Minggu, 15 Juni 2014

Ketika Aktor Berbicara Sejarah (Resensi)


Ketika Aktor Berbicara Sejarah (Resensi)
Oleh :
Agusta Prihantoro, 3101412008
Mahasiswa Pend. Sejarah, Unnes

Identifikasi Buku :
1.      Judul Buku                  : Orang-Orang Tionghoa & Islam di Majapahit
2.      Pengarang                   : Andrian Perkasa
3.      Ukuran Buku              : 14,5 x 20,5 cm
4.      Jumlah Halaman          : xvi + 148 halaman
5.      Penerbit                       : Ombak
6.      Tahun Terbit                : 2012
7.      ISBN                           : 978-602-7544-33-8
8.      Foto                             :

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Semboyan ini kerap kita dengar. Kita juga kerap
memaknai kalimat tersebut. Namun hanya sebatas pada memberikan makna saja, tanpa berpikir jauh bagaimana cara sejarah tidak dilupakan. Agar tidak terlupakan, sejarah harus ditulis. Penulisan sejarah ini yang disebut historiografi. Menulis sejarah bukan hal yang mudah, karena sejarah merupakan suatu keilmuan, sehingga sejarah harus empiris, logis, sistematis, dan memiliki metode. Metode dalam sejarah meliputi pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Seorang penulis sejarah harus melalui tahap-tahap tersebut untuk menelorkan tulisan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Mengkonsolidasikan sumber-sumber bukan hal yang mudah pula, apalagi sumber artifisial yang berbeda tulisan, bahasa, zaman, dan lain sebagainya. Jadi, menulis sejarah tidak semudah mengucapkan kata-kata di depan tadi.
            Begitu pula dengan Andrian Perkasa, aktor film “Ketika Cinta Bertasbih” dan “Cinta Suci Zahrana.” Dia harus melalui pelbagai penelitian untuk membuat tulisan ini. Sebelum sampai pada kesimpulan ada peranan orang-orang Tionghoa dalam pengislaman Majapahit, dia harus melakukan serangkaian riset yang mendalam serta kajian khusus tentang sumber-sumber sejarah primer pada masa Majapahit. Buku Andrian Perkasa ini, awalnya merupakan skripsi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang sejarah Universitas Airlangga, Surabaya. Diterbitkan oleh Ombak pada 2012, buku ini berusaha menggabungkan kajian sejarah Indonesia klasik (masa Hindu-Buddha) dan kajian sejarah perkembangan Islam (Indonesia baru I), sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Buku ini akan menjelaskan anomali-anomali sejarah pada masa klasik akhir, terutama di Majapahit, mengenai munculnya golongan masyarakat Islam di ibukota kerajaan.
            Komunitas pedagang asing yang kemudian menjadi kelompok elite baru Majapahit berperan besar dalam membawa Islam ke ibukota Kerajaan Majapahit (Trowulan) pada abad XIV dan XV. Mayoritas dari mereka adalah kelompok Muslim Tionghoa. Komunitas itu menjadi kelompok elite baru karena peranannya yang besar dalam perdagangan antardaerah dan antarbangsa. Mereka menempati kota-kota pelabuhan milik Majapahit. Dalam beberapa catatan Cina menyebutkan di daerah seperti Tuban, Gresik, Surabaya, dan pelabuhan-pelabuhan lainnya merupakan daerah yang banyak ditinggali masyarakat Tionghoa Muslim tersebut. Tidak sebatas pada kota pelabuhan saja, bahkan Trowulan yang dianggap sebagai bekas ibukota Majapahit, pun ditunggali oleh orang-orang Muslim Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan teracotta wanita Tionghoa di Majapahit. Selain itu mendasarkan kemiripan tulisan Arab pada nisan Tralaya/Troloyo dengan yang ada di Quanzhou dan Yunnan, Andrian Perkasa menyimpulkan bahwa nisan-nisa Tralaya/Troloyo merupakan kompleks pemakaman bagi elite-elite Tionghoa Muslim yang diterima di Majapahit. Sebagai bukti, dia menyodorkan catatan Ying-Yai Sheng-Lan yang ditulis Ma Huan pada 1416, mengenai penduduk Majapahit. Ini juga dibuktikan dengan lokasi pemakaman yang dekat dengan situs bekas Ibukota Majapahit, Trowulan.
            Makam Tralaya/Troloyo yang dikenal sebagai Makam Tujuh, seperti yang dibahas pada karya Andrian Perkasa ini, memiliki pentarikhan berkisar antara tahn 1397, 1407, 1427, 1467, 1475 M. Berarti nisan-nisan ini sudah ada semenjak Majapahit masih berdiri (atau ketika Trowulan masih difungsikan sebagai ibukota). Makam Tralaya/Troloyo berdekatan dengan kompleks keraton dan rumah para bangsawan Majapahit. Bukti tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa agama Islam yang dibawa kelompok elite baru itu, telah menyebar di kalangan keraton kemudian dipeluk oleh para bangsawan atau keluarga Raja Majapahit. Adanya kalangan keluarga raja yang memeluk agama baru itu karena faktor perkawinan dan ekonomi. Penggunaan lambang Surya Majapahit pada nisan di beberapa makam dalam kompleks Makam Tralaya/Troloyo adalah contoh para bangswan Majapahit yang telah memeluk agama baru itu.
            M.C. Ricklef dalam “a History of Modern Indonesia”, menyatakan bahwa penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas. Hal ini karena proses Islamisasi tidak banyak meninggalkan catatan, bahkan sebagian besar diantaranya merupakan tradisi tutur di masyarakat, misalnya cerita para Walisanga. Berbeda dengan masa Hindu-Buddha yang banyak meninggalkan batu bertulis (praçasti), sehingga memudahkan interpretasi. Sementara itu, pengislaman masyarakat di suatu daerah tidak meninggalkan catatan layaknya batu bertulis. Akan tetapi terkumpul dalam memori kolektif serta menjadi tradisi tutur suatu masyarakat. Maka tidak mengherankan apabila banyak sejarawan yang berpendapat bahwa pengislaman Jawa terjadi semenjak Majapahit mengalami masa pudar. Parahnya, ini diajarkan di sekolah-sekolah karena harus sesuai dengan kurikulum. Padahal kenyataan di lapangan terdapat banyak bukti yang menolak hal tersebut.
            Buku yang pure (murni) membahas sejarah ini, menguraikan masa-masa kusut di Majapahit. Ditarik menjadi suatu permasalahan historis dan dijadikan pijakan untuk menyimpulkan argumentasi bahwa Islamisasi Jawa sudah terjadi pada dekade-dekade akhir Singhasari dan awal Majapahit. Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku “Menuju Puncak Kemegahan, Sejarah Kerajaan Majapahit” (LKiS, 2005), sebagai seorang filolog sekaligus sejarawan tidak menyinggung mengenai anomali sejarah ini. Kompleks  Islam Tralaya/Troloyo yang salah satu pentarikhan nisannya menunjukkan tahun-tahun ketika Majapahit mengalami kejayaan, tidak sempat menjadi permasalahan yang dikajinya. Pun juga Dr. Hasan Djafar dalam karyanya “Masa Akhir Majapahit, Girindrawarddhana & Masalahanya” (Komunitas Bambu, 2012) hanya murni membahas suksesi-suksesi kepemimpinan di Majapahit. Beliau tidak menyinggung mulai maraknya golongan sosial baru di Majapahit sebagai reaksi atas semakin intensnya hubungan dengan Islam. Buku yang menyinggung tentang makam-makam Islam Tralaya/Troloyo (walaupun tidak secara khusus) adalah karya Dr. Uka Tjandrasasmita (Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), berjudul “Arkeologi Islam Nusantara.” Disitu dibahas tentang penemuan makam-makam Islam Tralaya/Troloyo sebagai situs arkeologi in situ dalam kaitannya dengan perkembangan Majapahit di Trowulan.
            Buku ini memiliki segi organisasi isi yang cukup baik. Sistematika penulisannya dengan urutan pembabakan (kronologi) yakni Majapahit pada masa kejayaan, Majapahit pasca kejayaan, dan juga bahasan utama tentang orang-orang Cina serta Islam di Majapahit. Bahasa yang digunakan juga relatif mudah dimengerti. Kalimatnya tidak terlalu berbelit-belit, sehingga tidak mengaburkan gagasan yang ingin disampaikan. Makam Tujuh Tralaya/Troloyo yang dibahas di sini, juga disertakan fotonya. Sehingga pembaca yang belum pernah mengunjungi Tralaya/Troloyo tidak hanya meraba-raba dan membayangkan bentuk nisan-nisan tersebut. Tetapi pembaca dapat melihat bentuk-bentuk nisan berlambang Surya Majapahit itu lewat media foto. Nampaknya Andrian paham bahwa media digunakan untuk menyamakan presepsi sehingga dia menyertakan dokumentasi berupa foto-foto hasil penelitiannya. Mengenai fisik buku, teknik penyajian, pencetakan, penjilidan, dan lay out, saya kira cukup baik. Apalagi penerbit Ombak tidak diragukan lagi sebagai penerbit buku-buku sejarah yang berkualitas. Harga buku ini juga lumayan terjangkau.
            Disatu sisi, ada beberapa catatan yang kiranya perlu menjadi koreksi buku ini. Pertama, ilustrasi sampul hanya menggambarkan dua aspek kajian. Menurut saya, aspek kajian Andrian Perkasa ada tiga yakni orang-orang Tionghoa, agama Islam, dan Kerajaan Majapahit. Sementara yang terlihat hanya Candi Wringin Lawang (Gapura Bentar Majapahit) dan Wayang Kulit Potehi (wayang Potehi adalah wayang yang menceritakan orang-orang Cina). Seharusnya ada ilustrasi satu gambar yang menggambarkan agama Islam, misalnya nisan-nisan Tralaya/Troloyo atau ilustrasi masjid. Kedua, dari segi isi, saya rasa Andrian Perkasa terlalu gegabah dengan meyakini lokalisasi ibukota Majapahit seperti yang digambarkan Prapanca dalam Kakawin Negarakrtagama (Deçawrnana) dengan meletakkannya di Trowulan. Banyak sejarawan kaliber yang menolak pelokalisasian ini seperti Prof. Dr. Slamet Muljana dan Dr. Hasan Djafar. Alasannya, penggambaran tempat-tempat penting yang dilakukan Prapanca terhadap tata kota Majapahit sangat berbeda dengan posisi tempat-tempat penting (misalnya candi) di Trowulan sekarang. Trowulan mungkin salah satu kota/ibukota Majapahit, namun bukan pada masa Hayam Wuruk.
Ketiga, kajian artefak in situ Tralaya/Troloyo (Makam Tujuh), tidak dibuat bab tersendiri di dalam buku. Makam Tujuh Tralaya/Troloyo merupakan sumber primer sejarah, sehingga pembahasan ini perlu dibuatkan tempat dalam bab khusus. Saya juga tidak melihat bahwa buku ini mengelompokkan sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan karya, dalam satu bab khusus sehingga memudahkan pembacaan sekaligus juga penafsiran. Keempat, kelemahan mendasar yang saya garis bawahi dari buku Andrian Perkasa, dia terlalu berani mengambil panafsiran terhadap beberapa teks Jawa-Kuno. Latar belakangnya bukan filologi, penafsiran yang dia lakukan bisa jadi tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah linguistik Jawa-Kuno. Salah satunya, dia terlalu yakin dengan tafsiran teks berikut sebagai sebuah bangunan keagamaan Islam (masjid) di Majapahit :
“...Kaňcit prāpta eng tĕgal Wilajanggala, saňjateng Majapahit, aneng Pablantikan, Ampel-Gading kalawan, Masigit-Agung wus ĕnti...”(Kidung Sunda, KITLV, C.C. Berg)
Masigit-Agung dia tafsirkan sebagai Masjid Agung. Namun disini dia hanya sekedar menafsirkan saja, tanpa memberikan lokalisasi perkiraan bangunan yang dia anggap sebagai Masjid Agung, dan bukti-bukti artefak bekas masjid yang kiranya mendukung pendapatnya tersebut. Di lain halaman, saya juga menemukan dia menafsirkan salah satu frasa dalam praçasti Canggu (daśārdha diwasa) dengan ibadah lima waktu atau salat. Ini bisa bersifat sangat subyektif dan menjadi kelemahan tulisannya. Seharusnya jika Andrian hendak melontarkan prespektif baru, dia menyodorkan pendapatnya dengan bumbu “kemungkinan” atau “kemungkinan besar.” Kecuali jika memang dia memiliki bukti kuat terhadap hal itu. Sebagai pembanding, dalam aliran Tantrayana (Çiwa-Buddhā) juga terdapat ibadah lima cara yang disebut “Ma Limā.” Jadi tidak hanya Islam saja.
            Pada akhirnya, saya tetap menyarankan buku ini untuk dibaca. Buku ini memang benar-benar menyajikan prespektif baru tentang sejarah Islam di Jawa. Walaupun disatu sisi, saya masih menjumpai banyak hal-hal subyektif seperti yang saya utarakan diatas. Hal-hal subyektif ini menjadi kelemahan buku ini, namun sekaligus juga menjadi keunikan buku. Karena seorang aktor, juga seorang arkeolog, juga menjadi filolog, sekaligus seorang sejarawan mampu memberikan prespektif langka Islamisasi Nusantara khususnya Jawa pada buku berjudul “Orang-Orang Tionghoa & Islam di Majapahit” ini.

Semarang, Sabtu, 7 Juni 2014

***

Rabu, 04 Juni 2014

KAJIAN ILMIAH SEJARAH LOKAL CUPLIKAN KONFLIK KEBUMEN



(Telaah atas Babad Karangsambung)
Salah satu kawasan perbukitan di pucuk utara Kebumen yang kini menjadi lokasi Geowisata LIPI Karangsambung

Oleh : Agusta Prihantoro
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Unnes
 



        Kebumen adalah salah satu daerah tingkat kabupaten yang terletak di daerah garis pesisir selatan Pulau Jawa memiliki cerita tentang konflik dualisme kepemimpinan memerebutkan tampuk kepemimpinan bupati pada era 1800-an. Kebumen sebagai wilayah agraris sempat beberapa kali menjadi lumbung logistik pemasok makanan Kerajaan Mataram ketika menyerang VOC di Batavia −masih berupa kongsi dagang dan belum diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda− saat Sultan Agung Anyakrakusuma menjadi penguasa Mataram, pada tahun 1800-an dipimpin oleh Bupati yang masih dibawah kepemimpinan Kraton Kasunanan Surakarta yakni Arung Binang IV. Pada saat itu Arung Binang IV dibantu jabatan patih oleh Kolopaking V. Konflik dualisme kepemimpinan dimulai ketika Kolopaking V menyelundupkan 300 pucuk senjata api yang dikirim ke Ki Lurah Tanurekso yang disinyalir oleh Bupati Arung Binang IV untuk melakukan pemberontakan kepadanya dan Belanda −selanjutnya Kompeni− yang mengadakan kongsi di Kebumen. Hal ini dapat kita tafsirkan sebagai suatu hal yang wajar dimana pada faktanya Arung Binang IV sebagai utusan Kraton Surakarta lebih memiliki kedekatan dengan Kompeni −walaupun dalam beberapa halaman di bagian belakang Babad Karangsambung dikatakan bahwa Arung Binang hanya apik laire dengan Kompeni− sehingga mendorong Kolopaking V untuk melakukan hal semacam itu, mengingat pula konflik yang telah diwariskan leluhurnya, turun temurun persaingan kepemimpinan tetap terjadi −di halaman .... pada Babad Karangsambung dituliskan bahwa Arung Binang adalah pendatang sedangkan Kolopaking adalah orang Kebumen asli−. Paling tidak trah Kolopaking merasa kalah saing dengan trah Arung Binang yang notabene hanya pendatang tetapi kemudian merebut kursi bupati. Bibit persaingan akan selalu muncul jika salah satu trah masih tetap ada −dahulu menurut penuturan pengarang babad dikatakan bahwa babad ini sempat dilarang ditulis dan di edarkan sementara babonnya disita menunjukkan ketidak senangan trah Arung Binang dengan trah Kolopaking−. Nampaknya kalau dalam kajian politik sekarang ada pihak selaku Pemerintah dan ada pihak lawan sebagai Oposisi. Penyelundupan senapan tersebut membuat kekurang percayaan Kompeni kepada pemerintahan Bupati Arung Binang IV karena dinilai bahwa ia tidak tegas kepada perilaku pembangkangan Kolopaking V. Dalam hal ini tentunya Kompeni merasa terancam eksistensinya di Kebumen. Bisa jadi usaha penyelundupan tadi sebagai langkah awal mengurangi keterlibatan Kompeni dalam kancah perpolitikan lokal di Kebumen.  Gawatnya lagi apabila timbul pembrontakan-pembrontakan seperti yang pernah dilakukan oleh leluhur Kolopaking V yang mampu membuat Kompeni untuk sedikit tidak menganggap remeh trah Kolopaking. Sebagai daerah bawahan (mancanagara) Kraton Surakarta maka Susuhunan Surakarta merasa perlu memberikan solusi atas konflik internal ditubuh kepemimpinan Kadipaten Kebumen.
        Dalam Babad Karangsambung, dituliskan bahwa solusi untuk mengatasi keadaan genting diatas,  diadakan musyawarah yang dilakukan pada tahun 1849. Musyawarah ini membahas siapa yang paling pantas dan berhak menduduki tahta Bupati Kebumen. Hasilnya Kolopaking V didukung oleh banyak punggawa kadipaten. Sementara itu Arung Binang IV hanya didukung oleh beberapa orang termasuk Ki Demang Martokondo. Disini kita tangkap suatu tafsiran sejarah bahwasanya banyak punggawa kadipaten yang lebih condong untuk menyatakan keberpihakannya pada Kolopaking V –mungkin saja suasana psikhis punggawa kadipaten sama dengan pemikiran pengarang babad bahwa Kolopaking adalah orang asli Kebumen dan Arung Binang adalah pendatang sehingga ikatan primordial daerah (fanatik regional) lebih kuat pada Kolopaking atau melihat pada realita bahwa Arung Binang lebih condong pada Kompeni−. Pelak menjadi tamparan bagi Arung Binang IV yang dari segi kekuatan bisa dikatakan lebih unggul dengan dibantu Kompeni dibanding dengan Kolopaking V yang hanya didukung oleh kekuatan masa di Kadipaten Kebumen. Diceritakan bahwa, terjadi kericuhan dan penyerangan oleh kubu Arung Binang IV yang dibantu Kumpeni untuk menghancurkan koalisi Kolopaking V. Alun-alun Kebumen menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran tersebut, Kolopaking V terdesak sehingga mundur ke arah Utara menuju rumah Ki Lurah Tanurekso untuk bersembunyi. Suatu kemakluman karena pertemuan saat itu tidak direncanakan adanya baku hantam sehingga jelas pastinya dari kubu Kolopaking V kurang persiapan, terlebih dengan kenyataan koalisi Arung Binang IV dibantu Kompeni yang dari segi piranti perang lebih maju. Terlihat bahwa sudah ada hubungan antara Kolopaking V dengan Ki Tanurekso. Bisa saja memang Kolopaking V telah menghimpun kekuatan di rumah Tanurekso karena secara logika tidak mungkin seorang Kolopaking V yang dari segi kedudukan lebih tinggi derajatnya dari pada Tanurekso yang hanya demang, kemudian meminta perlindungan di rumahnya. Nampaknya jika tidak ada kekuatan di rumah Tanurekso, sangat mustahil Kolopaking V menuju ke utara, mungkin bukan pilihan yang tepat dibanding nyabrang kali Luk Ulo ke arah barat. Sungai mungkin saja bisa menghambat mobilitas koalisi Arung Binang IV, tetapi opsi tersebut tidak dipergunakannya dan lebih memilih mundur ke utara. Bisa saja basis Kolopaking V adalah daerah utara Kebumen –kenyataannya dia bisa menghimpun kekuatan besar setelah memusatkan kegiatannya di Panjer Gunung−. Diceritakan dalam Babad Karangsambung bahwa perjalanan Kolopaking V ke arah utara terhadang oleh medan perbukitan Gunung Malang Kencana. Dengan keris saktinya Kolopaking V memancung pucuk Gunung Malang sehingga menjadi pogog atau putus pucuknya sampai sekarang bukit tersebut disebut dengan Gunung Pogog. Tentunya tidak dapat kita telan mentah-mentah hal ini. Bisa saja maknanya adalah kias tetapi bisa pula sebagai alat legitimasi yang dibuat oleh pengarang Babad ini yang merupakan salah satu keturunannya. Bukit atau gunung sebagai simbol keluhuran, kesucian dan kehormatan –makam kuno biasanya sering ditempatkan di atas perbukitan sebagai simbol kedekatannya dengan yang kuasa−, sedangkan puncak sebagai mahkota. Artinya bahwa gunung tersebut telah kehilangan mahkotanya, kehilangan keluhuran dan kehormatan. Nampaknya makna kias demikian sebagai manifest sindiran kepada Arung Binang IV atas kedekatannya dengan Kompeni. Penulis ingin menonjolkan bahwa perbuatan Arung Binang IV yang akrab dengan Kompeni telah membutakan dan menghilangkan kehormatannya sebagai penguasa lokal bahkan dengan membunuh saudaranya sekalipun sesama pribumi Jawa. Barangkali penulis berusaha mengatakan bahwa Arung Binang IV tidak memahami arti falsafah Jawa, sedulur kuwi tega warase aja tega myang larane, tega larane aja tega patine.
        Pada malam harinya Kumpeni yang dibantu utusan bupati Arung Binang IV bernama Ki Demang Martokondo berusaha menyusul rombongan Kolopaking V ke rumah Ki Tanurekso. Namun gerakan rombongan Kompeni itu diketahui penduduk daerah tersebut yang sedang berjaga-jaga atau Kemit. Sehingga mereka langsung membunyikan kentongan tanda bahaya dengan nada atau irama titir/nitir. Kawasan tersebut kemudian hari disebut dengan Kemitir. Kubu Kolopaking V yang mengetahui hal tersebut melarikan diri berpindah ke arah utara. Daerah persembunyian yang ditinggal tadi kemudian disebut dengan Tanuraksan. Rombongan Kumpeni kemudian mengurungkan niatnya dan kembali ke pendopo Kadipaten (kanjengan) Kebumen. Dari pemberitaan Babad Karangsambung ini, kita lihat sedikit taktik atau strategi penyerangan yang dimainkan kubu Kolopaking V maupun kubu gabungan Kompeni beserta Prajurit Kadipaten. Mungkin saja dengan melihat kenyataan kekuatan kubu Kolopaking V di daerah-daerah utara −rumah Ki Tanurekso− maka kubu Kompeni dan Arung Binang akan lebih memperhitungkan prosentase kemungkinan dapat unggul. Kubu tersebut ternyata melakukan penyerangan pada malam hari. Bisa lebih diperhitungkan kemungkinan kemenangan dalam penyerangan yang dilakukan pada kondisi malam hari. Walaupun dari segi kekuatan lebih banyak tetapi apabila diserang pada kondisi yang tidak siap –malam hari− maka akan sangat kecil kemungkinan menangnya. Paling hanya bisa bertahan dan sudah pasti akan mengurangi terhadap kekuatan awal. Sehingga lebih mudah dipatahkan untuk kemudiannya.
        Diceritakan dalam babad tersebut ketika keesokan harinya, pengejaran kembali dilakukan yang dipimpin sendiri oleh Arung Binang IV dan terjadi pertempuran dengan kubu Kolopaking V di daerah Kaligending. Nampaknya dengan keterlibatan langsung pasukan koalisi di bawah komando Arung Binang IV, kita sedikit bisa menafsirkan bahwa Arung Binang IV sudah geram dan tidak menganggap remeh kraman atau pembrontakan Kolopaking V. Walaupun tidak diceritakan secara eksplisit, bisa saja pada penyerangan malam hari sebelumnya, kubu koalisi Kompeni mengalami kekalahan. Sehingga paling tidak menjadikan Arung Binang IV merasa harus turun tangan serta melakukan pengejaran sebelum kubu lawan berkembang menjadi lebih besar lagi. Dalam pertempuran di Kaligending itu, satu demi satu punggawa bawahan Arung Binang IV mulai diincar dan berguguran. Setidaknya Kolopaking V tahu dan faham betul cara merongrong kekuatan musuh. Dengan terbunuhnya orang-orang pribumi kepercayaan Arung Binang IV, nantinya keturunan Joko Sangkrib ini akan meminta bantuan orang-orang Kompeni untuk lebih memperkuat pasukannya. Hal ini tentunya akan membuat masyarakat tidak senang. Dan merubah keberpihakannya pada Arung Binang IV menjadi kepada Kolopaking V. Hal ini ternyata benar. Nantinya ketika Kolopaking V bermarkas di Panjer Gunung, ada banyak masyarakat sukarelawan dari Desa Clapar –masuk Kecamatan Karanggayam sekarang− yang kemudian menggabungkan diri dengan Kolopaking V dipimpin langsung oleh leluhur penulis babad ini yakni Raden Mas Dipodrono. Diceritakan dalam Babad Karangsambung tersebut, Demang Martokondo sebagai antek dari Bupati Arung Binang IV terbunuh dan dilarikan menggunakan kuda ke arah selatan dengan tujuan kembali ke Kadipaten melewati sebelah barat Gunung Pogog, namun mayat yang sudah mulai membengkak tadi jatuh diperjalanan. Tempat itu kemudian disebut dengan Mertokondo. Mayatnya yang sudah seperti Bugel −potongan pohon kayu− kemudian dikubur agak keselatan. Makam tersebut kemudian disebut dengan Astana Bugel. Kini jalan sepanjang Mertokondo sampai Kaligending −ditepi kali Luk Ulo− banyak ditemui makam kuno yaitu makam prajurit Arung Binang dan Kolopaking yang gugur dalam pertempuran. Kenyataan situs makam Bugel kini memang ada di sebelah barat Dukuh Jetis masuk wilayah Desa Kutosari, dan kini dijadikan makam umum −saya ingat ketika masih SMP dahulu pernah mengantar jenazah teman SMP yang dikebumikan di Astana Bugel/mBugelan−. Dan nama Mertokondo tempat jatuhnya mayat Ki Martokondo memang mewujudkan sebuah perempatan dimana jalan-jalan tersebut adalah jalan arteri −utama− yang kemungkinan sudah sejak zaman dahulu keberadaannya.  Ke arah utara menyusuri tepi Luk Ulo menuju Panjer Gunung atau daerah Kecamatan Karangsambung sekarang. Sementara ke arah selatan –jika lurus langsung menuju kampung belakang Masjid Agung meliputi Jetis, Kauman dan sekitarnya− dan sedikit berbelok ke arah timur langsung menuju pusat pemerintahan sistem macapatan yakni Alun-alun, Kanjengan, Masjid Agung dan sedikit ke arah timur adalah Pasar. Mengingat posisinya yang strategis itu maka tidak mengherankan jika kemudian hari, jalan kecil yang membentuk perempatan Mertokondo tadi diperbesar –jalan HM Sarbini sekarang− serta dibuatkan jembatan permanen di Sungai Luk Ulo yang diberi nama Tembana –jembatan ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sehingga tidak mengherankan jika arsitektur jembatannya sangat mirip dengan jembatan-jembatan di Eropa yakni struktur lengkung di bagian bawah jembatan−. Sudah selayaknya Pemerintah Kabupaten Kebumen sekarang hendaknya memperhatikan terhadap keberlangsungan dan kelestarian situs-situs tersebut sebagai kawasan cagar budaya ditengah berkembanganya Pasar Mertokondo, pemakaman umum Bugel, dan lalu lintas kendaraan di atas jembatan Tembana.
        Selanjutnya menurut babad tersebut sebagai batas kekuasaan Kolopaking V yang saat itu bermarkas di Panjer Gunung adalah Selaranda −situs Geologi Watu Randa−. Prajurit Kebumen dibawah pimpinan Kumpeni dengan kekuatan 1500 orang menghancurkan markas di Panjer Gunung. Dugaan Kolopaking V benar bahwa paling tidak Arung Binang IV akan meminta sokongan kekuatan yang lebih besar dari Kompeni. Melihat kenyataan tersebut tentunya Kolopaking V tidak akan menghadapi mentah-mentah kekuatan kubu Arung Binang IV. Diceritakan Kolopaking V mundur ke arah utara dan beristirahat dibawah Pohon Tanjung yang besar dan rimbun dan dibuat pesanggrahan −tempat istirahat sementara− daerah tersebut kini disebut Dukuh Pesanggrahan yang masuk wilayah Desa Karangsambung. Kisah ini dapat kita tafsirkan bahwa Kolopaking V memang tidak melakukan penyerangan secara berarti. Dan memilih untuk beristirahat. Ini berarti bahwa Kolopaking V memang sedang berusaha menghimpun tenaga –hakekat istirahat adalah menghimpun tenaga/kekuatan−. Pohon dijadikan tempat berteduh bisa menimbulkan makna kias bahwa Kolopaking V memang sedang berusaha mencari keadilan dengan melakukan propagandanya kepada mayarakat atau para pemukanya di wilayah-wilayah utara. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa tahun, sehingga pada tahun-tahun tersebut bisa dikatakan suasana sedikit lebih anyem, anyes lan tentrem sesuai hakekat orang yang berteduh karena tidak ada pertempuran yang berarti –tidak diceritakan di dalam babad berarti dianggap bukan suatu peristiwa yang penting ataupun tidak memiliki keterkaitan dengan tokoh yang diunggulkan dalam babad−. Selang beberapa tahun kemudian yakni pada tahun 1865, ditempat itu −Pesanggrahan− Kolopaking V didatangi para pengikut baru yakni Tumenggung Kertodrono dari Sigaluh yang sudah lama membuka dan membangun daerah di seberang Kali/Sungai Luk Ulo bernama Desa Binangun. Datang pula Raden Mas Dipodrono dan Ki Suradiwangsa dari Desa Clapar untuk bergabung melawan Kompeni. Rencana perang ketiga orang tersebut bersama Tumenggung Kolopaking V disatukan dan disambung satu rencana dengan rencana yang lain sehingga sebagai peringatan daerah tersebut diberi nama Desa Karangsambung. Ini menyatakan propaganda dan usaha Kolopaking V untuk menghimpun kekuatan di wilayah-wilayah utara memang berhasil. Dan tidak akan gentar lagi melawan koalisi Kompeni beserta Arung Binang IV dan kemungkinan unggul dalam pertempuran bisa diharapkan.
        Memahami bahwa kekuatan Kolopaking V bersama koalisinya  semakin besar, yang tentunya akan mempersulit dikalahkannya, serta pertimbangan atas kondisi geografis Panjer Gunung –wilayah Kecamatan Karangsambung sekarang− yang berupa perbukitan dan pegunungan pastinya akan mempersulit mobilitas/pergerakan pasukan apalagi Kompeni, maka Arung Binang IV menilai untuk perlunya kesegeraan untuk menggempur Karangsambung. Ibarat mumpung taksih wujud plethiking geni prayoga siniram toya. Maka selang beberapa waktu ahirnya meletus pertempuran antara kubu Kolopaking V dan Arung Binang IV yang dibantu pasukan Kompeni. Dalam pertempuran tersebut Mayor Verbrug, pimpinan Kompeni serta beberapa lainnya yakni Kapiten Arons, Kapiten Huster dan Letnan Flissinger tewas. Diceritakan dalam Babad Karangsambung tersebut bahwa Arung Binang IV keluar dari semak-semak tempat persembunyiannya sambil men-jinjing atau mambawa tombak keramat warisan leluhurnya –Joko Sangkrip− yang bernama Kyai Naracabala pemberian istrinya yakni ratu jin di Bulupitu. Arung Binang IV mengaku yang telah membunuh pimpinan-pimpinan Kompeni tadi berdasarkan luka bekas tusukan sejata yang berubah gosong di dada mayat-mayat pimpinan Kompeni tadi serta tidak keluarnya darah dari luka tersebut. Konon tombak Kyai Naracabala mempunyai kemampuan menghisap darah lawan. Inilah yang saya maksudkan di depan bahwasanya Tumenggung Arung Binang IV hanya apik laire dengan Kompeni. Terlepas dari benar atau tidaknya pemberitaan ini, nampaknya kita jumpai suatu fakta bahwasanya telah terjadi semacam penghianatan dari tubuh pasukan kubu Arung Binang IV –propaganda Kolopaking V ternyata sampai ke intern pasukan musuh−.  Sangat tidak mudah menjangkau pimpinan-pimpinan Kompeni yang dilindungi anak buahnya. Saya ibaratkan akan menangkap induk Harimau pasti akan menjumpai dulu anak-anaknya. Kenyataannya 4 pimpinan Kompeni tewas dalam pertempuran, ini menunjukkan pembunuhnya dengan sangat mudah menjangkau 4 petinggi pasukan Kompeni tadi. Jika bukan orang intern pasti akan sangat sulit. Maka melihat kenyataan kalahnya pasukan koalisi Kompeni dan Arung Binang IV dengan gugurnya pimpinan-pimpinan mereka, Bupati Arung Binang IV dan Kompeni kemudian mengadakan negosiasi perdamaian dengan kubu Kolopaking V di Panjer Gunung. Bupati Kebumen, Arung Binang IV didampingi Mayor Magilis mengadakan perundingan. Selama perundingan mayor Magilis selalu menyebut-nyebut kata bani are yang tidak dimengerti maksudnya. Sebagai pengingat tempat tersebut disebut Desa Baniara yang masuk dalam wilayah Kecamatan Karangsambung.
Pada tahun 1870 didapati kesepakatan Kolopaking V sanggup berhenti berperang dan tidak masuk kembali ke dalam struktur Birokrasi/Kepemerintahan Kabupaten Kebumen apabila kedua anaknya lelaki dijadikan bupati pemegang wilayah. Disini nampaknya Kolopaking V sedikit lebih mawas diri dengan sikap ksatrianya bahwa ia merasa tidak diberi mandat oleh Kraton Kasunanan Surakarta sebagai Adipati –walaupun Kraton hanya sebagai simbol karena hakekatnya Kompenilah yang berdaulat dan berkuasa atas semua keputusan Kraton−. Atau memang ia tidak minat lagi menduduki jabatan Adipati seperti leluhurnya dahulu –Ki Bagus Badranala dan anak turunnya−, dan meminta haknya diberikan kepada anak-anaknya serta peperangan yang sudah dilalui lebih termotif hanya untuk melawan Kompeni seperti halnya ayahnya, Kolopaking IV yang merupakan senopati perang laskar Diponegaran. Hasil perundingan tersebut disetujui Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia pada tahun 1875. Tahun 1878 Putra Kolopaking V yang bernama Ki Atmodipuro diangkat menjadi Bupati Banjarnegara bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Jayanegara I menggantikan Bupati Raden Arya Dipodiningrat. Sedang yang bernama Ki Sukadis diangkat menjadi Bupati Karanganyar –bukan Karanganyar timur Solo tetapi Karanganyar yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Kebumen sebagai Kecamatan Karanganyar− bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Kertonegoro menggantikan Bupati Kanjeng Raden Tumenggung Jayadiningrat.
        Bupati Karanganyar tersebut, K.R.T Kertonegoro, kemudian digantikan oleh anaknya bernama Kanjeng Raden Tumenggung Tirtokusumo. Terhitung tanggal 1 Januari 1936 berdasarkan keputusan Residen Hindia Belanda untuk wilayah Kedu, Kabupaten Karanganyar dihapus dan dijadikan satu dengan Kebumen. Tanggal tersebut itulah yang diperingati sebagai hari lahir Kabupaten Kebumen. Bupati K.R.T Tirtokusumo dipindah menjadi Bupati Demak. Beliau menulis sejarah leluhur-leluhurnya menjadi semacam catatan –tetapi bukan Babad Karangsambung ini−, salah satu copyannya dimiliki Almarhum Pak Sadiyo –meninggal ketika saya kelas 3 SMA−, seorang tokoh pemerhati budaya dan sejarah Kebumen. Namun sayang ketika saya sowan pertama kali ke dalemnya di Panjer, karena ketidaktahuan saya, ternyata beliau baru saja diperingati 40 hari wafatnya. Sangat disayangkan saya tidak pernah berbincang dan meminta copyan teks tersebut dari beliau. Semoga diberi jalan yang terang, sowan ing pangayunaning Pangeran.
        Semua paparan diatas hanya didasarkan atas telaah Babad Karangsambung. Kiranya perlu diadakan crosscing atau pencocokan dengan sumber lain berkaitan dengan peristiwa diatas. Babad sebagai wujud Historiografi lokal tentunya kadar ilmiahnya sebagai sumber Sejarah banyak diragukan oleh para ahli sejarah, selain itu juga karena subyektifitasnya sangat dominan, tetapi tidak kemudian kita tinggalkan begitu saja, diabaikan dari pengkajian sejarah. Telaah ilmiah terhadap teks babad ternyata menarik karena menyajikan  kisah yang dramatis, romantis bahkan teladan yang patut kita contoh.


Semarang, 29 Maret 2013