Minggu, 19 Juni 2016

Sastra Jendra Itu Tidak Ada!



Sastra Jendra Itu Tidak Ada!
oleh Agusta Prihantro (Daru Lelana),
Mahasiswa Tingkat Akhir Jur. Pendidikan Sejarah, Unnes

            Masyarakat Jawa gemar sekali menonton pertunjukkan wayang kulit purwa. Salah satu lakon yang sarat akan nilai falsafi adalah Alap-Alapan Sukesi. Lakon ini sesungguhnya menceritakan suatu babak dalam Kakawin Arjunawijaya, yakni ketika Resi Wisrawa melamar Sukesi. Pada awalnya, Resi Wisrawa berniat melamar Sukesi sebagai istri untuk anaknya, Prabu Danapati di Lokapala. Tetapi rupanya, dalam pertunjukkan wayang kulit, Sukesi meminta dijabarkan suatu ilmu yang sangat rahasia (Jawa: winadi), oleh sang pendeta. Yang oleh para dalang disebut sebagai “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” atau “Sastra Jendra” saja.
            Keadaan ini memaksa sang pendeta untuk mengajarkan intisari ilmu tersebut. Sehingga membuat murka para dewa, karena Resi Wisrawa telah dianggap sembarangan menjabarkan ilmu tersebut. Kemarahan dewa telah membuat pendeta ini harus menuai azab, dengan memiliki tiga orang anak berwujud raksasa (Jawa: buta) dan satu orang manusia. Anak inilah yang melegenda sepanjang zaman, ia adalah Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Rahwana menggantikan eyangnya, Prabu Sumali, menjadi diraja Alengka. Raja besar yang namanya termaktub dalam Kakawin Ramayana, menculik Dewi Sinta, dan tewas oleh karena nafsunya sendiri.
Apa itu Sastra Jendra?
            Para dalang setiap melakonkan cerita tersebut, nampaknya berbeda-beda (Jawa: beda sanggite). Meskipun jalan ceritanya sama, tetapi persoalan makna ajaran ilmu Sastra Jendra, tidak ada kesepakatan para dalang. Ada dalang yang menghubungkan ilmu ini dengan kemampuan seseorang untuk mengendalikan empat hawa nafsu manusia. Yakni meliputi nafsu “supiyah, aluamah, amarah, dan mutmainah”. Menurut mereka, setiap manusia yang telah mampu mengendalikan luapan hawa nafsu, tak ubahnya telah mencapai nilai tertinggi dalam taraf kezuhudan. Tidak lagi bergeming terhadap mulusnya paha, kencangnya payudara, manisnya gula, indahnya pakaian, dan sebagainya.
            Selain itu, ada pula dalang yang menyebutkan bahwa “Sastra Cetha Harjengrat” adalah bagian dari pengetahuan sastra manusia. Menurut mereka, kata sastra telah menunjukkan erat kaitan dengan tulisan-tulisan atau huruf (aksara). Kelompok ini mengatakan bahwa sastra jendra adalah penjabaran dari aksara-aksara Jawa yang berjumlah 20. Dalam perkeliran, dalang akan menampilkan adegan Resi Wisrawa membabar 20 aksara Jawa kepada Sukesi. Mulai dari aksara “Ha” hingga “Nga”, satu persatu. Ini jelas merupakan cara “othak-athik gathuk” saja. Karena aksara Jawa sesungguhnya tidak hanya 20, bahkan lebih, dan tidak diurutkan dengan sistem Hanacaraka. Aksara Jawa sesungguhnya adalah yang sekarang masih dapat kita lihat pada sistem tata tulis Mardi Kawi. Diurutkan dengan sistem Kaganga (?).
            Dalam Serat Lokapala (Arjunasasrabahu), Raden Ngabehi Sindusastra dan Yasadipura II (keduanya pujangga Keraton Surakarta) memberikan definisi secara singkat tentang makna Sastra Jendra. Ulasannya sebagai berikut:  
|| sastṛajendṛa hayuningrat | pangṛuwat barang sakaliŕ | kapungkuŕ sagung rarasan | ing kawṛuh tan wontên maliḥ | wus kawêngku sastṛadi | pungkas-pungkasaning kawṛuh | ditya diyu rasaksa | myang sato siring wanadṛi | lamun wêruh aŕtine kang sastṛa jendṛa ||
|| rinuwat dening bathara | sampuŕna patinireki | atmane woŕ lan manusa | manungsa kang wus linuwiḥ | yen manungsa udani | wor lan dewa patinipun | jawata kang minulya |
Alih bahasa:
|| sastra jendra hayuningrat | sarana pembebas segala petaka | segenap pembicaraan (tentang ilmu) | sudah tidak ada lagi | (karena) sudah tercakup dalam sastra utama | puncak tertinggi dari segala ilmu | (semua jenis) raksasa | serta satwa seisi hutan | jika tahu makna sastra jendra ||
|| akan memperoleh pembebasan dewa | sempurnalah kematiannya | rohnya berkumpul (dengan roh) manusia | manusia yang utama | yang telah memahami (sastra jendra) | akan berkumpul dengan dewa (setelah) kematiannya | dewa yang mulia |
Demikianlah penjabaran yang dilakukan dua orang pujangga besar keraton tersebut. Mereka menganggap bahwa sastra jendra adalah bagian terpenting dalam serat itu, karena berisi ilmu hakiki, namun sayangnya mereka tak menjabarkan secara detail apa, dan bagaimana bentuk sastra jendra. Sehingga di kemudian hari, timbul banyak spekulasi oleh para ahli (terutama dalang yang menggelarkan cerita), tentang sastra jendra ini. Jika kedua sastrawan keraton tersebut menggubah Serat Lokapala dari bentuk kakawin, yakni Kakawin Arjunawijaya, lalu bagaimana sastra era klasik ini memandang sastra jendra?
Istilah Sastra Jendra Muncul Karena Kakografi
            Serat Lokapala yang menguraikan tentang sastra jendra, sesungguhnya disadur dari Kakawin Arjunawijaya. Kakawin ini berasal dari masa Majapahit. Dikarang oleh seorang maha-pujangga, yakni Empu Tantular. Ia pula adalah pengarang Kakawin Sutasoma/Purusadasanta (si pelahap manusia yang ditundukkan) yang didalamnya terdapat semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Ikhtisar yang bagus tentang kakawin ini (Arjunawijaya) dapat dibaca pada Kalangwan karya Zoetmulder. Secara garis besar, kakawin ini menceritakan tentang Dasamuka dan Arjunasasrabahu. Di dalam kakawin ini pula, akan banyak kita temui “sanggit-sanggit” yang menunjukkan sebab kenapa diberi nama Rahwana, dan sebagainya.
            Lalu bagaimana terkait dengan sastra jendra?
            Di dalam kakawin ini, sama sekali tidak pernah disinggung perihal adanya istilah sastra jendra. Bahkan permintaan Sukesi untuk meminta pembabaran ilmu dari sang pendeta pun tidak dijumpai. Namun ada bagian yang menguraikan tentang Resi Wisrawa dan Sukesi yang menghasilkan pertemuan mereka (pupuh 13 bait ke-8 hingga 13). Di dalam kakawin tertulis demikian:

|| Ndan saŋ paṇḍita dibyacitta wihikan saŋ stṛyahajöŋ | nghiŋ putṛeki ginongnya mogha sêḍêŋ iŋ pujabhakti n têka | nahan hetu niran pamidyani maṣuṇwawêtwa singhakṛti | kṛureka n daśa waktṛa wingśati tanganyaŋ rawanakweḥ lumuŋ ||
|| Syahdan sang pendeta yang arif sudah tahu maksud kedatangan sang putri yang cantik | putralah yang diharapkan (lalu datang) bersimpuh selagi (sang pendeta) melangsungkan pemujaan | (oleh karena itu) dianugerahilah ia (putra) perkasa laksana singa | menakutkan karena bermuka sepuluh (dan) kedua-puluh tangannya berlambaian ||
            Nampaknya istilah sastra jendra ini muncul dari bait tersebut di atas, karena kakografi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kakografi adalah tulisan yang sulit dibaca; atau ejaan yang menyimpang dari ejaan sesungguhnya. Supomo Suryohudoyo juga menguraikan bahwa kakografi adalah peristiwa perubahan penulisan ketika dilakukan salinan teks naskah. Perubahan tersebut disengaja (kalau ejaan aslinya sulit dibaca) atau tidak disengaja (karena kesalahan).
            Bait 11 di atas, baris pertama berbunyi, “Ndan saŋ paṇḍita dibyacitta wihikan saŋ stṛyahajöŋ.” Kata “saŋ” dibentuk dengan aksara “sa” yang diberi tanda baca (Jawa: sandhangan) “cecak/anuswara.” Dan kata “stṛyahajöŋ” yang bermakna wanita/putri (stṛi) yang cantik (hajöŋ). Kata wanita/putri (stṛi) dibentuk dengan aksara “sa” yang diberi “sandhangan” “pepet.” Untuk membentuk kata “stṛi” dalam aturan penulisan Kawi, berlaku hukum Upapanji. Yakni kata-kata yang suku kata depannya “pepet” sering dirangkap dengan suku kata selanjutnya, sehingga hilang “sandhangan” “pepetnya.”
            Rupa-rupanya, kakawin yang disadur oleh pujangga di atas tersebut, adalah kropak yang sudah rusak atau pun salah dalam penyalinannya. Sehingga kehilangan “sandhangan” “cecak/anuswara” dan “pepet.” Sehingga dari kata “saŋ stṛyahajöŋ” berubah menjadi “sa satṛyahajöŋ.” Keadaan ini lebih masuk akal apabila oleh pujangga Keraton Surakarta tersebut kemudian dibaca “sasatṛya hajöŋ” lalu menjadi “sastṛya hajöŋ.” Dan melalui proses haplologi (penghilangan satu atau dua bunyi secara bersamaan yang berurutan) menjadi “sastṛa hajêŋ”, lalu “sastṛa hayu”, dan “sastṛa haŕjêndṛa.” Perlu diingat bahwa dalam bahasa Jawa, “hajêng” memiliki sinonim “ayu”, “hayu”, “haŕja”, “rahayu”, “rahaŕja”, “rahajêng”, “rahaŕjêng” (Indonesia: cantik, indah, selamat, sejahtera, dan seterusnya).



Sehingga jika metatesis di atas diterjemahkan, akan nampak sekali kesalahan yang dilakukan oleh penyadur metrum kakawin ke sekar macapat, di era Jawa Baru. Demikian, “Ndan saŋ paṇḍita dibyacitta wihikan saŋ stṛyahajöŋ” (syahdan sang pendeta yang arif sudah tahu maksud kedatangan sang putri yang cantik) menjadi, “Ndan saŋ paṇḍita dibyacitta wihikan sastṛya hajöŋ” (syahdan sang pendeta yang arif sudah tahu maksud sastra hayu).
Tidak Ada Tetapi Ada; Suatu Kesimpulan
            Ah, mereka para pujangga kan hanya salah baca! Mereka tak mampu memahami istilah Jawa Kuno! Betapa tragisnya apabila ini benar. Karena rupanya istilah sastra jendra selalu menggema di alam budaya masyarakat Jawa. Kesalahan yang sudah terlanjur menjadi ilmu tersebut, terus mendapatkan imbuhan keterangan sampai berderet-deret menjadi “sastṛa hayuningrat”, “sastṛa haŕjendṛa hayuningrat”, “sastṛa jendṛa hayuningrat pangṛuwating diyu”, “sastṛa cêtha, haŕjengrat pangṛuwating barang sakalir”, dan seterusnya.
            Meminjam konklusi yang dipaparkan oleh Sunarto Timur, lepas dari salah tulis yang kemudian mengakibatkan salah tafsir, adalah terkait nilai esensi dan falsafi sastra jendra. Banyak tafsiran semakin mengukuhkan istilah sastra jendra, yang isinya merupakan tuntunan falsafah budaya Jawa. Sastra jendra merupakan ilmu yang mengandung nilai bobot yang adiluhung dan bermanfaat sekali bagi siapa pun yang menginginkan kehidupan sempurna. Kejelian sang pujangga ialah kemampuannya melihat seluruh isi cerita Arjunasasrabahu yang serasi benar dengan siratan ilmu sastra jendra yang diciptakannya. Inilah yang mengangkat karya sastra Arjunasasrabahu itu sendiri (terlepas dari sumber aslinya) menjadi karya sastra yang klasik._DL

Semarang, 20 Juni 2016

***

Sumber:
Lembaga Javanologi Surabaya. 2009. Sastra Jendra Hayuningrat, Analisa dan Pembahasan. Yogyakarta: Shira Media
Poerwadarminta, W.J.S. 1931. Serat Mardikawi 1-3. Solo: Uitgeverij En Boekhandel Stoomdrukkerij De Bliksem
__________. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij N.V. Groningen
Sudibyoprono, R. Rio. 1991. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka
Zoetmulder. 1974. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan
__________. 1982. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

***
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN HAK CIPTA

Pemikiran dalam tulisan ini termasuk ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40, ayat (1), huruf a, UU Republik Indonesia, No. 28, Tahun 2014 tentang Hak Cipta.  Sehingga demi hukum, kegiatan terkait plagiasi dan/atau sejenisnya yang menyangkut pelanggaran Hak Moral Pencipta (seperti terdapat pada Pasal 5-7) dan Hak Ekonomi (seperti terdapat pada Pasal 8-11), akan dikenai sanksi pelanggaran. Sebagaimana terdapat pada Bab XVII tentang Ketentuan Pidana, Pasal 113 ayat (3) & (4) yang menyatakan bahwa :
“...Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a ‒penerbitan Ciptaan‒, huruf b ‒penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya‒, huruf e ‒pendistribusian Ciptaan atau salinannya‒, dan/atau huruf g ‒pengumuman Ciptaan‒ untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)...”
Dan :
“...Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)...”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar