Selasa, 27 September 2022

BOCOR & DINAMIKA WILAYAH DESA DI PESISIR SELATAN JAWA; SUATU ESAI

 

BOCOR & DINAMIKA WILAYAH DESA

DI PESISIR SELATAN JAWA; SUATU ESAI

Oleh

Agusta Prihantoro

 

Pendahuluan

            Kabupaten Kebumen terletak di pesisir selatan Pulau Jawa. Sisi selatannya berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Dataran landai yang membentang luas ini, telah dihuni oleh manusia sejak era yang sangat lampau. Pelbagai penemuan artefak menunjukkan bahwa dinamika historis telah berlangsung sejak era pra-sejarah (Punden Berundak Lurah Karsa). Dan terus bekesinambungan hingga era saat ini (2022), dengan pelbagai gejolak sosial, interaksi budaya, serta bencana alam. Semuanya saling memengaruhi hingga Kebumen menemukan bentuk perwujudan sosial kemasyarakatan seperti saat ini.

            Di sisi barat dan utara, pegunungan Karangbolong-Karangsambung yang kaya batuan karst, mendominasi lingkungan alamnya. Namun demikian, di dataran aluvial sisi selatan, Kebumen memiliki lahan pertanian yang subur. Meskipun pernyataan ini baru bisa diamini saat ini, karena sisi timur dan barat didominasi oleh kawasan rawa yang masih eksis hingga 1890-an. Tetapi secara umum wilayah Kebumen saat itu, dapat dikatakan menjadi lumbung pangan yang sangat potensial. Hal ini lah yang memicu pelbagai gejolak sosial di kemudian hari.

            Di sisi selatan Kabupaten Kebumen, terdapat Kecamatan Buluspesantren. Di kecamatan ini lah terdapat desa bernama Bocor. Tentu nama yang sangat unik, sehingga sering dijadikan guyonan kedai. “Kalau naik motor ke Bocor, jangan takut, nanti lewat Ambal!” Seolah-olah kata “bocor” disandingkan dengan kata “tambal”, yang pada kenyataannya letak Desa Bocor memang tak jauh dari kota Kecamatan Ambal. Tentu saja hal itu suatu kebetulan belaka, dan sudah menjadi materi komedi masyarakat. Dibalik nama Bocor, terdapat dinamika historis yang sangat kompleks.

            Desa Bocor sendiri bisa dicapai melalui Jalan Diponegoro di sisi selatan. Yakni melalui pertigaan Kantor Kecamatan Buluspesantren ke arah utara. Atau dari sisi Kota Kebumen, melalui perempatan lampu merah Desa Muktisari, ke arah selatan hingga sampai di Kali Garung (Kali Kedhungbener), yang terletak Pasar Bocor di sampingnya. Pasar, industri pandai besi, rumah-rumah joglo, hingga ternak sapi menjadi branding yang sangat menarik bagi Bocor.

            Di lain sisi, rasa penasaran tentu sangat menggelitik mendengar kemasyhuran Bocor di era lampau. Sejarah panjang wilayah Bocor telah lama menjadi perbincangan para ahli. Meskipun terbentur oleh pelbagai kendala yang menyulitkan upaya rekonstruksi sejarah secara komprehensif. Misalnya keterbatasan sumber sejarah, kesadaran sejarah masyarakat yang minim, hingga apatisme birokrasi pada pentingnya kajian sejarah lokal (local history). Namun, fakta-fakta menarik di lapangan justru kian banyak yang terungkap. Misalnya penemuan artefak mustaka di Masjid Bocor, makam kuno, sumur jobong (sumur gerabah), dan bekas-bekas kemasyhuran kawasan tempa besi yang kini semakin redup tergilas zaman. Itu semua bak puzzle yang perlu diinterpretasi sehingga dinamika sosial-historis di Bocor bisa diungkap secara ilmiah.

PERKABARAN TENTANG BOCOR DARI MASA LALU

            Membincangkan Bocor di era sekarang, tentu berbeda dengan Bocor di era lampau. Bocor saat ini, secara de jure adalah nama wilayah desa yang ruang lingkupnya di bawah tingkat kecamatan. Dikepalai oleh seorang kepala desa yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan kepala desa (Pilkades). Tetapi bila membahas Bocor di masa lalu, pembatasannya sangat melebar. Tidak hanya pada lingkup sekecil desa seperti saat ini, namun lebih daripada itu. Wilayah Bocor meliputi wilayah yang lebih luas, dengan cakupan kadipaten seperti dalam sumber-sumber tradisional (hikayat, babad, dsb).

            Sumber babad yang menyebut Bocor di era Kerajaan Pajang adalah Babad Wirasaba. Meskipun Babad Wirasaba itu sendiri juga relatif baru, namun menyebutkan nama Bocor di era berdirinya Kerajaan Pajang. Budiono Herusatoto (2008) mengungkapkan bahwa salah satu bupati Wirasaba (cikal-bakal para bupati Banyumas), yaitu Adipati Warga Utama I meninggal terbunuh di Bocor. Peristiwa ini terjadi ketika Kerajaan Pajang menganggap bahwa Adipati Warga Utama I dari Wirasaba ingin membelot dari Pajang, pasca perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Demak ke Pajang.

            Seperti diketahui, Wirasaba menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Demak. Saat Demak berdiri, Wirasaba di bawah tampuk kepemimpinan Adipati Wira Utama I (Raden Paguwan) dan Adipati Wira Utama II (Raden Jaka Katuhu). Dan ketika Sultan Hadiwijaya bertahta di Pajang, Wirasaba dipimpin oleh Adipati Warga Utama I (Raden Bagus Suwarga).

            Dalam hikayat, cerita ini sangat populer. Akibat ulah fitnah Demang Toyareka (adik Adipati Warga Utama I/Raden Bagus Suwarga), sehingga bupati Wirasaba saat itu, Adipati Warga Utama I, tewas oleh utusan Pajang di Bocor. Menurut babad tersebut, Adipati Warga Utama I berangkat pada hari Sabtu Pahing ke arah Bocor. Sedianya ia akan sowan ke Kerajaan Pajang, namun mampir ke tempat rekan karibnya, Demang Bocor. Di tempat Demang Bocor, Adipati Warga Utama I dijamu suguhan makan pindhang banyak (dendeng daging angsa). Berada di pendapa kademangan yang tidak memiliki pringgitan (tempat beratap yang menghubungkan pendapa dengan dalem ageng/rumah utama). Sehingga terdapat space ruang tak beratap, yang terkena terik dan hujan.

Alih-alih menikmati semua suguhan tadi, Adipati Warga Utama I malah tewas oleh utusan Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Ia dibunuh tepat berada di rumah Demang Bocor, akibat fitnah Demang Toyareka yang mengatakan bahwa Adipati Warga Utama I berniat membangkang kepada Pajang. Atas kejadian tersebut, hingga kini terdapat ila-ila (sumpah/aturan adat) yang tak membolehkan semua warga keturunan Banyumas untuk berhajat di hari Sabtu Pahing. Tidak pula boleh memakan daging angsa. Serta tidak diperbolehkan membangun rumah pendapa yang terpisah dari rumah utama.

            Sekelumit kisah di atas menunjukkan bahwa Bocor telah disebut di era Pajang. Yakni dengan munculnya nama Demang Bocor terkait peristiwa tewasnya Adipati Warga Utama I. Tetapi nampaknya nama Bocor juga didapati pada Babad Pasir, yang menceritakan kisah saat berdirinya Kadipaten Pasir. Sekelumit kisah tentang bangsawan Pasir, keturunan Pangeran Senapati Mangkubumi, yang menetap di Bocor karena peristiwa penyerangan Pasir oleh Kerajaan Demak. Sehingga atas uraian ini, pentarikhan Bocor bisa dimulai di seputar waktu penaklukan Kadipaten Pasir.

            Di sisi lain, Babad Tanah Jawi juga turut menyebut Bocor di era awal Mataram. Dalam kisah babad tersebut disebutkan bahwa Demang Bocor yang sedianya akan menyampaikan bulu bekti (upeti) kepada Sultan Hadiwijaya di Pajang, dicegat di Mataram oleh Panembahan Senapati. Atas bujuk rayu Senapati, Demang Bocor menyatakan kesetiannya kepada Mataram. Meskipun didahului oleh peristiwa dramatis seperti diungkapkan babad. Demang Bocor sempat menjajal kesaktian Panembahan Senapati dengan Keris Mahesa Dengen. Tetapi penguasa Mataram terlampau sakti. Ia kebal terhadap keampuhan keris Demang Bocor.

            Dalam babad yang lebih baru (Babad Arung Binang versi Mangunsuparta, 1937), disebutkan suatu peristiwa yang menyebut nama Bocor lagi. Yaitu Demang Prawiragati dari Pekacangan (dekat Jembangan saat ini) mengutus seseorang untuk mencuri keris sakti milik Ngabei Bocor. Yang bernama Kiai Pandu, berdapur Sinom. Setelah keris berhasil dicuri, utusan tadi mampir di rumah teman di Kutowinangun. Ternyata utusan disiksa oleh temannya. Demang Prawiragati marah, merasa bahwa utusannya telah disiksa oleh suruhan Demang Hanggayuda (Demang Kutowinangun). Sehingga Demang Pekacangan menyerbu Kademangan Kutowinangun. Atas penyerangan yang tanpa aba-aba ini, Demang Hanggayuda terpaksa menyingkir ke Ngabean. Sembari membangun kekuatan pasukan yang dipimpin oleh Raden Surawijaya (Joko Sangkrib).

            Kisah-kisah babad di atas memang menyajikan ulasan yang lengkap. Namun sekali lagi, babad atau hikayat bukan sumber primer dalam studi sejarah. Babad dan semacamnya adalah karya sastra, yang memuat kisah-kisah khayali seperti kesaktian, fabel, dan makhluk abadi. Sekali pun babad dijadikan sumber penulisan sejarah, ia akan ditapis sebersih mungkin, alih-alih menerimanya dengan mentah-mentah. Begitu pula babad, ia akan ditemukan dalam banyak versi. Seperti Babad Banyumas, Sugeng Priyadi mengungkapkan ada banyak versi Babad Banyumas yang memiliki sudut pandang masing-masing. Sehingga semakin nampak bukti bahwa produk sastra seperti babad adalah alat untuk menciptakan kekuatan hegemoni atas klan-klan atau wangsa yang berkuasa/menang.

            S. Margana (2010: 1) mengungkapkan dalam alih aksara atas arsip keraton Surakarta-Yogyakarta, tentang suatu hal yang menarik.  Arsip ini merupakan catatan tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi, dan nama-nama kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Pada tahun 1636, Sultan Agung Hanyakrakusuma mulai membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan yang terdiri dari 16 pejabat Bupati Nayaka Jawi-Lebet, serta membagi tanah pedesaan di luar wilayah inti (Negara Agung), yang bukan merupakan wilayah mancanegara.

            Di dalam alih aksara disebutkan bahwa tanah di Bagelen dibagi menjadi dua (2) bagian. Sebelah barat disebut Siti Sewu, yang meliputi Sungai Bagawanta ke barat mengikuti Dhudhuwala (Wala?), Telaga (Mirit), Bulu Kapitu (Kutowinangun), hingga Dhadhap Agung (Cidadap, Karangpucung, Cilacap?). Sedangkan di timur disebut dengan Siti Numbak Anyar, dari Sungai Bagawanta ke arah timur hingga Sungai Praga. Atas dasar ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa wilayah Bocor menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Mataram. Mengingat Bocor menjadi bagian dari Siti Sewu. Toponimi Siti Sewu ini yang kemudian terpatri dalam memori kolektif masyarakat Kebumen. Sehingga untuk menyebut wilayah Kebumen di pesisir selatan sering dinamakan Urut Sewu.

Daerah pertanian yang subur di sepanjang pesisir dikelola oleh masyarakat yang ulet dengan pelbagai pekerjaan pertanian yang berat. Dari dulu penduduknya ulet dan tidak mudah menyerah. Semangat seperti ini nampaknya memiliki akar sejarah yang kuat di masa lalu. Buktinya, wilayah Siti Sewu di era Mataram (dan Kartasura) menjadi penyokong utama bau-suku (pekerja) bagi kepentingan kerajaan yang dikoordinasi oleh abdi dalem Mantri Gowong. Juga dipimpin oleh pejabat kerajaan, disebut Abdi Dalem Bupati Nayaka Jawi Tengen. Menurut naskah alih aksara No. 4, S. Margana (2010: 10-11) menerangkan bahwa di era Susuhunan Pakubuwana II (1726), bupati nayaka Siti Sewu adalah Kiai Tumenggung Anggawangsa (RT. Arungbinang I/Joko Sangkrib), nama yang kerap dielu-elukan sebagai leluhur/cikal bakal Kebumen.

Bocor merupakan bagian dari Siti Sewu seperti diungkapkan di atas. Keberadaannya saat ini (yang hanya tinggal seluas desa), telah dimulai secara terstruktur di era Mataram. Dengan jelas digambarkan hubungan Mataram dengan Bocor, sebagai wilayah di tanah Bagelen. Namun demikian, sumber Belanda juga patut kita telusuri untuk merangkai fakta-fakta sehingga lebih obyektif.

Nama Botjor dan toponimi daerah sekitarnya telah terpetakan dengan jelas pada peta Belanda buatan tahun 1855. Peta ini berjudul Kaart van de Residentie Bagelen, karya P. Baron Melvill van Carnbee tahun 1855. Peta ini menjadi koleksi Universitas Leiden, dengan kode 645501, tipe topographic maps.

 

 

           Bocor juga muncul dalam beberapa surat kabar di era Kolonialisme Hindia-Belanda. Salah satunya pada Javasche Courant, yang terbit pada tanggal 27 Februari 1866. Tentang penjualan aset gedung milik pemerintah eks-pabrik Nila/Tarum (Indigofera). Di afdeeling Ambal, salah satunya disebutkan nama Botjor, selain Agliek (Aglik), Ambal, Wlakoeng (Wlakung), Kedoijo, Mirit, Patoot (Patut), Ngentak (Entak), Gading (Karanggadung?), dan Morros (Moros, Karangbolong?).

           


             Seperti diketahui, bahwa tanaman Indigofera merupakan komoditas perkebunan yang ditanam pada era Tanam Paksa. Indigofera ini sangat bermanfaat kala itu sebagai pewarna biru alami pada industri tekstil. Pada fakta ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada periode Tanam Paksa, Bocor menjadi salah satu lokasi penanaman Indigofera bagi pabrik-pabrik milik pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Yang ternyata mendekati 1866 mengalami bangkrut, dan pada akhirnya aset berupa gedung pabrik tersebut dijual/dilelang oleh pemerintah (Residen Bagelen; P.J. Serle).

            Dinamika historis ini dapat dimaklumi bahwa pada era Mataram, Bocor atau Bagelen pada umumnya merupakan kawasan yang subur. Karesidenan Bagelen (yang akhirnya dihapuskan) menjadi lumbung pangan sejak era Mataram hingga sekarang. Secara kasat mata seperti dapat disaksikan saat ini, Bocor yang dilalui oleh Kali Garung (Kali Kedhungbener) menjadikan kawasan pertanian yang sangat potensial (di masa itu).

            Ada juga berita yang menarik serta perlu disoroti, yaitu tentang organisasi semacam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi), yang muncul di era Hindia-Belanda. Berita tersebut terdapat pada surat kabar De Locomotief, yang diterbitkan pada tanggal 21 September 1928, berjudul Loerahbond (Jalinan/Perkumpulan/Serikat Lurah).

Alih bahasa:

“Dan di Kabupaten Kebumen sudah ada federasi kepala desa selama beberapa tahun, yang tujuannya selain untuk meningkatkan posisi mereka adalah untuk meningkatkan pengetahuan para anggotanya khususnya tentang masalah desa, sehingga sebagai kepala desa mereka dapat memenuhi hak dan kewajiban. Hari-hari ini serikat pekerja (kepala desa) mengadakan rapat umum bulanan, di mana diputuskan antara lain, untuk menunjukkan lebih banyak aktivitas demi kepentingan desa. Serikat ini dipimpin oleh kepala desa Kebumen, Walaija, dan Bocor.” (de Locomotief, 1928)

 

            Pada berita di atas, didapati fakta bahwa Lurah Bocor merupakan pimpinan pada perserikatan lurah di Kabupaten Kebumen. Fakta ini menunjukkan peran aktif Bocor di kancah organisasi pemerintahan desa secara baik (saat itu). Keikutsertaan Lurah Bocor pada perserikatan Lurah di Kabupaten Kebumen tentu menjadi informasi menarik yang memberi setitik fakta, bahwa lurah Bocor saat itu menjamin hak dan kewajibannya sebagai pemimpin Bocor terpenuhi dengan baik. Selain juga upaya meningkatkan kompetensi lurah se-Kabupaten Kebumen kala itu (1928).

ARTEFAK BERSERAKAN DI SEKITAR BOCOR

            Di Desa Bocor, Kecamatan Buluspesantren didapati banyak artefak menarik. Di belakang sebuah masjid, yang dipercaya sebagai masjid tiban, terdapat sebuah batu berbentuk lumpang. Batu berpenampang lingkaran tersebut terbuat dari batu andesit berwarna hitam. Sisi atasnya memiliki cekungan sekira 10 sentimeter. Batu lumpang ini tergeletak di pojok pengimaman masjid. Dengan artefak lain yang diduga berupa fragmen mustaka (ujung bangunan tajug). Sehingga masjid di Bocor ini diduga pada era lampau memiliki bentuk struktur tradisional berupa bangunan bertajug.

 

        

  Selain itu di Dukuh Ragayudan, terdapat dua buah sumur kuno. Yang bagian dinding sumurnya terbuat dari tembikar. Tatanan tembikar pada sumur yang ditata bersusun ini kerap disebut sebagai sumur kejobong. Dua buah sumur ini masih dipelihara oleh masyarakat sekitar, dan terletak di pekarangan warga. Sebagian masyarakat menganggap sumur ini sebagai sumur tiban, yaitu sumur yang ditemukan oleh masyarakat secara tidak sengaja. Sehingga kemudian menimbulkan kultus kekeramatan terhadap sumur tersebut.

            Dari istilah kejobong, masyarakat Jawa memberi sebutan terhadap bibir sumur yang lebih tinggi dari muka tanah sebagai jubung. Meskipun bibir sumur tersebut bukan berasal dari tembikar/terakota, tetapi batu bata, trebis, atau bahan yang lain. Sebutannya tetap jubung, sebagai akar tradisi menyebut kejobong. Tembikar ini secara teknis, sebagai penahan dinding tanah agar tidak gugur ke sumber air, sehingga menutup sumber. Teknologi kuno ini masih lestari di Jawa, meskipun penggunaan tembikar telah diganti trebis, sehingga lebih praktis dan lebih kuat.

            Di Desa Ayamputih, dekat Bocor, juga terdapat peninggalan yang menarik. Di dekat sawah Si Kentheng, terdapat seonggok fragmen batu yang menurut tutur masyarakat dikenal sebagai Watu Celeng. Namun demikian, batu tersebut sejatinya merupakan fragmen sebuah yoni, yaitu artefak keagamaan Hindu. Bagian tubuh yoni terbelah, menyisakan sebagian badan yoni dan sisi bagian cerat yoni. Cerat yoni ini, dalam pandangan masyarakat awam dianggap sebagai moncong celeng/babi hutan.

            Sementara itu, di sekitar pantai Bocor juga pernah dilaporkan suatu temuan/struktur batu bata, yang diduga sebagai benda cagar budaya. Meskipun menurut ahli (Teguh Hindarto, S.Sos., M.Th.), lokasi tersebut diduga berasal dari masa awal abad 20, tetapi kajian tentang temuan-temuan di Bocor dan sekitarnya menjadi sangat menarik, manakala riwayat Bocor di masa lalu ingin direkonstruksi secara kronologis.

WETAN KALI-KULON KALI; DIVERENSIASI YANG BERLANJUT

            Kabupaten Kebumen saat ini, memiliki luas yang membentang, di sisi timur Prembun hingga Rowokele di sisi barat. Di selatan Samudra Hindia dan membentang pegunungan di sisi utara sebagai batas dengan Banjarnegara. Kabupaten dengan luas yang fantastis ini, sejatinya di masa lalu merupakan penggabungan dari pelbagai wilayah yang merdeka. Dengan pelbagai dinamika politik, Kabupaten Kebumen kemudian menemukan bentuknya seperti yang sekarang ini.

            Menurut babad-babad tradisional, wilayah Kebumen dahulunya terbagi-bagi pada daerah kecil. Dalam Babad Sruni, disebutkan bahwa di era Amangkurat Agung (Mataram) terdapat wilayah Sruni yang dipimpin oleh seorang tumenggung. Sruni ini dicapai melalui Klegen Kilang (Selang) ke arah utara. Begitu pula dalam Babad Karangsambung, di era Amangkurat Agung, terdapat wilayah Panjer yang dikuasai oleh seorang tumenggung. Dua lokasi ini terdapat di sisi timur aliran Kali Lukulo, yang merupakan sungai terbesar di Kebumen. Dan Bocor terletak di sisi timur sebelah selatan (pesisir), Kali Lukulo.

            Di sisi barat, dalam sumber-sumber tradisional lain, di era Amangkurat Agung terdapat wilayah Rema/Roma. Wilayah ini sebagai cikal bakal dua kota besar di Kebumen, yaitu Gombong dan Karanganyar. Wilayah Rema ini secara geologis terletak di sisi barat Kali Lukulo, dengan cakupan wilayah yang lebih luas, serta budaya masyarakatnya lebih condong ke arah budaya Banyumasan.

            Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa wilayah Kebumen saat ini adalah eks-Siti Sewu di era Mataram, sebagai pembagian dari tanah Pagelen/Bagelen. Di masa Mataram dan Kartasura, tanah ini masih menjadi wilayah de jure dan menjadi tanah lungguh bagi pejabat-pejabat kerajaan. Namun demikian, Pagelen/Bagelen kemudian dibagi juga menjadi milik dua kerajaan saat terjadi Pagiyanti (Perjanjian Giyanti). Menurut S. Margana, wilayah Siti-Sewu kemudian menjadi milik Kasunanan Surakarta. Dan tanah Numbak Anyar menjadi milik Kasultanan Ngayogyakarta.

            Selanjutnya, mendekati era Diponegaran (akhir abad 19), wilayah Kedhungkebo/Brengkelan (Purworejo saat ini), menjadi wilayah Kasunanan Surakarta. Sementara wilayah Semawung (Kutoarjo saat ini) menjadi wilayah milik Kasultanan Ngayogyakarta. Di sisi barat, wilayah Panjer menjadi milik Kasunanan Surakarta. Dan wilayah Rema (Jatinegara) menjadi milik Kasultanan Ngayogyakarta. Di saat pecah Perang Diponegoro, terjadi banyak perubahan dinamika historis yang menyeret pada timbul-tenggelamnya wilayah-wilayah di eks-Siti Sewu.

            Setelah kekalahan Diponegoro, pemerintah Kolonial Hindia-Belanda berusaha merombak total birokrasi saat itu. Wilayah eks-Siti Sewu yang telah berhasil dianeksasi dari tangan Kasunanan dan Kasultanan, serta mengganti dinasti penguasa lokal yang berkuasa atas tanah-tanah di eks-Siti Sewu. Di timur, dinasti Gagak Handaka (Loano) yang mengerek bendera di belakang Diponegoro, digantikan oleh Resadiwirya (Cakranagara I), sehingga muncul Purworejo. Di Panjer, Tumenggung Kalapaking IV yang juga mengerek bendera di belakang Diponegoro harus tumbang, serta digantikan oleh Tumenggung Arungbinang IV. Secara de facto dan de jure, wilayah eks-Siti Sewu telah menjadi wewenang pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

            Dalam upaya menekan sisa-sisa laskar Diponegoro, maka kemudian dibikin Kabupaten Ambal, pasca 1830, hingga 1870-an. Wilayah Kabupaten Ambal ini sangat unik, yakni memanjang di sepanjang pesisir dari sisi selatan Purworejo (disebut Wonoroto), hingga Karangbolong di sisi barat. Termasuk Bocor juga menjadi wilayah Kabupaten Ambal selama masa itu. Lokasi Bocor yang terletak di sisi timur Kali Lukulo, secara sosial budaya berbeda dengan wilayah Kabupaten Ambal di barat Kali Lukulo. Teguh Hindarto, dalam buku Wetan Kali Kulon Kali, Mengenang Kabupaten Karanganyar Hingga Penggabungan Dengan Kabupaten Kebumen 1936, mengungkapkan bahwa dikotomi wetan kali-kulon kali, yang kerap digaungkan masyarakat Kebumen saat ini, sejatinya merupakan ingatan kolektif terhadap batas wilayah masa lalu daerah-daerah di Kebumen.

            Pasca penghapusan Kabupaten Ambal, setelah kematian KRAA Purbonegoro (bupati Ambal), wilayah Kabupaten Ambal dibagi menjadi milik tiga wilayah. Wonoroto dikembalikan kepada Purworejo, Ambal dan sekitarnya (di sisi timur Lukulo) dikembalikan ke Kebumen, dan Petanahan-Karangbolong dikembalikan kepada Karanganyar (eks-Rema Jatinegara). Sehingga secara de jure dan de facto Bocor menjadi wilayah Kebumen pasca penghapusan Kabupaten Ambal. Regentscap Kebumen dan Karanganyar berada di bawah Karesidenan Bagelen. Hingga Karesidenan Bagelen dihapuskan pada 1 Agustus 1901, dan dilimpahkan menjadi bagian Karesidenan Kedu.

            Di masa Perang Diponegoro, Ambal-Bocor menjadi pusat pergerakan perang yang sangat mencekam. Dalam tuturan tradisional, terdapat Gamawijaya yang menjadi pioner perlawanan di daerah tersebut. Dalam tuturan, Gamawijaya tewas dengan cara dipenggal. Kepalanya kemudian dipertontonkan ke khalayak. Dengan tewasnya Gamawijaya ini, orang yang berhasil menumpas kemudian dianugerahi pangkat menjadi bupati Ambal.

            Sementara itu menurut sumber Belanda, dalam buku “De Java Oorlog”, karya P.J.F. Louw dan E.S. de Klerck, tahun terbit 1894, ditemukan nama Tumenggung Banyakwedi dan Tumenggung Kertabahu yang sempat memobilisasi pasukannya di Bocor.

 

Alih Bahasa:

“Pada tanggal 25, Buschkens maju ke sisi Bocor di selatan Karanganyar, di mana Tumengggung Banyakwedi dan Kertabahu telah bersatu. Ekspedisi ini tidak berhasil seperti sebelumnya, musuh sudah menghilang dan telah pindah ke Desa Karanganyar. Buschken melanjutkan perjalanan menuju desa itu...” (Louw, P.J.F. & E.S. de Klerck, 1894: 275).

           

            Tentang Gamawijaya yang disebut-sebut dalam tuturan masyarakat, nampaknya juga merupakan tokoh sejarah yang nyata. Masih di buku yang sama, kepahlawanan Gamawijaya (di sudut pandang Bangsa Indonesia), atau pemberontakan Gamawijaya (di sudut pandang Belanda), juga dicatat secara singkat di buku tersebut.

 


             Sosok Gamawijaya dalam pemberitaan Belanda itu dituliskan sebagai Kamawidjaja. Sepenggal tulisan di atas menceritakan ketika, Mayor Buschkens menghimpun pasukannya di Desa Surobayan (masuk Kecamatan Ambal saat ini), untuk sewaktu-waktu dapat memberikan bantuan kekuatan kepada Kolonel Colson yang dalam perjalanan menuju Tlaga. Di sisi lain, Kalapakeling (Kalapaking IV) yang terkenal itu, telah bersatu dengan pemberontak di sisi timur pasukan (Mayor Buschkens). Atas laporan dari masyarakat, tentang kedatangan gerombolan pemberontak, kemudian Kolonel Colson mengirimkan pasukannya untuk menghadapi pemberontak.

            Dalam pertempuran ini, Letnan Maxwell melaporkan di sisi pemberontak terdapat 400 orang, termasuk 70 kavaleri (penunggang kuda), dan pembawa spanduk (panji-panji). Pemberontakan ini dapat dipadamkan, dan berhasil menangkap salah satu pemimpin perlawanan, yaitu Kamawidjaja, setelah terjadi perselisihan sengit, yang terus berlanjut bahkan sampai ke sungai. Tetapi pelokalisasian pertempuran ini tidak berada di Bocor seperti yang kerap disebut dalam tradisi tutur. Dalam buku yang sama di atas, pertempuran terjadi di “timur Ambal”. Atas kemenangan Kolonel Colson, kemudian Mayor Buschkens mempromosikan Colson untuk naik pangkat menjadi mayor.

            Di sisi Bocor sendiri, terdapat hal yang menarik. Pada dekade 80-90-an, daerah Bocor merupakan sentra kerajinan pandai besi yang besar. Alat-alat pertanian dibuat di bengkel-bengkel sekitaran Bocor. Serta menjadi alat pertanian yang dikenal memiliki kualitas baik. Namun demikian, memasuki era industrialisasi alat pertanian, dengan serbuan alat pertanian hasil industri tempa modern, menjadikan pamor pandai besi di Bocor sangat memudar.

            Tentang pandai besi di Bocor, ini sangat menarik. Beberapa pandai besi menyatakan bahwa mereka memiliki silsilah berpangkal dari seorang empu pembuat keris. Bila hal ini dapat diterima, kerajinan pandai besi di Bocor bisa jadi bermula dari besalen-besalen senjata keris dan tombak yang berkaitan dengan masa sebelumnya. Namun hal ini harus dibuktikan dengan penelitian yang lebih komprehensif lagi.

PENUTUP

            Pada akhirnya, dinamika sejarah di Bocor berlangsung dengan sangat lama. Sejak diberitakan dalam naskah-naskah tradisional, hingga dalam berita-berita Belanda, Bocor senantiasa memiliki kisah yang menarik. Dinamika sosial budaya yang berlangsung antar zaman menjadikan Bocor memiliki local history yang patut dijadikan ikon daerah Kabupaten Kebumen.

            Di satu sisi, perlu penelitian lebih dalam untuk menginterpretasikan sejarah Bocor secara kronologis. Dan peneliti yang memiliki kompetensi baik, serta obyektif terhadap pelbagai macam sumber sejarah. Di satu sisi, sejarah Bocor juga bisa menjadi pijakan pemerintah Desa Bocor dalam menentukan langkah kerja kedepannya. (AP)

 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar