Sastra
Jendra Itu Tidak Ada!
Mahasiswa Tingkat Akhir Jur. Pendidikan Sejarah, Unnes
Masyarakat Jawa gemar sekali
menonton pertunjukkan wayang kulit purwa. Salah satu lakon yang sarat akan nilai
falsafi adalah Alap-Alapan Sukesi. Lakon ini sesungguhnya menceritakan suatu
babak dalam Kakawin Arjunawijaya, yakni ketika Resi Wisrawa melamar Sukesi.
Pada awalnya, Resi Wisrawa berniat melamar Sukesi sebagai istri untuk anaknya,
Prabu Danapati di Lokapala. Tetapi rupanya, dalam pertunjukkan wayang kulit,
Sukesi meminta dijabarkan suatu ilmu yang sangat rahasia (Jawa: winadi),
oleh sang pendeta. Yang oleh para dalang disebut sebagai “Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu” atau “Sastra Jendra” saja.
Keadaan ini memaksa sang pendeta
untuk mengajarkan intisari ilmu tersebut. Sehingga membuat murka para dewa,
karena Resi Wisrawa telah dianggap sembarangan menjabarkan ilmu tersebut. Kemarahan
dewa telah membuat pendeta ini harus menuai azab, dengan memiliki tiga orang anak
berwujud raksasa (Jawa: buta) dan satu orang manusia. Anak inilah yang
melegenda sepanjang zaman, ia adalah Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan
Wibisana. Rahwana menggantikan eyangnya, Prabu Sumali, menjadi diraja Alengka. Raja
besar yang namanya termaktub dalam Kakawin Ramayana, menculik Dewi Sinta, dan tewas
oleh karena nafsunya sendiri.
Apa itu Sastra
Jendra?
Para dalang setiap melakonkan cerita
tersebut, nampaknya berbeda-beda (Jawa: beda sanggite). Meskipun jalan
ceritanya sama, tetapi persoalan makna ajaran ilmu Sastra Jendra, tidak ada
kesepakatan para dalang. Ada dalang yang menghubungkan ilmu ini dengan
kemampuan seseorang untuk mengendalikan empat hawa nafsu manusia. Yakni meliputi
nafsu “supiyah, aluamah, amarah, dan mutmainah”. Menurut mereka, setiap
manusia yang telah mampu mengendalikan luapan hawa nafsu, tak ubahnya telah
mencapai nilai tertinggi dalam taraf kezuhudan. Tidak lagi bergeming terhadap
mulusnya paha, kencangnya payudara, manisnya gula, indahnya pakaian, dan
sebagainya.
Selain itu, ada pula dalang yang
menyebutkan bahwa “Sastra Cetha Harjengrat” adalah bagian dari
pengetahuan sastra manusia. Menurut mereka, kata sastra telah menunjukkan erat
kaitan dengan tulisan-tulisan atau huruf (aksara). Kelompok ini mengatakan
bahwa sastra jendra adalah penjabaran dari aksara-aksara
Jawa yang berjumlah 20. Dalam perkeliran, dalang akan menampilkan adegan Resi
Wisrawa membabar 20 aksara Jawa kepada Sukesi. Mulai dari aksara “Ha” hingga “Nga”,
satu persatu. Ini jelas merupakan cara “othak-athik gathuk” saja. Karena
aksara Jawa sesungguhnya tidak hanya 20, bahkan lebih, dan tidak diurutkan
dengan sistem Hanacaraka. Aksara Jawa sesungguhnya adalah yang sekarang masih
dapat kita lihat pada sistem tata tulis Mardi Kawi. Diurutkan dengan sistem Kaganga
(?).
Dalam
Serat Lokapala (Arjunasasrabahu), Raden Ngabehi Sindusastra dan Yasadipura II (keduanya
pujangga Keraton Surakarta) memberikan definisi secara singkat tentang makna
Sastra Jendra. Ulasannya sebagai berikut:
|| sastṛajendṛa hayuningrat | pangṛuwat
barang sakaliŕ | kapungkuŕ sagung rarasan | ing kawṛuh tan wontên
maliḥ | wus kawêngku sastṛadi | pungkas-pungkasaning kawṛuh |
ditya diyu rasaksa | myang sato siring wanadṛi | lamun wêruh aŕtine
kang sastṛa jendṛa ||
|| rinuwat dening bathara | sampuŕna
patinireki | atmane woŕ lan manusa | manungsa kang wus linuwiḥ
| yen manungsa udani | wor lan dewa patinipun | jawata kang
minulya |
Alih bahasa:
|| sastra jendra hayuningrat | sarana
pembebas segala petaka | segenap pembicaraan (tentang ilmu) | sudah tidak ada
lagi | (karena) sudah tercakup dalam sastra utama | puncak tertinggi dari
segala ilmu | (semua jenis) raksasa | serta satwa seisi hutan | jika tahu makna
sastra jendra ||
|| akan memperoleh pembebasan dewa |
sempurnalah kematiannya | rohnya berkumpul (dengan roh) manusia | manusia yang
utama | yang telah memahami (sastra jendra) | akan berkumpul dengan dewa
(setelah) kematiannya | dewa yang mulia |
Demikianlah penjabaran yang dilakukan
dua orang pujangga besar keraton tersebut. Mereka menganggap bahwa sastra
jendra adalah bagian terpenting dalam serat itu, karena berisi ilmu hakiki, namun
sayangnya mereka tak menjabarkan secara detail apa, dan bagaimana bentuk sastra
jendra. Sehingga di kemudian hari, timbul banyak spekulasi oleh para ahli
(terutama dalang yang menggelarkan cerita), tentang sastra jendra ini. Jika
kedua sastrawan keraton tersebut menggubah Serat Lokapala dari bentuk kakawin,
yakni Kakawin Arjunawijaya, lalu bagaimana sastra era klasik ini memandang
sastra jendra?
Istilah Sastra Jendra Muncul Karena
Kakografi
Serat
Lokapala yang menguraikan tentang sastra jendra, sesungguhnya disadur dari
Kakawin Arjunawijaya. Kakawin ini berasal dari masa Majapahit. Dikarang oleh
seorang maha-pujangga, yakni Empu Tantular. Ia pula adalah pengarang Kakawin
Sutasoma/Purusadasanta (si pelahap manusia yang ditundukkan) yang didalamnya
terdapat semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Ikhtisar yang bagus
tentang kakawin ini (Arjunawijaya) dapat dibaca pada Kalangwan karya
Zoetmulder. Secara garis besar, kakawin ini menceritakan tentang Dasamuka dan
Arjunasasrabahu. Di dalam kakawin ini pula, akan banyak kita temui “sanggit-sanggit”
yang menunjukkan sebab kenapa diberi nama Rahwana, dan sebagainya.
Lalu
bagaimana terkait dengan sastra jendra?
Di
dalam kakawin ini, sama sekali tidak pernah disinggung perihal adanya istilah
sastra jendra. Bahkan permintaan Sukesi untuk meminta pembabaran ilmu dari sang
pendeta pun tidak dijumpai. Namun ada bagian yang menguraikan tentang Resi
Wisrawa dan Sukesi yang menghasilkan pertemuan mereka (pupuh 13 bait ke-8
hingga 13). Di dalam kakawin tertulis demikian:
|| Ndan saŋ paṇḍita dibyacitta
wihikan saŋ stṛyahajöŋ | nghiŋ putṛeki ginongnya mogha sêḍêŋ iŋ
pujabhakti n têka | nahan hetu niran pamidyani maṣuṇwawêtwa singhakṛti
| kṛureka n daśa waktṛa wingśati tanganyaŋ rawanakweḥ lumuŋ ||
|| Syahdan sang pendeta yang arif sudah
tahu maksud kedatangan sang putri yang cantik | putralah yang diharapkan (lalu
datang) bersimpuh selagi (sang pendeta) melangsungkan pemujaan | (oleh karena
itu) dianugerahilah ia (putra) perkasa laksana singa | menakutkan karena
bermuka sepuluh (dan) kedua-puluh tangannya berlambaian ||
Nampaknya
istilah sastra jendra ini muncul dari bait tersebut di atas, karena kakografi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kakografi adalah tulisan yang sulit dibaca; atau
ejaan yang menyimpang dari ejaan sesungguhnya. Supomo Suryohudoyo juga
menguraikan bahwa kakografi adalah peristiwa perubahan penulisan ketika
dilakukan salinan teks naskah. Perubahan tersebut disengaja (kalau ejaan
aslinya sulit dibaca) atau tidak disengaja (karena kesalahan).
Bait
11 di atas, baris pertama berbunyi, “Ndan saŋ paṇḍita dibyacitta wihikan saŋ
stṛyahajöŋ.” Kata “saŋ” dibentuk dengan aksara “sa” yang diberi tanda
baca (Jawa: sandhangan) “cecak/anuswara.” Dan kata “stṛyahajöŋ” yang
bermakna wanita/putri (stṛi) yang cantik (hajöŋ). Kata wanita/putri
(stṛi) dibentuk dengan aksara “sa” yang diberi “sandhangan” “pepet.”
Untuk membentuk kata “stṛi” dalam aturan penulisan Kawi, berlaku hukum
Upapanji. Yakni kata-kata yang suku kata depannya “pepet” sering dirangkap
dengan suku kata selanjutnya, sehingga hilang “sandhangan” “pepetnya.”
Rupa-rupanya,
kakawin yang disadur oleh pujangga di atas tersebut, adalah kropak yang sudah
rusak atau pun salah dalam penyalinannya. Sehingga kehilangan “sandhangan” “cecak/anuswara”
dan “pepet.” Sehingga dari kata “saŋ stṛyahajöŋ” berubah menjadi “sa
satṛyahajöŋ.” Keadaan ini lebih masuk akal apabila oleh pujangga Keraton
Surakarta tersebut kemudian dibaca “sasatṛya hajöŋ” lalu menjadi “sastṛya
hajöŋ.” Dan melalui proses haplologi (penghilangan satu atau dua bunyi
secara bersamaan yang berurutan) menjadi “sastṛa hajêŋ”, lalu “sastṛa
hayu”, dan “sastṛa haŕjêndṛa.” Perlu diingat bahwa dalam bahasa
Jawa, “hajêng” memiliki sinonim “ayu”, “hayu”, “haŕja”,
“rahayu”, “rahaŕja”, “rahajêng”, “rahaŕjêng”
(Indonesia: cantik, indah, selamat, sejahtera, dan seterusnya).

Sehingga jika metatesis
di atas diterjemahkan, akan nampak sekali kesalahan yang dilakukan oleh
penyadur metrum kakawin ke sekar macapat, di era Jawa Baru. Demikian, “Ndan
saŋ paṇḍita dibyacitta wihikan saŋ stṛyahajöŋ” (syahdan sang pendeta yang
arif sudah tahu maksud kedatangan sang putri yang cantik) menjadi, “Ndan saŋ
paṇḍita dibyacitta wihikan sastṛya hajöŋ” (syahdan sang pendeta yang arif
sudah tahu maksud sastra hayu).
Tidak Ada Tetapi Ada; Suatu Kesimpulan
Ah,
mereka para pujangga kan hanya salah baca! Mereka tak mampu memahami istilah
Jawa Kuno! Betapa tragisnya apabila ini benar. Karena rupanya istilah sastra
jendra selalu menggema di alam budaya masyarakat Jawa. Kesalahan yang sudah
terlanjur menjadi ilmu tersebut, terus mendapatkan imbuhan keterangan sampai
berderet-deret menjadi “sastṛa hayuningrat”, “sastṛa haŕjendṛa
hayuningrat”, “sastṛa jendṛa hayuningrat pangṛuwating diyu”, “sastṛa
cêtha, haŕjengrat pangṛuwating barang sakalir”, dan seterusnya.
Meminjam
konklusi yang dipaparkan oleh Sunarto Timur, lepas dari salah tulis yang
kemudian mengakibatkan salah tafsir, adalah terkait nilai esensi dan falsafi
sastra jendra. Banyak tafsiran semakin mengukuhkan istilah sastra jendra, yang
isinya merupakan tuntunan falsafah budaya Jawa. Sastra jendra merupakan ilmu
yang mengandung nilai bobot yang adiluhung dan bermanfaat sekali bagi siapa pun
yang menginginkan kehidupan sempurna. Kejelian sang pujangga ialah kemampuannya
melihat seluruh isi cerita Arjunasasrabahu yang serasi benar dengan siratan
ilmu sastra jendra yang diciptakannya. Inilah yang mengangkat karya sastra
Arjunasasrabahu itu sendiri (terlepas dari sumber aslinya) menjadi karya sastra
yang klasik._DL
Semarang, 20 Juni 2016
***
Sumber:
Lembaga Javanologi Surabaya. 2009. Sastra
Jendra Hayuningrat, Analisa dan Pembahasan. Yogyakarta: Shira Media
Poerwadarminta, W.J.S. 1931. Serat
Mardikawi 1-3. Solo: Uitgeverij En Boekhandel Stoomdrukkerij De Bliksem
__________. 1939. Baoesastra Djawa.
Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij N.V. Groningen
Sudibyoprono, R. Rio. 1991. Ensiklopedi
Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka
Zoetmulder. 1974. Kalangwan, Sastra
Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan
__________. 1982. Kamus Jawa
Kuna-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
***
KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN HAK CIPTA
Pemikiran dalam
tulisan ini termasuk ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 40, ayat (1),
huruf a, UU Republik Indonesia, No. 28, Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sehingga demi hukum, kegiatan terkait
plagiasi dan/atau sejenisnya yang menyangkut pelanggaran Hak Moral Pencipta
(seperti terdapat pada Pasal 5-7) dan Hak Ekonomi (seperti terdapat pada Pasal
8-11), akan dikenai sanksi pelanggaran. Sebagaimana terdapat pada Bab XVII
tentang Ketentuan Pidana, Pasal 113 ayat (3) & (4) yang menyatakan bahwa :
“...Setiap
Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a ‒penerbitan Ciptaan‒, huruf b ‒penggandaan Ciptaan
dalam segala bentuknya‒, huruf e ‒pendistribusian Ciptaan atau salinannya‒,
dan/atau huruf g ‒pengumuman Ciptaan‒ untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)...”
Dan :
“...Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah)...”.