Tahun Baru
Masehi vs Tahun Baru Jawa
Sebuah Esai
Analisa
Oleh Agusta Prihantoro, Mahasiswa Pend. Sejarah
Perayaan
tahun baru masehi atau tahun baru nasional merupakan hal yang lumrah di
kalangan masyarakat muda di seluruh dunia pada saat ini. Perayaan pergantian
tahun dimulai pada tanggal 31 Desember pukul 19.00 sampai dini hari pukul
00.00, memasuki tahun baru ditandai dengan penghitungan waktu secara mundur.
Setelah itu ada semacam tradisi memeriahkannya dengan menyalakan atau membakar
kembang api. Tentu saja moment semacam ini sangat langka, karena terjadi hanya
setiap setahun sekali, tidak akan dilewatkan oleh pasangan muda-mudi.
Bercengkerama memadu kasih ditengah indahnya cahaya letupan kembang api. Berapa
keperawanan yang akan terbobol selama satu malam itu, berapa wanita bayaran
yang akan meraup keuntungan, berapa banyak pedagang yang meraup berkah melayani
para penikmat suka cita, berapa banyak finansial yang tergelontor untuk
membiayai ledakan kembang api, dan berapa banyak pemulung sampah yang akan
mendapat nikmat. Semuanya luput dari perhatian!
Ada yang akan saya soroti disini,
tentu saja tentang rasa cinta saya terhadap budaya yang harus saya pegang teguh,
budaya Jawa. Dilema dalam hati saya sebagai seorang muda tentu saja sangat
berat dan sulit. Di satu sisi saya sebagai seorang muda yang sangat menyenangi
hal seperti diatas tadi, tetapi di satu sisi saya sangat menyenangi kebudayaan
saya yang cenderung tidak menganjurkan hal-hal seperti diatas. Pendidikan
budaya Jawa yang sudah terinternalisasi sejak kecil terutama ketika diasuh
kakek dan nenek, menjadikan saya sangat mencintai budaya saya sendiri. Teringat
betapa indah dan adiluhungnya petuah Jawa yang ada dalam tembang berikut :
“Dadiya lakunireku,
(Jadikanlah
hal ini tingkah lakumu)
Cegah dhahar lawan guling,
(Mengurangi
makan dan tidur)
Lawan aja sukan-sukan,
(Dan
jangan suka bersuka-suka)
Anganggowa sawatawis,
(Sederhanalah
dalam hidup)
Ala watake wong suka,
(Tidak
baik orang senang bersuka-suka)
Nyuda prayitnaning batin.”
(Mengurangi
ke-prayitna-an batin).
Kata prayitna sulit sekali
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tidak ada kata dalam bahasa Indonesia
yang secara tepat mampu untuk menggambarkan pengertian prayitna. Kata
terdekat yang mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan pengertian prayitna
adalah “waspada”. Tetapi pengartian kata waspada masih menimbulkan kesan
tidak penuh terhadap makna sesungguhnya dari prayitna. Prayitna adalah
suatu keadaan dimana seseorang mengetahui segala hal kasar-halus,
kemungkinan-kemungkinan dan kewaspadaan batin tinggi. Orang yang prayitna akan
selalu waspada, karena pada hakikatnya ia telah mengetahui
kemungkinan-kemungkinan prediksi yang akan datang. Prayitna selalu ngerti
sadurunge winarah (mengetahui yang belum terjadi).
Tahun baru masehi selalu diwarnai
dengan hura-hura atau suka-suka. Hal ini telah diingatkan oleh leluhur kita,
bahwa bersuka-suka semacam itu akan mengurangi ke-prayitnaan batin.
Tetapi tanpa suka-suka semacam itu, rasanya memang tidak lengkap dan
ketinggalan zaman. Makanya generasi muda atau tua kemuda-mudaan yang cenderung
lebih dinamis memandang perayaan tahun baru masehi lebih perlu dari pada tahun
baru Jawa maupun Hijriah. Karena perayaan yang berlebih itu (sukan-sukan),
maka lebih diminati perayaan tahun baru masehi atau nasional dari pada tahun
baru Jawa.
Ada persamaan-persamaan antara dua
perayaan tahun baru tersebut yang saya amati. Kedua-duanya memiliki tradisi
bakar-membakar. Jika tahun baru masehi memiliki tradisi bakar kembang api,
sehingga memerlukan tempat dan area ledak di langit yang bebas hambatan, maka
tradisi tahun baru Jawa terlihat lebih sederhana tetapi syarat nilai spiritual.
Tradisi bakar di tahun baru ini lebih sarat dengan nilai-nilai filosofis yang
apabila dipandang hanya dengan sudut pandang minim, akan menimbulkan tafsir
serta kesan keliru. Bakar pada perayaan tahun baru ini adalah bakar kemenyan
atau dupa. Ini merupakan sesuatu yang wajib untuk diadakan pada setiap ritus
periodik orang Jawa pada zaman dahulu. Sekarang hal ini sesuatu yang sangat
jarang kita jumpai. Apalagi ketika segelintir orang dengan menggunakan dalih
kepercayaan tertentu menganggap hal tersebut sesuatu kekeliruan mutlak. Muncul
wacana berikutnya yaitu ke-tabuan. Sehingga masyarakat yang masih menaatinya
terpaksa harus bersembunyi dari khalayak. Tertutup dari ekspos karena anggapan
kekeliruan mutlak tadi. Tetapi pada intinya sama, ada tradisi bakar-membakar,
hanya saja ada perbedaan mengenai objek yang dibakar, yaitu kembang api atau
kemenyan dan dupa.
Persamaan lain yang saya amati
adalah adanya kegiatan ramal atau prediksi persitiwa masa depan, peruntungan
rezeki dan lain sebagainya. Hal ini ada pada dua perayaan tahun baru tersebut.
Tahun baru masehi biasanya banyak peramal-peramal dadakan yang memanfaatkan
waktunya untuk sekedar jual bicara (adol omong), meramal peruntungan dan
nasib seseorang di tahun yang akan segera datang nanti. Entah masalah karir,
percintaan atau juga masalah kesehatan. Pada dasarnya memang kebudayaan
negeri-negeri timur erat kaitannya dengan mistik, sehingga secara tidak
langsung mempengaruhi pemikiran manusianya itu sendiri yang kemudian tersugesti
menjadi kenyataan. Tidak berbeda pula dengan tradisi ramal-meramal pada saat
mendekati tahun baru Jawa. Banyak penganut kepercayaan Jawa
menghubungkan-menghubungka kejadian yang akan datang dengan segala hal yang menurut
mereka akan menjadi suatu tanda kejadian tertentu. Dalam ranah budaya Jawa
ramal-meramal tersebut disebut nujum atau jangka. Kenapa tidak
menggunakan istilah busur , penggaris, atau yang lain tetapi menggunakan
istilah jangka?
Sebagaimana kita ketahui, jangka
adalah alat untuk membuat lingkaran dengan tepat. Meskipun ada banyak alat yang
bisa digunakan untuk membuat lingkaran, tetapi tidak ada alat yang presisinya
secara tepat mampu membuat lingkaran dengan sempurna kecuali jangka. Jangka
memiliki 2 aspek. Yaitu sumbu utama atau sebagai patokan dan sumbu penggambar
lingkaran sebagai realisasi lingkaran yang diinginkan. Penggunaan istilah
jangka ternyata sangat tepat untuk mensimbolisasikan prediksi-prediksi masa
depan. Sumbu utama sebagai masa sekarang, masa dimana belum diketahui segala
sesuatu yang akan terjadi. Dan sumbu penggambar adalah masa yang akan kita
datangi. Jangka bisa bergerak menggambarkan lingkaran karena ada yang
menggerakkan, begitu pula jangka kehidupan, pasti ada yang menggerakkan. Tiga
aspek dalam jangka yaitu sumbu patokan, sumbu penggambar, dan pertemuan
keduanya di sebelah atas untuk menggerakkan.
Pada perayaan tahun baru Jawa,
jangka masih sering saya jumpai terutama dipraktekkan oleh para penganut
kepercayaan Kejawen. Jadi ritus ramal-meramal ada pada 2 perayaan tahun baru
ini. Hanya saja ramal-meramal pada tahun baru Masehi mungkin lebih bersifat
pribadi atau personal. Agak sedikit berbeda dengan ramal-meramal pada perayaan
tahun baru Jawa, sesuai yang sudah digariskan dalam buku primbon, ramal
meramal dalam budaya Jawa lebih bersifat umum. Biasanya yang diramal meliputi
keadaan negeri selama satu tahun kedepan, banyak tidaknya hujan, dan lain
sebagainya.
Perbedaan mencolok yang saya
komentari pada perayaan tahun baru masehi dan Jawa, terkait dengan tembang yang
saya sampaikan di muka adalah ritus hura-hura atau sukan-sukan. Jika
perayaan tahun baru masehi dilakukan dengan orang dalam kapasitas yang sangat
ramai di tempat yang ramai pula, maka perayaan tahun baru Jawa dilakukan oleh
segelintir orang di tempat yang sepi. Teringat betapa seringnya saya diajak om
mengunjungi Gunung Srandil setiap menjelang 1 Sura, walaupun tidak pernah
terealisasi karena alasan teknis. Di tempat sepi tersebut dianjurkan berkhalwat
sesuai kepercayaan yang dianut, merefleksi semua kejadian pada tahun yang akan
ditinggalkan semoga dapat menjadi pelajaran berharga dan berharap semoga pada
tahun yang datang mendapat berkah.
Di beberapa tempat di Jawa, ketika
memasuki bulan Sura, ada tradisi membuat bubur Sura dan tirakat puasa selama
beberapa hari atau selama 1 bulan penuh. Tetapi di beberapa daerah berbeda,
anjuran puasa tidak ada tetapi hanya ngurang-urangi. Maknanya adalah
mengurangi semua hal yang berbau keduniawian. Jika kita kaji lebih lanjut ada budaya
ngrowot dan nganyeb yang masih dianut dan dilaksanakan oleh
segelintir orang di Jawa. Semua tindakan ini sebagai bentuk manifestasi betapa
sakralnya bulan Sura dalam tradisi Jawa. Hal yang sangat terbalik, ada pada
perayaan tahun baru masehi. Tidak ada istilah kata ngurang-urangi bahkan
malah nguja-uja yang dilakukan, sehingga perayaan tahun baru masehi
selalu dilekatkan dengan senang-senang. Dalam budaya Jawa, kesenangan memang
dibatasi, karena apabila terlalu senang, celakanya mudah digoda dan kurang prayitna,
sehingga mudah lupa (lali purwa duksina). Perbedaan lain yang saya garis
bawahi, bulan Januari mungkin tidak dianggap sakral bagi para pemeraya tahun
baru masehi, tetapi bulan Sura sangat disakralkan oleh para pemeraya tahun baru
Jawa, sehingga ada ritus jamasan pusaka yang diadakan setelah tanggal 1 Sura.
Hal-hal seperti diatas mungkin
dianggap sepele oleh sebagian orang yang terlalu sentimen, sehingga
kadang-kadang luput dari perhatian. Tetapi hal kecil yang disepelekan jika kita
amati menggambarkan sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Ada tulisan, ada pengetahuan
yang tidak tercatat tetapi dapat dipahami oleh siapapun yang mau mencermatinya,
ada sastra tanpa tulis yang secara cetha wela-wela njlentrehake
kahanan (sastra yang tidak tertulis yang secara gamblang menjelaskan
keadaan;sastra=pengetahuan). Sebagai penutup patut kita renungkan, meskipun
hanya sekedar perayaan tahun baru, akan tetapi jelas menggambarkan sosok
kepribadian kita, atau secara lebih luas menggambarkan kepribadian bangsa
Indonesia, yang ‘semoga jangan’ sekedar anut grubyug, mengikuti perkembangan
zaman yang terlalu kebablasan. Eling lan waspada, kembalilah kepada jati
diri, sebaik-baiknya orang meniru tidak akan pernah sama sekali menyamai bahkan
untuk mengungguli yang ditiru, apalagi soal kepribadian dan kebudayaan. Bahkan
yang ada hanya magel (setengah-setengah), kebarat pun tidak, ketimur pun
juga sudah tidak. Sakmonjo-monjone barang niru ora bakal luwih apik
tinimbang sing ditiru, prayoga aluwung gawe dhewe. Neng, ning bakale nang.
(Closing statement menggunakan
Bahasa Jawa, jika tidak mengerti arti serta maksud yang terkandung, silahkan
cari tahu sendiri, toh oleh Tuhan sudah diberi akal untuk berpikir dan hati
untuk merenung. Jangan seperti anak kecil, yang mintanya selalu dijejali.
Berpikir dan merenunglah).
Agusta Prihantoro – 1 Januari 2014
***
KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN HAK CIPTA
Pemikiran dalam
tulisan ini termasuk ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40, ayat (1),
huruf a, UU Republik Indonesia, No. 28, Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sehingga demi hukum, kegiatan terkait
plagiasi dan/atau sejenisnya yang menyangkut pelanggaran Hak Moral Pencipta
(seperti terdapat pada Pasal 5-7) dan Hak Ekonomi (seperti terdapat pada Pasal
8-11), akan dikenai sanksi pelanggaran. Sebagaimana terdapat pada Bab XVII
tentang Ketentuan Pidana, Pasal 113 ayat (3) & (4) yang menyatakan bahwa :
“...Setiap
Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a ‒penerbitan Ciptaan‒, huruf b ‒penggandaan Ciptaan
dalam segala bentuknya‒, huruf e ‒pendistribusian Ciptaan atau salinannya‒,
dan/atau huruf g ‒pengumuman Ciptaan‒ untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)...”
Dan :
“...Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah)...”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar