak menentu adalah 3 kepala kerbau muda. Hal ini karena
kegiatan pengunduhan dilakukan di tiga tempat yang berbeda (Sugeng Riyadi, 1992
: 37).
Pada malam harinya (malam Sabtu),
dilanjutkan dengan hiburan wayang kulit semalam suntuk. Cerita masyarakat
sekitar lokasi Karangbolong sebagai berikut ini,
“Nang
pagelaran wayang kulit, ana aturane yakuwe paraga wayang ora olih gugur nang
perang, sebab nek nang pergelaran kuwe ana sing mati, diyakini bakal ana
pengundhuh susuh walet sing kenang musibah.”
(Di
pagelaran wayang kulit, ada aturan yaitu tokoh wayang tidak boleh gugur dalam
perang, sebab kalau pergelaran itu ada yang mati, dipercaya akan ada pengunduh
sarang burung Walet yang terkena musibah).
Kemudian pada hari
Sabtu siang diadakan pagelaran kesenian tradisional kuda lumping dan tari
topeng. Sore harinya ditampilkan kesenian Tayub/Lengger dengan mengikutkan para
pengunduh. Barulah pada Minggu pagi pengunduhan dilaksanakan. Itupun tergantung
pada pasang atau surutnya air laut. Jika permukaan laut sedang pasang naik, maka
pengunduhan mundur sampai situasi memungkinkan (Sugeng Riyadi, 1992 : 37).
Ketika sampai di dalam gua, pengunduhan harus dilakukan dengan membuat
tangga-tangga hingga ke atap gua dan seorang pengunduh menaikinya dan mengunduh
menggunakan galah panjang.
Dongeng terkait prosesi pengunduhan
sarang burung Walet ini yang berkembang di masyarakat Buayan secara lisan
adalah terkait Kyai Surti. Menurut masyarakat sekitar lokasi, Kyai Surti adalah
utusan Kerajaan Mataram Kartasura, dia ditugasi agar mencari obat bagi
permaisuri raja yang sedang sakit keras, ke arah barat hingga tiba di Pantai
Karangbolong. Kyai Surti kemudian bertapa di tempat tersebut hingga mendapatkan
wangsit dari Dewi Suryawati, anak buah Kanjeng Ratu Kidul. Dia memberikan
petunjuk bahwa obat yang dicari itu adalah sarang burung Walet yang ada di
dalam Gua Karangbolong. Diceritakan bahwa selanjutnya Kyai Surti menikah dengan
Dewi Suryawati dan permaisuri raja kembali sehat.
Dari
berbagai sudut pandang, tradisi panen sarang burung Walet memiliki aspek-aspek
seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Secara ekonomi, dengan adanya tradisi
semacam ini tentu saja akan menambah destinasi wisata dan membuka peluang usaha
terkait kegiatan tersebut misalnya paket wisata. Selain itu, nilai ekonomis
dari sarang burung Walet dapat menjadi pendapatan asli daerah Kabupaten
Kebumen. Dari sisi sosial, tradisi mengunduh sarang burung Walet mampu
merekatkan semangat-semangat masyarakat pedesaan yang guyub dan rukun.
Mengingat medan menuju tempat pengunduhan yang sangat berat, dengan kerjasama
yang bagus dan tepat, serta semangat gotong royong, mereka dapat melakukan
pengunduhan tersebut. Dari sisi budaya, sangat jelas dengan tetap
berlangsungnya kegiatan pengunduhan sarang burung Walet, budaya khas tersebut
tetap lestari dan terjaga. Walaupun untuk beberapa unsur diantaranya sudah
lebih luwes dengan logika masyarakat masa kini. Tradisi masyarakat Jawa yang
erat dengan cerita tutur layaknya Kyai Surti seperti diatas tadi, membuat
masyarakat pedesaan Buayan berupaya menjaga kelestarian budaya tutur tersebut
dengan membuat suatu even pengunduhan yang dalam pelaksanaannya sangat multi
unsur tradisi yang terlibat.
2.
Kesenian
Tradisional Jamjaneng (Janeng), pesan moral dalam ritmis lagu tradisional di
pedesaan Kebumen.
Jamjaneng atau sering disebut janeng, adalah kesenian tradisional
bernuansa islam yang banyak terdapat di semua wilayah pedesaan Kabupaten
Kebumen (Slamet Riyadi, 1992 : 37). Kesenian ini minimal dibawakan oleh sekitar
enam orang seniman, yang masing-masing menabuh alat musik tersendiri sambil
menyanyi (Jawa : nggerongi). Lagu-lagu yang dibawakan berupa solawatan
yang diambil dari Kitab Al-Barzanji dan lagu-lagu lain yang bernuansa Islam.
Sementara standar alat musik kesenian ini terbuat dari kayu dan kulit
(perkusi), ada lima macam,
a.
Gong
; bentuknya seperti rebana besar dengan garis tengah lebih kurang 60 sampai
dengan 70 cm,
b.
Petengah
; seperti Gong namun bentuknya lebih kecil, garis tengah lebih kurang 30 sampai
dengan 40 cm,
c.
Kenong
; rebana paling kecil dengan ukuran garis tengah lebih kurang 25 sampai dengan
35 cm,
d.
Kendang
; bentuknya sama dengan kendang seperti pada kesenian karawitan,
e.
Ketipung
; kendang kecil (http://kebumenkab.go.id).
Populasi kesenian Jamjaneng tersebar di semua desa di Kabupaten
Kebumen, bahkan banyak desa yang memiliki lebih dari satu kelompok setiap desa.
Jika dahulu kesenian ini hanya dimainkan oleh kaum laki-laki, tetapi pada era
sekarang ini lebih adaptif lagi dengan munculnya kelompok Jamjaneng wanita. Di
Kabupaten Kebumen, seni Jamjaneng yang terkenal banyak berasal dari wilayah
desa Peniron, Kecamatan Pejagoan. Dan wilayah-wilayah Kebumen utara seperti di
Kecamatan Sadang (Slamet Riyadi, 1992 : 37).
Tradisi tutur masyarakat di wilayah Kebumen, memercayai cerita
sejarah mengenai Jamjaneng. Dikatakan bahwa, pada jaman kesultanan
Demak, agama Islam tersebar di berbagai penjuru Jawa Tengah, termasuk juga
wilayah Kebumen. Salahsatu penyebarnya adalah Sunan Kalijaga. Di dalam
menyiarkan agama Islam, Sunan Kalijaga memasukkan jalur seni, seperti di Demak
dengan seni Wayang Kulit dengan musik gamelan. Demikian pula di daerah Kebumen,
karena sulit untuk mendapatkan seperangkat gamelan, selain jauh dari pengrajin
juga sangat mahal harganya. Kemudian Sunan Kalijaga menyuruh membuat alat kesenian
dari potongan kayu yang dilobangi kemudian salah satu permukaannya ditutup
dengan kulit binatang. Sedangkan untuk gendang ditutup keduanya.
Disela-sela memberi
pengajian diisi hiburan musik dari kayu dengan syair sholawat. Pembuat alat
tersebut adalah seorang tukang yang berasal dari daerah Kebumen bernama KI
JAMJANI. Sepeninggal Sunan Kalijaga, kesenian tersebut berkembang, bahkan
beberapa desa di sekitarnya ikut membuat kesenian tersebut. Namun sampai Ki
Jamjani meninggal, kesenian tersebut belum memiliki nama, hasil kesepakatan
masyarakat dan atas saran Sunan Kalijaga, kesenian tersebut diberi nama
JAMJANENG karena alatnya adalah hasil karya Kyai Jamjani (http://kebumenkab.go.id).
Beberapa hal yang membedakan kesenian Jamjaneng dengan kesenian di
daerah lain adalah adanya bagian lagu yang disebut dengan Bawa. Bagian
ini dilagukan sebelum lagu inti dan alat musik dibunyikan. Lagu vocal
dinyanyikan tanpa iringan apapun, biasanya berupa tembang Macapat. Isinya
mengenai petuah-petuah baik yang harus diterapkan dalam kehidupan di dunia agar
selamat dunia ahirat. Contohnya seperti tembang Macapat jenis Pucung sebagi
berikut ini,
“Sabar iku, tuhu
musthikaning laku,
Ganjarane nyata,
Tan winates dening
Gusti,
Tuhu begja, sapa
bisa angamalna.”
(Sabar itu, memang
utamanya perbuatan,
Pahalanya nyata,
Tidak dibatasi
oleh Tuhan,
Sungguh beruntung,
siapa yang dapat mengamalkannya).
Kesenian Jamjaneng biasanya ditanggap oleh masyarakat pedesaan yang
sedang memiliki hajat tertentu semalam suntuk. Terutama ketika seseorang akan
menikahkan anak perempuannya, semalaman sebelum acara atau sebelum hari H,
diadakan pertunjukan seni Jamjaneng semalaman. Ini terkait dengan kepercayaan
Jawa yang disebut malam midodareni, yaitu malam sebelum penganten
dipertemukan atau dinikahkan. Ini adalah malam sakral ketika para bidadari
turun dari kahyangan untuk memberikan berkah kepada orang yang akan menikah.
Maka yang empunya hajat, diharapakan tidak tidur (Jawa : tuguran)
sekaligus bersiap-siap agar acara yang akan diselenggarakan besok berjalan
lancar. Untuk menghilangkan sepi, kemudian ditanggaplah kesenian tersebut.
Mengenai ongkosnya, kelompok kesenian Jamjaneng biasanya tidak pernah memasang
tarif, hanya kebijaksanaan dari yang menanggap. Hal ini seperti yang pernah
saya alami sendiri, ketika masih aktif di kesenian ini beberapa tahun lalu di
kelompok Seni Jamjaneng Purwa Sangga Langit, Dukuh Ulekan Raya, Desa
Karangduwur, Kecamatan Petanahan. Ketika itu grup kami sedang ada tanggapan di
rumah Haji Darnuji, seorang sesepuh kampung yang menikahkan anak perempuannya.
Pertunjukkan kesenian ini dilakukan semalam suntuk dengan penonton warga
sekitar rumah Haji Darnuji yang sedang membantu persiapan hajatnya.
Pesan-pesan sosial keagamaan yang disampaikan dalam kesenian ini misalnya
seperti ada pada teks lagu Jamjaneng yang sering dibawakan, berjudul Yo
Elingo,
“E Dzikrullah
Allah Allah Dzikrullah
Yen Dzikira
Sira Maring Gusti Allah
E Sirrullah
Allah-Allah Isirullah
E Yola
Datullah, Allah Allah Allah Yola Datullah
E Sifatullah,
Allah Allah Wujudullah
E Ulehana Kulo
Dumateng Dunya
E Umahena Kula
Niki Pinggireng Masjid
E Shalat Makmum Shalat Sunat Kulo Lampahi.”
Syair diatas menggambarkan ketika
seseorang kafir yang tidak beragama meninggal dunia, di dalam kubur dia disiksa
oleh Malaikat Mungkar-Nakir. Metrum yang dibawakan dengan nada tinggi (Jawa : ngelik)
tersebut secara jelas menggambarkan beratnya siksa kubur. “...E Ulehana kula
dhumateng dunya, e umahena kula niki pinggireng masjid, e shalat makmum shalat
sunat kula lampahi...” mengandung maksud permohonan oleh si mayat agar dia
dikembalikan lagi ke dunia, dan diberikan rumah di pinggir masjid, agar dapat
beribadah menunaikan salat berjamaah serta salat sunah. Syair Janengan dengan
tema tasawuf seperti diatas tadi berisi ajakan untuk mengingat Allah, selalu
ada dalam setiap pertunjukan Jamjaneng (Akhmad Arif Junaidi, 2013 : 484).
SIMPULAN
Tradisi lisan ada di masyarakat dan
diwariskan secara verbal antar generasi. Hal penting yang perlu dicatat dari
tradisi lisan di wilayah pedesaan Kebumen, pada umumnya tidak bisa terlepas
dari unsur mitologi. Unsur ini seolah menjadi daya tarik utama dalam setiap
latar belakang tradisi lisan yang ada. Selain itu, tidak dapat kita pungkiri
bahwa tradisi lisan di wilayah pedesaan Kebumen banyak sekali mengandung
nilai-nilai moral, yakni nilai tentang benar dan salah, kasar dan halus, atau
baik dan buruk.
Nilai yang tersampaikan secara
verbal ini memang tidak disampaikan secara lugas dalam bentuk aturan yang
mengikat tentang sesuatu baik atau sesuatu buruk, tetapi dalam kemasan yang
sangat rapi sekaligus menjadi teka-teki bagi generasi penerusnya mengenai
maksud serta tindakan apa yang mesti diperbuat. Misalnya nilai moral tentang
kesabaran, tidak disampaikan kepada genarasi penerusnya dengan memerintahkan
secara langsung untuk berbuat yang disebut dengan sabar, tetapi membungkusnya
dalam nyanyian Jamjaneng, sehingga ada kesan seni. Barangkali si empunya sudah
paham bahwa sesuatu yang disampaikan dengan senang hati, tidak terpaksa, dan
dalam kemasan seni, akan mudah ditangkap dan dihayati oleh pendengarnya.
Daftar
Pustaka
- Riyadi,
Sugeng. 1992. Kebumen Beriman, Tanah Kelahiranku. Kebumen : CV. Pustaka
Abadi Kebumen
- Herusatoto,
Budiono. 2008. Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Yogyakarta
: LKiS
- Soemodidjojo,
Raden. 1953. Babad Kebumen, Nyariosaken Mulabukanipun Ingkang Cikalbakal ing
Kebumen. Yogyakarta : Praja Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat
- Otigus.
1987. Dongeng Karang Sambung, Kenangan Atas Leluhur Tercinta (Babad
Karangsambung). Kebumen : Media Daerah Indrakila Kebumen
- Junaidi,
Akhmad Arif. 2013. Janengan Sebagai Seni Tradisional Islam Jawa. E-Journal
Walisongo vol. 21. 2 : 469-489
- http://kebumenkab.go.id