Kamis, 15 Oktober 2015

Kidung Margiyuh



Kidung Margiyuh


|| Tyas anglangut kataman oneng margiyuh | kapegatan kembang ati | tilase anabet jeru | rusake mung srana lathi | kang nglepasken tembung lekoh ||

|| Dhuh wong lindri kang salaga lir jumerut | paran baya karsaneki | upama duka sireku | kumrangsang njojohken keris | sun jembarke dhadhaning ngong ||

|| Aluwung kapatenana bae aku | timbang ngreridhuni urip | nalangsa anyangga luput | keduwung anggegetuni | obahing lambe kang bodho ||

|| Bebaguse mapan sanyata sireku | baya kurang kaduk luwih | angedhepke ing sadarum | anuwuhke rasa asih | prandene agawe groyok ||

|| Toya srira apa tan enget maringsun | beksane karaton Jawi | rina wengi atawang luh | kawine kaluwih-luwih | ngantya pendah lir wong mirong ||

|| Asmanipun ratu aneng Mahespaut | harjanireng manah mami | marine wong kangen tuhu | diyane wong nandhang kingkin | saharsa kapanggya lamon ||

|| Pamujingsun tan kendhat mugi lumintu | marang sira wong asigit | cinaketna ing rahayu | anggung eling mring wak mami | Daru Lana ingkang awon ||

|| Yen tan bisa adu muka kang saestu | iya iki ingsun pamit | marang sira wong abagus | ingkang tuhu mamet ati | ingsun nyuwun aksama ko ||

|| Yen tan jodho ing dunya ki muga besuk | lamun timbal urip malih | ingsun bakal bisa mengku | wong amanis kang sayekti | asalin lir swasa tongton ||

|| Kuneng wau ing Sekaran mangka seksi | dumadining rasa | manungsa sapa kang ngerti | wit kapurba Maha Nasa ||

|| Kidung mami ngumandhang ing madya sepi | samun sepi sepah | sinrang maruta amidid | tulus titi tamat telas ||


Semarang, 15 Oktober 2015
(1 Sura Jimawal 1949 Jawa)
Daru Lelana

***



KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN HAK CIPTA

Pemikiran dalam tulisan ini termasuk ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40, ayat (1), huruf a, UU Republik Indonesia, No. 28, Tahun 2014 tentang Hak Cipta.  Sehingga demi hukum, kegiatan terkait plagiasi dan/atau sejenisnya yang menyangkut pelanggaran Hak Moral Pencipta (seperti terdapat pada Pasal 5-7) dan Hak Ekonomi (seperti terdapat pada Pasal 8-11), akan dikenai sanksi pelanggaran. Sebagaimana terdapat pada Bab XVII tentang Ketentuan Pidana, Pasal 113 ayat (3) & (4) yang menyatakan bahwa :
“...Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a ‒penerbitan Ciptaan‒, huruf b ‒penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya‒, huruf e ‒pendistribusian Ciptaan atau salinannya‒, dan/atau huruf g ‒pengumuman Ciptaan‒ untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)...”
Dan :
“...Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)...”.

Rabu, 14 Oktober 2015

Tahun Baru Masehi vs Tahun Baru Jawa



Tahun Baru Masehi vs Tahun Baru Jawa
Sebuah Esai Analisa
Oleh  Agusta Prihantoro, Mahasiswa Pend. Sejarah

Perayaan tahun baru masehi atau tahun baru nasional merupakan hal yang lumrah di kalangan masyarakat muda di seluruh dunia pada saat ini. Perayaan pergantian tahun dimulai pada tanggal 31 Desember pukul 19.00 sampai dini hari pukul 00.00, memasuki tahun baru ditandai dengan penghitungan waktu secara mundur. Setelah itu ada semacam tradisi memeriahkannya dengan menyalakan atau membakar kembang api. Tentu saja moment semacam ini sangat langka, karena terjadi hanya setiap setahun sekali, tidak akan dilewatkan oleh pasangan muda-mudi. Bercengkerama memadu kasih ditengah indahnya cahaya letupan kembang api. Berapa keperawanan yang akan terbobol selama satu malam itu, berapa wanita bayaran yang akan meraup keuntungan, berapa banyak pedagang yang meraup berkah melayani para penikmat suka cita, berapa banyak finansial yang tergelontor untuk membiayai ledakan kembang api, dan berapa banyak pemulung sampah yang akan mendapat nikmat. Semuanya luput dari perhatian!
            Ada yang akan saya soroti disini, tentu saja tentang rasa cinta saya terhadap budaya yang harus saya pegang teguh, budaya Jawa. Dilema dalam hati saya sebagai seorang muda tentu saja sangat berat dan sulit. Di satu sisi saya sebagai seorang muda yang sangat menyenangi hal seperti diatas tadi, tetapi di satu sisi saya sangat menyenangi kebudayaan saya yang cenderung tidak menganjurkan hal-hal seperti diatas. Pendidikan budaya Jawa yang sudah terinternalisasi sejak kecil terutama ketika diasuh kakek dan nenek, menjadikan saya sangat mencintai budaya saya sendiri. Teringat betapa indah dan adiluhungnya petuah Jawa yang ada dalam tembang berikut :
            “Dadiya lakunireku,
            (Jadikanlah hal ini tingkah lakumu)
            Cegah dhahar lawan guling,
            (Mengurangi makan dan tidur)
            Lawan aja sukan-sukan,
            (Dan jangan suka bersuka-suka)
            Anganggowa sawatawis,
            (Sederhanalah dalam hidup)
            Ala watake wong suka,
            (Tidak baik orang senang bersuka-suka)
            Nyuda prayitnaning batin.”
            (Mengurangi ke-prayitna-an batin).
           
            Kata prayitna sulit sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tidak ada kata dalam bahasa Indonesia yang secara tepat mampu untuk menggambarkan pengertian prayitna. Kata terdekat yang mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan pengertian prayitna adalah “waspada”. Tetapi pengartian kata waspada masih menimbulkan kesan tidak penuh terhadap makna sesungguhnya dari prayitna. Prayitna adalah suatu keadaan dimana seseorang mengetahui segala hal kasar-halus, kemungkinan-kemungkinan dan kewaspadaan batin tinggi. Orang yang prayitna akan selalu waspada, karena pada hakikatnya ia telah mengetahui kemungkinan-kemungkinan prediksi yang akan datang. Prayitna selalu ngerti sadurunge winarah (mengetahui yang belum terjadi).
            Tahun baru masehi selalu diwarnai dengan hura-hura atau suka-suka. Hal ini telah diingatkan oleh leluhur kita, bahwa bersuka-suka semacam itu akan mengurangi ke­-prayitnaan batin. Tetapi tanpa suka-suka semacam itu, rasanya memang tidak lengkap dan ketinggalan zaman. Makanya generasi muda atau tua kemuda-mudaan yang cenderung lebih dinamis memandang perayaan tahun baru masehi lebih perlu dari pada tahun baru Jawa maupun Hijriah. Karena perayaan yang berlebih itu (sukan-sukan), maka lebih diminati perayaan tahun baru masehi atau nasional dari pada tahun baru Jawa.
            Ada persamaan-persamaan antara dua perayaan tahun baru tersebut yang saya amati. Kedua-duanya memiliki tradisi bakar-membakar. Jika tahun baru masehi memiliki tradisi bakar kembang api, sehingga memerlukan tempat dan area ledak di langit yang bebas hambatan, maka tradisi tahun baru Jawa terlihat lebih sederhana tetapi syarat nilai spiritual. Tradisi bakar di tahun baru ini lebih sarat dengan nilai-nilai filosofis yang apabila dipandang hanya dengan sudut pandang minim, akan menimbulkan tafsir serta kesan keliru. Bakar pada perayaan tahun baru ini adalah bakar kemenyan atau dupa. Ini merupakan sesuatu yang wajib untuk diadakan pada setiap ritus periodik orang Jawa pada zaman dahulu. Sekarang hal ini sesuatu yang sangat jarang kita jumpai. Apalagi ketika segelintir orang dengan menggunakan dalih kepercayaan tertentu menganggap hal tersebut sesuatu kekeliruan mutlak. Muncul wacana berikutnya yaitu ke-tabuan. Sehingga masyarakat yang masih menaatinya terpaksa harus bersembunyi dari khalayak. Tertutup dari ekspos karena anggapan kekeliruan mutlak tadi. Tetapi pada intinya sama, ada tradisi bakar-membakar, hanya saja ada perbedaan mengenai objek yang dibakar, yaitu kembang api atau kemenyan dan dupa.
            Persamaan lain yang saya amati adalah adanya kegiatan ramal atau prediksi persitiwa masa depan, peruntungan rezeki dan lain sebagainya. Hal ini ada pada dua perayaan tahun baru tersebut. Tahun baru masehi biasanya banyak peramal-peramal dadakan yang memanfaatkan waktunya untuk sekedar jual bicara (adol omong), meramal peruntungan dan nasib seseorang di tahun yang akan segera datang nanti. Entah masalah karir, percintaan atau juga masalah kesehatan. Pada dasarnya memang kebudayaan negeri-negeri timur erat kaitannya dengan mistik, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran manusianya itu sendiri yang kemudian tersugesti menjadi kenyataan. Tidak berbeda pula dengan tradisi ramal-meramal pada saat mendekati tahun baru Jawa. Banyak penganut kepercayaan Jawa menghubungkan-menghubungka kejadian yang akan datang dengan segala hal yang menurut mereka akan menjadi suatu tanda kejadian tertentu. Dalam ranah budaya Jawa ramal-meramal tersebut disebut nujum atau jangka. Kenapa tidak menggunakan istilah busur , penggaris, atau yang lain tetapi menggunakan istilah jangka?
            Sebagaimana kita ketahui, jangka adalah alat untuk membuat lingkaran dengan tepat. Meskipun ada banyak alat yang bisa digunakan untuk membuat lingkaran, tetapi tidak ada alat yang presisinya secara tepat mampu membuat lingkaran dengan sempurna kecuali jangka. Jangka memiliki 2 aspek. Yaitu sumbu utama atau sebagai patokan dan sumbu penggambar lingkaran sebagai realisasi lingkaran yang diinginkan. Penggunaan istilah jangka ternyata sangat tepat untuk mensimbolisasikan prediksi-prediksi masa depan. Sumbu utama sebagai masa sekarang, masa dimana belum diketahui segala sesuatu yang akan terjadi. Dan sumbu penggambar adalah masa yang akan kita datangi. Jangka bisa bergerak menggambarkan lingkaran karena ada yang menggerakkan, begitu pula jangka kehidupan, pasti ada yang menggerakkan. Tiga aspek dalam jangka yaitu sumbu patokan, sumbu penggambar, dan pertemuan keduanya di sebelah atas untuk menggerakkan.
            Pada perayaan tahun baru Jawa, jangka masih sering saya jumpai terutama dipraktekkan oleh para penganut kepercayaan Kejawen. Jadi ritus ramal-meramal ada pada 2 perayaan tahun baru ini. Hanya saja ramal-meramal pada tahun baru Masehi mungkin lebih bersifat pribadi atau personal. Agak sedikit berbeda dengan ramal-meramal pada perayaan tahun baru Jawa, sesuai yang sudah digariskan dalam buku primbon, ramal meramal dalam budaya Jawa lebih bersifat umum. Biasanya yang diramal meliputi keadaan negeri selama satu tahun kedepan, banyak tidaknya hujan, dan lain sebagainya.
            Perbedaan mencolok yang saya komentari pada perayaan tahun baru masehi dan Jawa, terkait dengan tembang yang saya sampaikan di muka adalah ritus hura-hura atau sukan-sukan. Jika perayaan tahun baru masehi dilakukan dengan orang dalam kapasitas yang sangat ramai di tempat yang ramai pula, maka perayaan tahun baru Jawa dilakukan oleh segelintir orang di tempat yang sepi. Teringat betapa seringnya saya diajak om mengunjungi Gunung Srandil setiap menjelang 1 Sura, walaupun tidak pernah terealisasi karena alasan teknis. Di tempat sepi tersebut dianjurkan berkhalwat sesuai kepercayaan yang dianut, merefleksi semua kejadian pada tahun yang akan ditinggalkan semoga dapat menjadi pelajaran berharga dan berharap semoga pada tahun yang datang mendapat berkah.
            Di beberapa tempat di Jawa, ketika memasuki bulan Sura, ada tradisi membuat bubur Sura dan tirakat puasa selama beberapa hari atau selama 1 bulan penuh. Tetapi di beberapa daerah berbeda, anjuran puasa tidak ada tetapi hanya ngurang-urangi. Maknanya adalah mengurangi semua hal yang berbau keduniawian. Jika kita kaji lebih lanjut ada budaya ngrowot dan nganyeb yang masih dianut dan dilaksanakan oleh segelintir orang di Jawa. Semua tindakan ini sebagai bentuk manifestasi betapa sakralnya bulan Sura dalam tradisi Jawa. Hal yang sangat terbalik, ada pada perayaan tahun baru masehi. Tidak ada istilah kata ngurang-urangi bahkan malah nguja-uja yang dilakukan, sehingga perayaan tahun baru masehi selalu dilekatkan dengan senang-senang. Dalam budaya Jawa, kesenangan memang dibatasi, karena apabila terlalu senang, celakanya mudah digoda dan kurang prayitna, sehingga mudah lupa (lali purwa duksina). Perbedaan lain yang saya garis bawahi, bulan Januari mungkin tidak dianggap sakral bagi para pemeraya tahun baru masehi, tetapi bulan Sura sangat disakralkan oleh para pemeraya tahun baru Jawa, sehingga ada ritus jamasan pusaka yang diadakan setelah tanggal 1 Sura.
            Hal-hal seperti diatas mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang yang terlalu sentimen, sehingga kadang-kadang luput dari perhatian. Tetapi hal kecil yang disepelekan jika kita amati menggambarkan sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Ada tulisan, ada pengetahuan yang tidak tercatat tetapi dapat dipahami oleh siapapun yang mau mencermatinya, ada sastra tanpa tulis yang secara cetha wela-wela njlentrehake kahanan (sastra yang tidak tertulis yang secara gamblang menjelaskan keadaan;sastra=pengetahuan). Sebagai penutup patut kita renungkan, meskipun hanya sekedar perayaan tahun baru, akan tetapi jelas menggambarkan sosok kepribadian kita, atau secara lebih luas menggambarkan kepribadian bangsa Indonesia, yang ‘semoga jangan’ sekedar anut grubyug, mengikuti perkembangan zaman yang terlalu kebablasan. Eling lan waspada, kembalilah kepada jati diri, sebaik-baiknya orang meniru tidak akan pernah sama sekali menyamai bahkan untuk mengungguli yang ditiru, apalagi soal kepribadian dan kebudayaan. Bahkan yang ada hanya magel (setengah-setengah), kebarat pun tidak, ketimur pun juga sudah tidak. Sakmonjo-monjone barang niru ora bakal luwih apik tinimbang sing ditiru, prayoga aluwung gawe dhewe. Neng, ning bakale nang.
            (Closing statement menggunakan Bahasa Jawa, jika tidak mengerti arti serta maksud yang terkandung, silahkan cari tahu sendiri, toh oleh Tuhan sudah diberi akal untuk berpikir dan hati untuk merenung. Jangan seperti anak kecil, yang mintanya selalu dijejali. Berpikir dan merenunglah).

            Agusta Prihantoro – 1 Januari 2014

***

 

KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN HAK CIPTA

Pemikiran dalam tulisan ini termasuk ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40, ayat (1), huruf a, UU Republik Indonesia, No. 28, Tahun 2014 tentang Hak Cipta.  Sehingga demi hukum, kegiatan terkait plagiasi dan/atau sejenisnya yang menyangkut pelanggaran Hak Moral Pencipta (seperti terdapat pada Pasal 5-7) dan Hak Ekonomi (seperti terdapat pada Pasal 8-11), akan dikenai sanksi pelanggaran. Sebagaimana terdapat pada Bab XVII tentang Ketentuan Pidana, Pasal 113 ayat (3) & (4) yang menyatakan bahwa :
“...Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a ‒penerbitan Ciptaan‒, huruf b ‒penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya‒, huruf e ‒pendistribusian Ciptaan atau salinannya‒, dan/atau huruf g ‒pengumuman Ciptaan‒ untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)...”
Dan :
“...Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)...”.