Politik, Konflik Ras, dan Intrik Istana; Hegemoni Keraton Terhadap
Negeri Semarang
Oleh Agusta Prihantoro
|| sumrêg kang
bala lumaris | bubare saking Samarang | asri tinon gêgamané | akèh warnané kang
bala | wong sabrang lan wong Jawa | swarané asri gumuruh | kadi ombaking
samodra ||
(ramai
para pasukan berbaris, berangkatnya dari Semarang, terlihat indah piranti
senjatanya, bermacam-macam pasukan, orang seberang dan Jawa, suaranya bergemuruh,
seperti ombak di lautan)
|| tuhu yèn
prabu linuwih | têrahing ratu kusuma | kèdhêp ing wadyabalané | ratu ambêg
paramarta | putra ing Nayagônda | lêlana andon prang pupuh | anglurugi
Kartasura ||
(sungguh
seorang raja yang hebat, keturunan raja yang masyhur, dihormati semua bala
tentaranya, raja yang berwatak luhur, putra dari Mataram, berkelana untuk
mengobarkan perang, menggempur Kartasura)
|| bisikanira
Narpati | Susunan Paku Buwana | prawignya pêkik warnané | tuhu yèn ratu kusuma
| lêlana adikara | nitih kuda ulês gêmpung | binusanan abra muncar ||
(nama raja
adalah, Susuhunan Paku Buwana, pintar dan tampan parasnya, sungguh raja yang luhur,
berkelana mencari pengalaman?, menaiki kuda berwarna gempung?, berbusana merah
menyala)
Demikianlah sepenggal bunyi sindhènan
dalam bentuk tembang macapat Asmarandana untuk gêndhing bêdhaya Sumrêg, menurut catatan ahli karawitan Keraton Surakarta, Warsadiningrat.
Gending ini secara khusus untuk mengiringi tarian sakral keraton yaitu Bêdhaya Sumrêg. Lirik gending di atas menceritakan sepenggal
kisah sejarah, ketika Pakubuwana I yang telah menobatkan diri sebagai raja di
Semarang, berangkat memerangi Kartasura. Seperti tercatat dalam sejarah,
Keraton Mataram dan keturunannya adalah keraton yang tidak bisa lepas dari
konflik suksesi. Ada banyak serangkaian perang kekuasaan, bahkan hingga di era
ini.
Di masa lalu, Mataram rupanya telah
dihadapkan pada perbedaan rasial dan gap kebudayaan yang sangat dilematis. Tercatat
bangsa Inggris, Belanda, dan Cina, adalah bangsa-bangsa yang tidak bisa
terlepaskan dari sejarah Mataram. Seringkali bahwa hubungan yang berjalan di
antara dua kubu ini (pri dan non-pri), berjalan layaknya simbiosis mutualisme. Namun
lebih pada persoalan ideologis, hubungan ini selalu dinafikan sebagai hubungan
yang tidak boleh dilakukan. Mataram senantiasa menginginkan sebuah patronasi
yang menempatkan dirinya sebagai “yang dijunjung tinggi dan dihormati” dalam aksi
diplomasinya. Meskipun hanya mendapatkan kedaulatan semu dengan membayar sangat
mahal untuk hal tersebut.
Terlebih bahwa bangsawan Mataram
adalah orang-orang yang sangat haus kekuasaan. Intrik dalam istana, saling
menjatuhkan satu sama lain, adalah gambaran yang bisa kita dapatkan dari kronik
masa lalu. Lobi politik yang sangat manis dengan golongan supra-power, merupakan
hal yang wajar. Ini tentu sangat kontradiktif dengan sebutan “susuhunan” atau
yang dijunjung, sesuai nilai dan norma saat itu. Manakala kita melihat bahwa nilai
dan norma selalu dicampakkan di atas segmentasi kepentingan berkuasa. Masyarakat
Jawa senantiasa memandang bahwa “ngidoni srêngéngé ora ana paédahé (meludahi matahari tiada berguna).” Tetapi
pada kasus Mataram, meludahi matahari seringkali berhasil. Beberapa pangeran
dari trah Mataram terbukti berhasil menjadi raja. Tentu ini adalah kesempatan
emas bagi pemilik kepentingan koloni agar memperkecil kemungkinan perlawanan
besar-besaran.
Semarang, Sebuah Awal Bagi Batavia
Kedua
Intrik istana Plèrèd antara Amangkurat
I dengan putranya, yaitu Pangeran Adipati Anom, telah menyeret pada jurang
kerusakan negeri. Babad menguraikan ini dalam konflik percintaan antara
Pangeran Adipati Anom dengan Rara Oyi, calon selir raja. Ini dapat diinterpretasikan
bahwa antara raja dan putra mahkota terjadi konflik yang sangat hebat. Konflik
demikian telah memungkinkan Puger menjadi putra mahkota. Tetapi Pangeran
Adipati Anom yang memanfaatkan Pangeran Trunojoyo dan trah Kajoran, guna menggulingkan
raja, rupanya memperoleh hasil. Dalam Babad Tanah Jawi suntingan JJ. Meinsma
tertulis:
“...Kala jêngkaripun
sang prabu atilar pura panuju ing malêm Akad, tanggal kaping 18, wulan Sapar
ing taun Bé, angka 1600...” (Ketika perginya sang raja meninggalkan keraton
pada malam minggu, tanggal ke-18, bulan Safar pada taun Bé 1600 Jawa)
Keadaan ini semakin mengurangi
kesempatan Puger sebagai trah Kajoran untuk memiliki kesempatan menjadi raja. Politik
Pangeran Adipati Anom ini bak musang berbulu domba. Dalam tuturan dikatakan
bahwa kematian Sunan Amangkurat I juga karena diracun oleh Pangeran Adipati
Anom. Sehingga supata raja pada putra mahkota terucap tidak ada putra
dan keturunannya yang akan lestari menjadi raja.
Kematian
sunan semakin memperburuk situasi politik bangsawan Mataram. Puger menobatkan
diri menjadi raja di Jenar lalu Plèrèd. Adapaun Adipati Anom menahbiskan diri
sebagai Amangkurat II di Tegal, dan meminta bantuan Vereeneging Oost Indische
Compagnie (VOC) di Batavia untuk menumpas Pangeran Trunajaya. Rupanya Adipati
Anom juga telah melihat bahwa kebencian Puger pada VOC dapat digunakan untuk memukul
Puger itu sendiri. Mengingat VOC dengan pusatnya di Jepara telah sangat maju
dari segi militer dibandingkan laskar pangeran mana pun.
Dalam
situasi seperti inilah, tampil sosok Kyai Mertanaya dari Semarang. Dalam Babad
Tanah Jawi Meinsma, dikatakan bahwa Kyai Mertanaya adalah anak dari Ki Buyut
Kalaweyan. Ketika Amangkurat II dalam perjalanan dari Pekalongan ke Jepara
melalui laut, di tengah lautan kehabisan bekal. Ki Buyut Kalaweyan ini menghaturkan
persembahan bahan makanan dan buah-buahan. Sebagai balas budi, kemudian Kyai
Mertanaya dijadikan bupati di Semarang bergelar Mas Rangga Yudanegara. Sosok
inilah yang kemudian meletakkan dasar-dasar pentingnya Semarang bagi eksistensi
Mataram (Kartasura), di tengah ramainya kepentingan-kepentingan asing di
pesisir.
Mas
Rangga Yudanegara adalah bupati pada daerah yang secara de facto dan de
jure adalah milik VOC. Sebagaimana sejarah mencatat, setelah peperangan
dengan Pangeran Trunajaya, Kartasura menyetujui hak penguasaan VOC atas
sebagian wilayah Semarang. Widya Wijayanti menguraikan adanya beberapa kesepakatan
seperti pada Oktober 1677, Januari 1678, dan Oktober 1705. Penguasaan ini
sebagai bentuk imbalan atas bantuan VOC dalam penumpasan pemberontakan Pangeran
Trunajaya. Babad Tanah Jawi suntingan Meinsma memberitakan setelah pemberontakan
Pangeran Trunajaya ditumpas, dan Pangeran Puger dengan Susuhunan Amangkurat II
telah berdamai, serdadu-serdadu VOC meminta undur diri ke Batavia.
“....Amral
sakumpêninipun nuntên pamit mantuk dhatêng ing Bêtawi. Inggih sampun
dipun-lilani dhatêng sang Prabu, sarta amral kaparingan nêgari ing Cirêbon
sarta ing Pasundhan. Déné têlasipun ing obat mimis tuwin blanja salêbêt ing prang,
punapa malih rêginipun tiyang Kumpêni kang sami pêjah prang, sang nata inggih
sagah maringi têtêmpah. Sarta amral nyuwun lilah badhé damêl loji wontên ing Sêmawis.
Sang nata inggih nglilani...” (Admiral dan pasukannya kemudian pamit pulang
ke Batavia. Juga sudah diberi izin oleh sang raja, serta diberi hadiah negara
di Cirebon dan Pasundan. Sedangkan habisnya mesiu dan belanja dalam peperangan,
sang raja juga berjanji memberikan ganti rugi. Serta admiral meminta izin akan membuat
loji di Semarang. Sang raja juga telah membolehkannya)
Dalam posisi demikian, Mas Rangga Yudanegara tidak lebih daripada penghubung kepentingan VOC kepada Sunan Kartasura, dan/atau sebaliknya. Di satu sisi, bupati Semarang harus mengedepankan pengabdian sebagai bupati yang tunduk pada Kartasura. Di lain pihak, ia adalah tangan kanan VOC untuk menentukan kebijakan raja. Keadaan ini adalah tonggak dimulainya sejarah perkembangan Semarang. Karena VOC mulai melirik Semarang sebagai daerah dagang yang sangat potensial. Bupati Semarang sangat berperan dalam menentukan sejarah Kartasura di era selanjutnya.
Keadaan ini nampaknya
mirip pada kasus Jepara, di mana kongsi dagang VOC berpusat di daerah tersebut.
Rupanya Susuhunan Amangkurat II berusaha menanan bupati yang diharapkan mampu
menjembatani kepentingan Kartasura di pesisir. Dia adalah Ki Jiwaraga atau
Tumenggung Martapura. Babad Tanah Jawi suntingan Meinsma memberitakan:
“...sangêt ing sukur
kula, déné sampéyan, angsal sihipun sang prabu, kadadosakên bupati wontên ing
Jêpara ngriki. Mêsthi badhé kénging kula békani...” (saya sangat bersyukur,
bahwa anda, mendapat ganjaran sang prabu, dijadikan bupati di Jepara sini.
Pasti dapat saya mintai tolong)
Kata-kata yang diucapkan pimpinan VOC di Jepara saat itu mengindikasikan sebuah permintaan kerja sama. Tetapi nampaknya pada kasus Jepara, Tumenggung Martapura adalah orang yang kukuh berpendirian. Sehingga VOC merasa terusik kepentingannya di Jepara. Untuk itu kemudian meminta Susuhunan Pakubuwana membunuh Tumenggung Martapura.
Pada
kasus Semarang, Kyai Mertanaya atau Mas Rangga Yudanegara adalah orang yang
sangat kooperatif dengan VOC. Di masa Susuhunan Amangkurat III (Susuhunan Amangkurat
Mas), bahkan ia terkesan sebagai bupati “bermuka dua.” Ketika Rangga Yudanegara
menerima kedatangan Pangeran Puger yang lolos dari Keraton Kartasura, babad
menggambarkan percakapan VOC pada sang bupati:
“...Ing samangsané
Pangéran Pugêr iku nurut marang ing aturmu, kêrsa têdhak marang ing Sêmarang
kéné, mêsthi kowé bakal tinarima marang jèndral utawa marang Kumpêni kabèh,
kowé prasasat ngilangaké susahé wong Wêlanda, krana kang dadi ratu ing
Kartasura saiki kêpaung...” (Jika Pangeran Puger menurut ke omonganmu, agar
mau menuju Semarang, pasti kamu bakal menyenangkan jenderal --Gubernur
Jenderal-- atau Kompeni semua, kamu seperti menghilangkan kesusahan orang
Belanda, sebab raja di Kartasura sekarang berbudi jelek)
Kedatangan
Pangeran Puger di Semarang untuk meminta bantuan VOC rupanya atas prakarsa dari
bupati Semarang, Mas Rangga Yudanegara. Di lain pihak, rupanya Susuhunan
Amangkurat Mas berusaha melepaskan diri dari “lintah-lintah” VOC. Pertama, ia
tidak memberi tahu perihal penobatannya menjadi raja pada pimpinan VOC. Kedua, ia
telah memulai menyingkirkan Pangeran Puger dengan dalih mendalangi
pemberontakan Raden Mas Suryakusuma. Ketiga, telah memulai konflik dengan Pangeran
Cakraningrat dari Sampang, Madura. Keempat, ia telah mengangkat seorang
keturunan Cina di Semarang bernama Ki Pusparaga, menjadi Tumenggung
Jayaningrat. Ini tentu meresahkan kedudukan bupati Semarang, Mas Rangga
Yudanegara. Gabungan VOC, Semarang, Puger, Madura, dan terakhir Surabaya, tentu
saja bukan lawan yang seimbang bagi Kartasura. Ini adalah tonggak dimulainya
suksesi Kartasura oleh Pangeran Puger.
Dibandingkan
Kartasura, wilayah-wilayah pesisir memang sangat menguntungkan. Semarang telah
berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai. Di lain tempat, Surabaya dan
Madura juga telah berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang sangat kuat. Cakraningrat
dan Jangrana, keduanya juga sangat menentukan perjalanan sejarah Kartasura.
Menurut Ricklef, bahkan Cakraningrat memiliki kedekatan tersendiri dengan VOC. Berulang
kali adipati dari Madura ini meminta untuk dijadikan vasal VOC. Sehingga bagi
Cakraningrat, kedudukan Susuhunan Amangkurat Mas yang menampakkan diri sebagai
raja anti VOC, jelas sangat membahayakannya.
Semarang
semakin berkembang menjadi kota modern bergaya Indis. Mas Rangga
Yudanegara semenjak Pangeran Puger menobatkan diri menjadi Pakubuwana I, ia dijunjung
menjadi Adipati Sura Adi Menggala, Semarang. Seperti yang tertera pada Babad
Tanah Jawi suntingan JJ. Meinsma, Pakubuwana I menandatangani perjanjian dengan
VOC. Maka semenjak hari Kamis, tanggal 29 Jumadilawal 1629 (19 September 1705),
secara praktis Semarang telah lepas dari Kartasura, dan menjadi pusat perdagangan
VOC. Ini menghilangkan kewajiban Adipati Sura Adi Menggala untuk menghadap
Pakubuwana I pada setiap waktu tertentu. Dalam ucapan Speelman, “...pun
Adipati Sura Adi Mênggala kalilanana botên sowan ing sabên kala mangsa, yèn
botên sarêng kumêndur ing Sêmawis...(mohon Adipati Sura Adi Menggala diizinkan
tidak menghadap pada setiap waktu, apabila tidak bersamaan Commandeur di
Semarang)”
Semarang-Mataram dan Permasalahan Etnisitas
Identitas
pluralistis Mataram dapat dikatakan memang sangat mirip dengan Indonesia dewasa
ini. Kompleksnya masyarakat mataram seringkali menimbulkan kesan bahwa konflik-konflik
yang ada dewasa ini, telah dimulai pada masa itu. Ada banyak catatan yang
terkadang membikin kesan lucu akan kedunguan orang Jawa menyikapi perbedaan
yang ada. Terlebih kepentingan politik tertentu mengharuskan suatu gap perbedaan
itu terjadi, menjadi bola liar yang memicu gerak sejarah. Kronik-kronik seperti
babad mencatat hal itu, membuka wawasan tentang makna sejarah dalam pentingnya
kajian sosial masyarakat.
Awal
perbedaan tradisi yang sangat disoroti Babad Tanah Jawi adalah ketika Amangkurat
II menahbiskan diri di Tegal. Ketika itu nampak bahwa orang Jawa sangat “kaget”,
dengan cara orang Belanda berlaku kepada junjungan mereka. Babad menulis
demikian:
“...Amral tuwin para upsir,
sadhatêngipun ing arsané sang prabu, lajêng sami manthuk ngadêg kémawon sarta
ngêmpit têpiyo, botên wontên ingkang sila. Para bupati tuwin kang sami ningali kêlangkung
kagèt sarta éram, déné sami daksura...” (Admiral dan para opsir, datang ke
hadapan sang prabu hanya menganggukkan kepala dengan berdiri dan mengempit topinya,
tidak ada yang bersila. Para bupati dan semua yang melihat sangat kaget serta
heran sebab –perbuatan-- mereka –dianggap— kurang ajar)
Ini mengindikasikan adanya suatu kekagetan
psikologis akibat gap kebudayaan yang sangat berbeda. Orang Jawa saat itu jelas
sangat tidak familier dengan budaya orang barat. Ini sangat menarik, bahwa
babad mengawetkannya sebagai catatan sejarah. Ada indikasi kuat bahwa kala itu
terjadi suatu pertentangan batin dalam diri setiap insan. Bagi bangsawan tradisi
hedonis yang mereka terima dari penghormatan rakyat jelata, seolah tercabik bak
daging dikoyak.
Lebih
jelas babad juga menguraikan ketika Tumenggung Martalaya sangat tersinggung dengan
perilaku para opsir-opsir VOC tadi. Yang ia lakukan tidak hanya menyinggung
terkait perbedaan adat dan tradisi, melainkan sudah menjurus pada gap keagamaan
yang sangat riskan. Babad menulis:
“...Payo kapir, linggiha.
Apa kowé ora wêruh, yèn iki ana ngarsané raja Mataram. Bangêt nggonmu kurang
ajar...” (Hai kafir, duduklah. Apa kamu tidak melihat, jika sedang berada
di hadapan raja Mataram. Kurang ajarmu sangat keterlaluan)
Tidak lagi sebuah perbedaan tradisi
yang menimbulkan pertentangan. Namun telah meluncur menjadi bola liar yang sangat
kompleks. Anggapan kafir pada serdadu VOC dan orang Eropa pada umumnya dapat
dipahami sebagai bentuk “trauma keagamaan.” Permasalahan demikian kerapkali
berkembang pada perkara yang lebih gawat. Doktrinasi keagamaan kelak juga
sangat berpengaruh pada perjuangan melawan ketidakadilan di dekade selanjutnya.
Di
lain sisi, patronasi yang dilakukan Mataram dengan VOC seringkali dinafikan
oleh kalangan bangsawan sendiri. Penyebabnya adalah gap keagamaan, sesuatu yang
sangat riskan memicu pergolakan. Generalisasi masyarakat Jawa terhadap VOC adalah
kaum kafir. Ini dapat kita temui sepanjang peristiwa yang tercatat dalam Babad
Tanah Jawi. Misalnya ucapan Pangeran Puger yang menyatakan ketidak yakinannya
pada Susuhunan Amangkurat II:
“...Sanadyan nyataa kakangmas,
ingsun ya ora lila jumênêng nata mêngku ing tanah Jawa kabèh, krana déné
nganthi marang wong kapir, mêsthi bakal agawé rusak ing wong tanah Jawa kabèh...”
(Meskipun nyata kakakku, aku tidak akan menyetujui menjadi raja di tanah Jawa,
sebab selalu bersamaan dengan orang kafir, pasti akan membuat rusak orang di
tanah Jawa semua)
Ada banyak pernyataan-pernyataan
serupa yang tertulis dalam babad. Semua menunjukkan bahwa perbedaan keagamaan
sangat berpengaruh dalam interaksi kala itu. Tidak dapat dibayangkan bagaimana
kolotnya sebuah pemahaman keagamaan, dalam kondisi jaringan global yang
mengharuskan interaksi antar bangsa. Ini menjadi sebuah pemakluman sekaligus
sesuatu yang sangat menggelikan.
Dalam
kaitannya dengan masalah etnik, Mataram telah memberikan bukti bahwa permasalahan
serius ini bisa menjadi bumerang yang dahsyat. Salah satu penyebab kehancuran
Mataram adalah permasalahan terkait etnik. Di Semarang sendiri, keberadaan
orang-orang Cina dimungkinkan telah ada semenjak awal abad masehi. Tetapi, catatan
yang selama ini dikenal sebagai kronik Sam Pho Kong menguraikan dengan sangat apik
pelayaran Cheng Ho ke Nusantara. Dalam misinya, dimungkinkan telah singgah di
pelabuhan Semarang kala itu. Slamet Mulyana menghubungkan keberadaan
orang-orang Cina di Semarang terkait keberadaan galangan kapal kuno di sini.
Rupa-rupanya
batas pri dan non-pri di sini, dalam tingkat akar rumput secara umum telah
luruh. Selama berabad-abad, orang Cina telah merangkak menjadi bagian yang
penting dari studi kemasyarakatan di era masa lalu. Dalam Babad Tanah Jawi
suntingan JJ. Meinsma, ada satu hal yang patut kita soroti. Ini mungkin
merupakan konflik-konflik kepentingan yang awal dijumpai terkait masalah etnik.
Dalam hal ini, dapat dilihat mobilisasi orang Cina yang mulai menyentuh unsur-unsur
birokrasi Jawa. Menunjukkan kualitas kehidupan orang Cina yang telah mapan. Patut
diberikan catatan, ini hal unik yang dibenturkan antara kepentingan politik dan
ras. Tidak lagi pada persoalan keagamaan.
Seperti
telah disinggung di muka, Kyai Mertanaya yang dijadikan bupati Semarang bergelar
Tumenggung Yudanegara lalu Adipati Sura Adi Menggala, merasa bahwa posisinya
terancam oleh kedekatan Susuhunan Mangkurat Mas dengan orang Cina. Tidak lama
setelah Susuhunan Mangkurat Mas menduduki kursi raja, ia mengangkat abdi terdekatnya.
Yakni seorang peranakan Cina di Semarang, bernama Ki Pusparaga menjadi
Tumenggung Jayaningrat. Kabar yang beredar, Tumenggung Jayaningrat akan
dijadikan sebagai bupati di Semarang. Ini berarti akan menggantikan posisi
Tumenggung Yudanegara di ladang yang sangat subur bagi bisnis perdagangan.
Tetapi
politik Tumenggung Yudanegara memang sangat manis. Ia menjalin kekuatan yang
sangat solid dengan bupati-bupati pesisir, meliputi Jangrana di Surabaya dan
Cakraningrat di Sampang, Madura. Blokade demikian tentu sangat merugikan posisi
Kartasura. Apalagi dalam keadaan bersitegang dengan VOC, Susuhunan Amangkurat
Mas benar-benar kehilangan taringnya. Sunan hanya dapat menghiba di hadapan
para pengusaha Cina yang sama sekali tidak mementingkan perang. Bagaimana pun
penghianatan Tumenggung Jayaningrat kepada Susuhunan Amangkurat Mas, adalah
pukulan telak yang menunjukkan bahwa politik mendekati orang Cina keliru.
Tetapi
yang patut kita cermati adalah perihal kedekatan trah Amangkuratan dengan orang
Cina. Di masa Susuhunan Amangkurat Mas barangkali memang merupakan awal bagi
bangkitnya semangat patriotik Cina-Jawa. Bukan lagi sekedar Cina yang mempribumisasi,
tetapi memang gap etnisitas telah hilang. Pada peristiwa Geger Pacinan, dapat
dilihat bahwa orang Cina dan Jawa melebur dalam kepentingan yang serupa.
Darajadi menguraikan semenjak terusirnya Susuhunan Amangkurat Mas dari
Kartasura oleh Susuhunan Pakubuwana I, maka keluarga Amangkuratan hidup
terlunta-lunta. Dalam pelbagai catatan, cucu Susuhunan Amangkurat Mas dari
Pangeran Tepasana, ia sejak dirawat dirawat oleh saudagar keturunan etnik Cina
di Grobogan. Raden Mas Garendi inilah yang kemudian menjadi figur penting dalam
kaitannya dengan peristiwa perlawanan orang-orang Cina dan Jawa.
Bangsawan-bangsawan
Mataram dapat dikatakan memiliki kesadaran politik yang baik. Secara sadar
patronasi yang dilakukan dengan VOC tidak lebih daripada hubungan yang menjengkelkan,
ini mereka sadari. Semakin lemahnya kekuatan Mataram, menjadikan negeri ini
mudah didikte. Layaknya sebuah opium bagi pencandu, ia dihisap akan memabukkan.
Tetapi bila tak dihisap, sakau akan menghampiri seraya menebarkan penderitaan. Pun
dengan Mataram. Semua perjanjian dengan VOC sangat menyudutkan posisi Mataram. Babad
Tanah Jawi suntingan JJ. Meinsma menguraikan:
“...Punapaa panjênêngan
dalêm wau botên nimbali kula? Ing saupami kula wontêna, panyuwunipun tuwan komasaris
wau kados botên angsal. Kalih déné panjênêngan dalêm sumêrêpa watêkipun tiyang kumpêni
punika saklangkung nracak: yèn angsal bancik, lajêng minggah ing pundhak. Têgêsipun,
bilih dipun-lêgani manahipun, wêwah-wêwah ing pikajênganipun...” (Kenapa tadi
anda tidak memanggil saya? Jika seandainya saya tahu, permintaan tuan komisaris
pasti tidak boleh. Dan seperti yang anda ketahui watak orang Kompeni itu terlalu
kurang ajar. Jika dapat pijakan, kemudian naik ke pundak. Maksudnya, bila
diberi kelonggaran hatinya, gonta-ganti kemauannya)
Dari
percakapan Mas Rangga Yudanegara dengan Susuhunan Pakubuwana I, dapat kita
ambil kesimpulan bahwa manufer politik bangsawan Jawa sesungguhnya baik. Yakni mampu
membaca keinginan dan arah politik VOC. Tetapi susuhunan nampaknya ingin mencari
aman dalam setiap perundingan dengan VOC. Ini dapat dilihat, meskipun banyak
sekali perundingan dengan pihak VOC, Kartasura selalu mendapat tekanan dan
kerugian yang besar. Sehingga VOC merasa harus mendukung raja yang mampu
bersikap kooperatif dan lembek dengan Kompeni. Meskipun secara terang-terangan
harus mendukung suatu makar, seperti pada kasus Pangeran Puger versus Susuhunan
Amangkurat Mas.
Penutup
Mataram
harus merelakan Semarang kepada VOC. Secara nyata perdagangan di pesisir tak
lagi bisa diatur oleh Mataram. Ia juga semakin berkembang menjadi negeri yang
sangat plural. Ini adalah pijakan yang baik bagi perkembangan kerajaan-kerajaan
kecil turunannya. Di abad 19 misalnya, Mangkunegaran menjadi kuat berkat
tradisi agrarisnya. Yogyakarta, meskipun kalah oleh Inggris, tetapi memiliki
angkatan perang yang kuat. Semarang telah menjadi kenangan dalam percaturan
sejarah Mataram, tentang hilangnya sebuah kedaulatan. Juga tentang gambaran
intrik dan masalah etnik yang sangat laten. (DL)
Semarang,
15 Agustus 2017
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar