Senin, 14 Agustus 2017

Politik, Konflik Ras, dan Intrik Istana; Hegemoni Keraton Terhadap Negeri Semarang



Politik, Konflik Ras, dan Intrik Istana; Hegemoni Keraton Terhadap Negeri Semarang
Oleh Agusta Prihantoro

|| sumrêg kang bala lumaris | bubare saking Samarang | asri tinon gêgamané | akèh warnané kang bala | wong sabrang lan wong Jawa | swarané asri gumuruh | kadi ombaking samodra ||
(ramai para pasukan berbaris, berangkatnya dari Semarang, terlihat indah piranti senjatanya, bermacam-macam pasukan, orang seberang dan Jawa, suaranya bergemuruh, seperti ombak di lautan)

|| tuhu yèn prabu linuwih | têrahing ratu kusuma | kèdhêp ing wadyabalané | ratu ambêg paramarta | putra ing Nayagônda | lêlana andon prang pupuh | anglurugi Kartasura ||
(sungguh seorang raja yang hebat, keturunan raja yang masyhur, dihormati semua bala tentaranya, raja yang berwatak luhur, putra dari Mataram, berkelana untuk mengobarkan perang, menggempur Kartasura)

|| bisikanira Narpati | Susunan Paku Buwana | prawignya pêkik warnané | tuhu yèn ratu kusuma | lêlana adikara | nitih kuda ulês gêmpung | binusanan abra muncar ||
(nama raja adalah, Susuhunan Paku Buwana, pintar dan tampan parasnya, sungguh raja yang luhur, berkelana mencari pengalaman?, menaiki kuda berwarna gempung?, berbusana merah menyala)

           Demikianlah sepenggal bunyi sindhènan dalam bentuk tembang macapat Asmarandana untuk gêndhing bêdhaya Sumrêg, menurut catatan ahli karawitan Keraton Surakarta, Warsadiningrat. Gending ini secara khusus untuk mengiringi tarian sakral keraton yaitu Bêdhaya Sumrêg. Lirik gending di atas menceritakan sepenggal kisah sejarah, ketika Pakubuwana I yang telah menobatkan diri sebagai raja di Semarang, berangkat memerangi Kartasura. Seperti tercatat dalam sejarah, Keraton Mataram dan keturunannya adalah keraton yang tidak bisa lepas dari konflik suksesi. Ada banyak serangkaian perang kekuasaan, bahkan hingga di era ini.
            Di masa lalu, Mataram rupanya telah dihadapkan pada perbedaan rasial dan gap kebudayaan yang sangat dilematis. Tercatat bangsa Inggris, Belanda, dan Cina, adalah bangsa-bangsa yang tidak bisa terlepaskan dari sejarah Mataram. Seringkali bahwa hubungan yang berjalan di antara dua kubu ini (pri dan non-pri), berjalan layaknya simbiosis mutualisme. Namun lebih pada persoalan ideologis, hubungan ini selalu dinafikan sebagai hubungan yang tidak boleh dilakukan. Mataram senantiasa menginginkan sebuah patronasi yang menempatkan dirinya sebagai “yang dijunjung tinggi dan dihormati” dalam aksi diplomasinya. Meskipun hanya mendapatkan kedaulatan semu dengan membayar sangat mahal untuk hal tersebut.
            Terlebih bahwa bangsawan Mataram adalah orang-orang yang sangat haus kekuasaan. Intrik dalam istana, saling menjatuhkan satu sama lain, adalah gambaran yang bisa kita dapatkan dari kronik masa lalu. Lobi politik yang sangat manis dengan golongan supra-power, merupakan hal yang wajar. Ini tentu sangat kontradiktif dengan sebutan “susuhunan” atau yang dijunjung, sesuai nilai dan norma saat itu. Manakala kita melihat bahwa nilai dan norma selalu dicampakkan di atas segmentasi kepentingan berkuasa. Masyarakat Jawa senantiasa memandang bahwa “ngidoni srêngéngé ora ana paédahé (meludahi matahari tiada berguna).” Tetapi pada kasus Mataram, meludahi matahari seringkali berhasil. Beberapa pangeran dari trah Mataram terbukti berhasil menjadi raja. Tentu ini adalah kesempatan emas bagi pemilik kepentingan koloni agar memperkecil kemungkinan perlawanan besar-besaran.
Semarang, Sebuah Awal Bagi Batavia Kedua
            Intrik istana Plèrèd antara Amangkurat I dengan putranya, yaitu Pangeran Adipati Anom, telah menyeret pada jurang kerusakan negeri. Babad menguraikan ini dalam konflik percintaan antara Pangeran Adipati Anom dengan Rara Oyi, calon selir raja. Ini dapat diinterpretasikan bahwa antara raja dan putra mahkota terjadi konflik yang sangat hebat. Konflik demikian telah memungkinkan Puger menjadi putra mahkota. Tetapi Pangeran Adipati Anom yang memanfaatkan Pangeran Trunojoyo dan trah Kajoran, guna menggulingkan raja, rupanya memperoleh hasil. Dalam Babad Tanah Jawi suntingan JJ. Meinsma tertulis:
“...Kala jêngkaripun sang prabu atilar pura panuju ing malêm Akad, tanggal kaping 18, wulan Sapar ing taun Bé, angka 1600...” (Ketika perginya sang raja meninggalkan keraton pada malam minggu, tanggal ke-18, bulan Safar pada taun Bé 1600 Jawa)
Keadaan ini semakin mengurangi kesempatan Puger sebagai trah Kajoran untuk memiliki kesempatan menjadi raja. Politik Pangeran Adipati Anom ini bak musang berbulu domba. Dalam tuturan dikatakan bahwa kematian Sunan Amangkurat I juga karena diracun oleh Pangeran Adipati Anom. Sehingga supata raja pada putra mahkota terucap tidak ada putra dan keturunannya yang akan lestari menjadi raja.
            Kematian sunan semakin memperburuk situasi politik bangsawan Mataram. Puger menobatkan diri menjadi raja di Jenar lalu Plèrèd. Adapaun Adipati Anom menahbiskan diri sebagai Amangkurat II di Tegal, dan meminta bantuan Vereeneging Oost Indische Compagnie (VOC) di Batavia untuk menumpas Pangeran Trunajaya. Rupanya Adipati Anom juga telah melihat bahwa kebencian Puger pada VOC dapat digunakan untuk memukul Puger itu sendiri. Mengingat VOC dengan pusatnya di Jepara telah sangat maju dari segi militer dibandingkan laskar pangeran mana pun.
            Dalam situasi seperti inilah, tampil sosok Kyai Mertanaya dari Semarang. Dalam Babad Tanah Jawi Meinsma, dikatakan bahwa Kyai Mertanaya adalah anak dari Ki Buyut Kalaweyan. Ketika Amangkurat II dalam perjalanan dari Pekalongan ke Jepara melalui laut, di tengah lautan kehabisan bekal. Ki Buyut Kalaweyan ini menghaturkan persembahan bahan makanan dan buah-buahan. Sebagai balas budi, kemudian Kyai Mertanaya dijadikan bupati di Semarang bergelar Mas Rangga Yudanegara. Sosok inilah yang kemudian meletakkan dasar-dasar pentingnya Semarang bagi eksistensi Mataram (Kartasura), di tengah ramainya kepentingan-kepentingan asing di pesisir.
            Mas Rangga Yudanegara adalah bupati pada daerah yang secara de facto dan de jure adalah milik VOC. Sebagaimana sejarah mencatat, setelah peperangan dengan Pangeran Trunajaya, Kartasura menyetujui hak penguasaan VOC atas sebagian wilayah Semarang. Widya Wijayanti menguraikan adanya beberapa kesepakatan seperti pada Oktober 1677, Januari 1678, dan Oktober 1705. Penguasaan ini sebagai bentuk imbalan atas bantuan VOC dalam penumpasan pemberontakan Pangeran Trunajaya. Babad Tanah Jawi suntingan Meinsma memberitakan setelah pemberontakan Pangeran Trunajaya ditumpas, dan Pangeran Puger dengan Susuhunan Amangkurat II telah berdamai, serdadu-serdadu VOC meminta undur diri ke Batavia.
“....Amral sakumpêninipun nuntên pamit mantuk dhatêng ing Bêtawi. Inggih sampun dipun-lilani dhatêng sang Prabu, sarta amral kaparingan nêgari ing Cirêbon sarta ing Pasundhan. Déné têlasipun ing obat mimis tuwin blanja salêbêt ing prang, punapa malih rêginipun tiyang Kumpêni kang sami pêjah prang, sang nata inggih sagah maringi têtêmpah. Sarta amral nyuwun lilah badhé damêl loji wontên ing Sêmawis. Sang nata inggih nglilani...” (Admiral dan pasukannya kemudian pamit pulang ke Batavia. Juga sudah diberi izin oleh sang raja, serta diberi hadiah negara di Cirebon dan Pasundan. Sedangkan habisnya mesiu dan belanja dalam peperangan, sang raja juga berjanji memberikan ganti rugi. Serta admiral meminta izin akan membuat loji di Semarang. Sang raja juga telah membolehkannya)

Dalam posisi demikian, Mas Rangga Yudanegara tidak lebih daripada penghubung kepentingan VOC kepada Sunan Kartasura, dan/atau sebaliknya. Di satu sisi, bupati Semarang harus mengedepankan pengabdian sebagai bupati yang tunduk pada Kartasura. Di lain pihak, ia adalah tangan kanan VOC untuk menentukan kebijakan raja. Keadaan ini adalah tonggak dimulainya sejarah perkembangan Semarang. Karena VOC mulai melirik Semarang sebagai daerah dagang yang sangat potensial. Bupati Semarang sangat berperan dalam menentukan sejarah Kartasura di era selanjutnya.
Keadaan ini nampaknya mirip pada kasus Jepara, di mana kongsi dagang VOC berpusat di daerah tersebut. Rupanya Susuhunan Amangkurat II berusaha menanan bupati yang diharapkan mampu menjembatani kepentingan Kartasura di pesisir. Dia adalah Ki Jiwaraga atau Tumenggung Martapura. Babad Tanah Jawi suntingan Meinsma memberitakan:
“...sangêt ing sukur kula, déné sampéyan, angsal sihipun sang prabu, kadadosakên bupati wontên ing Jêpara ngriki. Mêsthi badhé kénging kula békani...” (saya sangat bersyukur, bahwa anda, mendapat ganjaran sang prabu, dijadikan bupati di Jepara sini. Pasti dapat saya mintai tolong)

Kata-kata yang diucapkan pimpinan VOC di Jepara saat itu mengindikasikan sebuah permintaan kerja sama. Tetapi nampaknya pada kasus Jepara, Tumenggung Martapura adalah orang yang kukuh berpendirian. Sehingga VOC merasa terusik kepentingannya di Jepara. Untuk itu kemudian meminta Susuhunan Pakubuwana membunuh Tumenggung Martapura.
            Pada kasus Semarang, Kyai Mertanaya atau Mas Rangga Yudanegara adalah orang yang sangat kooperatif dengan VOC. Di masa Susuhunan Amangkurat III (Susuhunan Amangkurat Mas), bahkan ia terkesan sebagai bupati “bermuka dua.” Ketika Rangga Yudanegara menerima kedatangan Pangeran Puger yang lolos dari Keraton Kartasura, babad menggambarkan percakapan VOC pada sang bupati:
“...Ing samangsané Pangéran Pugêr iku nurut marang ing aturmu, kêrsa têdhak marang ing Sêmarang kéné, mêsthi kowé bakal tinarima marang jèndral utawa marang Kumpêni kabèh, kowé prasasat ngilangaké susahé wong Wêlanda, krana kang dadi ratu ing Kartasura saiki kêpaung...” (Jika Pangeran Puger menurut ke omonganmu, agar mau menuju Semarang, pasti kamu bakal menyenangkan jenderal --Gubernur Jenderal-- atau Kompeni semua, kamu seperti menghilangkan kesusahan orang Belanda, sebab raja di Kartasura sekarang berbudi jelek)
            Kedatangan Pangeran Puger di Semarang untuk meminta bantuan VOC rupanya atas prakarsa dari bupati Semarang, Mas Rangga Yudanegara. Di lain pihak, rupanya Susuhunan Amangkurat Mas berusaha melepaskan diri dari “lintah-lintah” VOC. Pertama, ia tidak memberi tahu perihal penobatannya menjadi raja pada pimpinan VOC. Kedua, ia telah memulai menyingkirkan Pangeran Puger dengan dalih mendalangi pemberontakan Raden Mas Suryakusuma. Ketiga, telah memulai konflik dengan Pangeran Cakraningrat dari Sampang, Madura. Keempat, ia telah mengangkat seorang keturunan Cina di Semarang bernama Ki Pusparaga, menjadi Tumenggung Jayaningrat. Ini tentu meresahkan kedudukan bupati Semarang, Mas Rangga Yudanegara. Gabungan VOC, Semarang, Puger, Madura, dan terakhir Surabaya, tentu saja bukan lawan yang seimbang bagi Kartasura. Ini adalah tonggak dimulainya suksesi Kartasura oleh Pangeran Puger.
Dibandingkan Kartasura, wilayah-wilayah pesisir memang sangat menguntungkan. Semarang telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai. Di lain tempat, Surabaya dan Madura juga telah berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang sangat kuat. Cakraningrat dan Jangrana, keduanya juga sangat menentukan perjalanan sejarah Kartasura. Menurut Ricklef, bahkan Cakraningrat memiliki kedekatan tersendiri dengan VOC. Berulang kali adipati dari Madura ini meminta untuk dijadikan vasal VOC. Sehingga bagi Cakraningrat, kedudukan Susuhunan Amangkurat Mas yang menampakkan diri sebagai raja anti VOC, jelas sangat membahayakannya.
Semarang semakin berkembang menjadi kota modern bergaya Indis. Mas Rangga Yudanegara semenjak Pangeran Puger menobatkan diri menjadi Pakubuwana I, ia dijunjung menjadi Adipati Sura Adi Menggala, Semarang. Seperti yang tertera pada Babad Tanah Jawi suntingan JJ. Meinsma, Pakubuwana I menandatangani perjanjian dengan VOC. Maka semenjak hari Kamis, tanggal 29 Jumadilawal 1629 (19 September 1705), secara praktis Semarang telah lepas dari Kartasura, dan menjadi pusat perdagangan VOC. Ini menghilangkan kewajiban Adipati Sura Adi Menggala untuk menghadap Pakubuwana I pada setiap waktu tertentu. Dalam ucapan Speelman, “...pun Adipati Sura Adi Mênggala kalilanana botên sowan ing sabên kala mangsa, yèn botên sarêng kumêndur ing Sêmawis...(mohon Adipati Sura Adi Menggala diizinkan tidak menghadap pada setiap waktu, apabila tidak bersamaan Commandeur di Semarang)”
Semarang-Mataram dan Permasalahan Etnisitas
            Identitas pluralistis Mataram dapat dikatakan memang sangat mirip dengan Indonesia dewasa ini. Kompleksnya masyarakat mataram seringkali menimbulkan kesan bahwa konflik-konflik yang ada dewasa ini, telah dimulai pada masa itu. Ada banyak catatan yang terkadang membikin kesan lucu akan kedunguan orang Jawa menyikapi perbedaan yang ada. Terlebih kepentingan politik tertentu mengharuskan suatu gap perbedaan itu terjadi, menjadi bola liar yang memicu gerak sejarah. Kronik-kronik seperti babad mencatat hal itu, membuka wawasan tentang makna sejarah dalam pentingnya kajian sosial masyarakat.
            Awal perbedaan tradisi yang sangat disoroti Babad Tanah Jawi adalah ketika Amangkurat II menahbiskan diri di Tegal. Ketika itu nampak bahwa orang Jawa sangat “kaget”, dengan cara orang Belanda berlaku kepada junjungan mereka. Babad menulis demikian:
“...Amral tuwin para upsir, sadhatêngipun ing arsané sang prabu, lajêng sami manthuk ngadêg kémawon sarta ngêmpit têpiyo, botên wontên ingkang sila. Para bupati tuwin kang sami ningali kêlangkung kagèt sarta éram, déné sami daksura...” (Admiral dan para opsir, datang ke hadapan sang prabu hanya menganggukkan kepala dengan berdiri dan mengempit topinya, tidak ada yang bersila. Para bupati dan semua yang melihat sangat kaget serta heran sebab –perbuatan-- mereka –dianggap— kurang ajar)
Ini mengindikasikan adanya suatu kekagetan psikologis akibat gap kebudayaan yang sangat berbeda. Orang Jawa saat itu jelas sangat tidak familier dengan budaya orang barat. Ini sangat menarik, bahwa babad mengawetkannya sebagai catatan sejarah. Ada indikasi kuat bahwa kala itu terjadi suatu pertentangan batin dalam diri setiap insan. Bagi bangsawan tradisi hedonis yang mereka terima dari penghormatan rakyat jelata, seolah tercabik bak daging dikoyak.
            Lebih jelas babad juga menguraikan ketika Tumenggung Martalaya sangat tersinggung dengan perilaku para opsir-opsir VOC tadi. Yang ia lakukan tidak hanya menyinggung terkait perbedaan adat dan tradisi, melainkan sudah menjurus pada gap keagamaan yang sangat riskan. Babad menulis:
“...Payo kapir, linggiha. Apa kowé ora wêruh, yèn iki ana ngarsané raja Mataram. Bangêt nggonmu kurang ajar...” (Hai kafir, duduklah. Apa kamu tidak melihat, jika sedang berada di hadapan raja Mataram. Kurang ajarmu sangat keterlaluan)
Tidak lagi sebuah perbedaan tradisi yang menimbulkan pertentangan. Namun telah meluncur menjadi bola liar yang sangat kompleks. Anggapan kafir pada serdadu VOC dan orang Eropa pada umumnya dapat dipahami sebagai bentuk “trauma keagamaan.” Permasalahan demikian kerapkali berkembang pada perkara yang lebih gawat. Doktrinasi keagamaan kelak juga sangat berpengaruh pada perjuangan melawan ketidakadilan di dekade selanjutnya.
            Di lain sisi, patronasi yang dilakukan Mataram dengan VOC seringkali dinafikan oleh kalangan bangsawan sendiri. Penyebabnya adalah gap keagamaan, sesuatu yang sangat riskan memicu pergolakan. Generalisasi masyarakat Jawa terhadap VOC adalah kaum kafir. Ini dapat kita temui sepanjang peristiwa yang tercatat dalam Babad Tanah Jawi. Misalnya ucapan Pangeran Puger yang menyatakan ketidak yakinannya pada Susuhunan Amangkurat II:
“...Sanadyan nyataa kakangmas, ingsun ya ora lila jumênêng nata mêngku ing tanah Jawa kabèh, krana déné nganthi marang wong kapir, mêsthi bakal agawé rusak ing wong tanah Jawa kabèh...” (Meskipun nyata kakakku, aku tidak akan menyetujui menjadi raja di tanah Jawa, sebab selalu bersamaan dengan orang kafir, pasti akan membuat rusak orang di tanah Jawa semua)
Ada banyak pernyataan-pernyataan serupa yang tertulis dalam babad. Semua menunjukkan bahwa perbedaan keagamaan sangat berpengaruh dalam interaksi kala itu. Tidak dapat dibayangkan bagaimana kolotnya sebuah pemahaman keagamaan, dalam kondisi jaringan global yang mengharuskan interaksi antar bangsa. Ini menjadi sebuah pemakluman sekaligus sesuatu yang sangat menggelikan.
            Dalam kaitannya dengan masalah etnik, Mataram telah memberikan bukti bahwa permasalahan serius ini bisa menjadi bumerang yang dahsyat. Salah satu penyebab kehancuran Mataram adalah permasalahan terkait etnik. Di Semarang sendiri, keberadaan orang-orang Cina dimungkinkan telah ada semenjak awal abad masehi. Tetapi, catatan yang selama ini dikenal sebagai kronik Sam Pho Kong menguraikan dengan sangat apik pelayaran Cheng Ho ke Nusantara. Dalam misinya, dimungkinkan telah singgah di pelabuhan Semarang kala itu. Slamet Mulyana menghubungkan keberadaan orang-orang Cina di Semarang terkait keberadaan galangan kapal kuno di sini.
            Rupa-rupanya batas pri dan non-pri di sini, dalam tingkat akar rumput secara umum telah luruh. Selama berabad-abad, orang Cina telah merangkak menjadi bagian yang penting dari studi kemasyarakatan di era masa lalu. Dalam Babad Tanah Jawi suntingan JJ. Meinsma, ada satu hal yang patut kita soroti. Ini mungkin merupakan konflik-konflik kepentingan yang awal dijumpai terkait masalah etnik. Dalam hal ini, dapat dilihat mobilisasi orang Cina yang mulai menyentuh unsur-unsur birokrasi Jawa. Menunjukkan kualitas kehidupan orang Cina yang telah mapan. Patut diberikan catatan, ini hal unik yang dibenturkan antara kepentingan politik dan ras. Tidak lagi pada persoalan keagamaan.
            Seperti telah disinggung di muka, Kyai Mertanaya yang dijadikan bupati Semarang bergelar Tumenggung Yudanegara lalu Adipati Sura Adi Menggala, merasa bahwa posisinya terancam oleh kedekatan Susuhunan Mangkurat Mas dengan orang Cina. Tidak lama setelah Susuhunan Mangkurat Mas menduduki kursi raja, ia mengangkat abdi terdekatnya. Yakni seorang peranakan Cina di Semarang, bernama Ki Pusparaga menjadi Tumenggung Jayaningrat. Kabar yang beredar, Tumenggung Jayaningrat akan dijadikan sebagai bupati di Semarang. Ini berarti akan menggantikan posisi Tumenggung Yudanegara di ladang yang sangat subur bagi bisnis perdagangan.
            Tetapi politik Tumenggung Yudanegara memang sangat manis. Ia menjalin kekuatan yang sangat solid dengan bupati-bupati pesisir, meliputi Jangrana di Surabaya dan Cakraningrat di Sampang, Madura. Blokade demikian tentu sangat merugikan posisi Kartasura. Apalagi dalam keadaan bersitegang dengan VOC, Susuhunan Amangkurat Mas benar-benar kehilangan taringnya. Sunan hanya dapat menghiba di hadapan para pengusaha Cina yang sama sekali tidak mementingkan perang. Bagaimana pun penghianatan Tumenggung Jayaningrat kepada Susuhunan Amangkurat Mas, adalah pukulan telak yang menunjukkan bahwa politik mendekati orang Cina keliru.
            Tetapi yang patut kita cermati adalah perihal kedekatan trah Amangkuratan dengan orang Cina. Di masa Susuhunan Amangkurat Mas barangkali memang merupakan awal bagi bangkitnya semangat patriotik Cina-Jawa. Bukan lagi sekedar Cina yang mempribumisasi, tetapi memang gap etnisitas telah hilang. Pada peristiwa Geger Pacinan, dapat dilihat bahwa orang Cina dan Jawa melebur dalam kepentingan yang serupa. Darajadi menguraikan semenjak terusirnya Susuhunan Amangkurat Mas dari Kartasura oleh Susuhunan Pakubuwana I, maka keluarga Amangkuratan hidup terlunta-lunta. Dalam pelbagai catatan, cucu Susuhunan Amangkurat Mas dari Pangeran Tepasana, ia sejak dirawat dirawat oleh saudagar keturunan etnik Cina di Grobogan. Raden Mas Garendi inilah yang kemudian menjadi figur penting dalam kaitannya dengan peristiwa perlawanan orang-orang Cina dan Jawa.
            Bangsawan-bangsawan Mataram dapat dikatakan memiliki kesadaran politik yang baik. Secara sadar patronasi yang dilakukan dengan VOC tidak lebih daripada hubungan yang menjengkelkan, ini mereka sadari. Semakin lemahnya kekuatan Mataram, menjadikan negeri ini mudah didikte. Layaknya sebuah opium bagi pencandu, ia dihisap akan memabukkan. Tetapi bila tak dihisap, sakau akan menghampiri seraya menebarkan penderitaan. Pun dengan Mataram. Semua perjanjian dengan VOC sangat menyudutkan posisi Mataram. Babad Tanah Jawi suntingan JJ. Meinsma menguraikan:
“...Punapaa panjênêngan dalêm wau botên nimbali kula? Ing saupami kula wontêna, panyuwunipun tuwan komasaris wau kados botên angsal. Kalih déné panjênêngan dalêm sumêrêpa watêkipun tiyang kumpêni punika saklangkung nracak: yèn angsal bancik, lajêng minggah ing pundhak. Têgêsipun, bilih dipun-lêgani manahipun, wêwah-wêwah ing pikajênganipun...” (Kenapa tadi anda tidak memanggil saya? Jika seandainya saya tahu, permintaan tuan komisaris pasti tidak boleh. Dan seperti yang anda ketahui watak orang Kompeni itu terlalu kurang ajar. Jika dapat pijakan, kemudian naik ke pundak. Maksudnya, bila diberi kelonggaran hatinya, gonta-ganti kemauannya)
            Dari percakapan Mas Rangga Yudanegara dengan Susuhunan Pakubuwana I, dapat kita ambil kesimpulan bahwa manufer politik bangsawan Jawa sesungguhnya baik. Yakni mampu membaca keinginan dan arah politik VOC. Tetapi susuhunan nampaknya ingin mencari aman dalam setiap perundingan dengan VOC. Ini dapat dilihat, meskipun banyak sekali perundingan dengan pihak VOC, Kartasura selalu mendapat tekanan dan kerugian yang besar. Sehingga VOC merasa harus mendukung raja yang mampu bersikap kooperatif dan lembek dengan Kompeni. Meskipun secara terang-terangan harus mendukung suatu makar, seperti pada kasus Pangeran Puger versus Susuhunan Amangkurat Mas.
Penutup
            Mataram harus merelakan Semarang kepada VOC. Secara nyata perdagangan di pesisir tak lagi bisa diatur oleh Mataram. Ia juga semakin berkembang menjadi negeri yang sangat plural. Ini adalah pijakan yang baik bagi perkembangan kerajaan-kerajaan kecil turunannya. Di abad 19 misalnya, Mangkunegaran menjadi kuat berkat tradisi agrarisnya. Yogyakarta, meskipun kalah oleh Inggris, tetapi memiliki angkatan perang yang kuat. Semarang telah menjadi kenangan dalam percaturan sejarah Mataram, tentang hilangnya sebuah kedaulatan. Juga tentang gambaran intrik dan masalah etnik yang sangat laten. (DL)

Semarang, 15 Agustus 2017


***

Jumat, 13 Januari 2017

Memuja Dewa di Candi Gedong Songo Ungaran



Memuja Dewa

di Candi Gedong Songo Ungaran

oleh
Agusta Prihantoro
(Mahasiswa Sejarah, Universitas Negeri Semarang)


Periode sejarah klasik di Indonesia merupakan masa ketika masyarakat kita menganut kepercayaan Hindu dan Buddha dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan (Poesponegoro, 1993: 26-27; Rahardjo, 2011: 2). Proses menuju ini telah berlangsung lama semenjak adanya hubungan intensif antara India dengan Nusantara. Hingga pada akhirnya membentuk pola peradaban khas, seperti misalnya di Jawa. Peradaban kuno di Jawa ini berlangsung sejak abad 8 hingga 15. Dalam periode ini, ditandai oleh pengaruh dominan peradaban India, khususnya agama Hindu dan Buddha yang ketika itu menyebar di wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur (Rahardjo, 2011: 2).
Salah satu pemikiran India yang diadopsi oleh masyarakat Jawa adalah konsep Dewa Gunung (parwatarājadewa) (Saringendyanti, 2008: 20). Menurut konsep India ini, alam semesta terdiri atas sebuah benua berbentuk lingkaran, yang disebut jambudwīpa. Tempat ini ditinggali segala makhluk hidup, dan dikelilingi oleh tujuh samudra serta tujuh lapis pegunungan. Sebagai titik pusat terdapat Gunung Mahāmeru (Meru) yang dipuncaknya terdapat kota para dewa. Puncak dari Meru ini dikelilingi oleh empat puncak lainnya yang lebih kecil (Kasdi, 2005: 93). Kenyataan adanya pemikiran demikian menumbuhkan kepercayaan masyarakat Jawa Kuno untuk menghormati, menjaga, dan memuliakan gunung-gunung.
David J. Stuart Fox seperti yang dikutip Setiawan (2012, 195-207), menyatakan bahwa masyarakat Jawa dan Bali memercayai puncak gunung dianggap sebagai kawasan suci dan tempat bersemayam roh leluhur. Sehingga dalam pandangan keagamaan, gunung-gunung tertinggi pada suatu lingkup wilayah tertentu merupakan mandala pemujaan terpenting di era Hindu-Buddha. Banyak bangunan suci keagamaan di era tersebut yang dibangun di atas gunung, pegunungan, atau setidaknya bukit. Rahardjo (2011: 463) mengungkapkan bahwa di Jawa setidaknya terdapat tujuh (7) kawasan mandala pemujaan yang berorientasi pada gunung/pegunungan. Yaitu Dieng, Gedong Songo, Merapi, Ratu Baka, Penanggungan, Arjuna-Ringgit, dan Lawu.
Salah satu gunung yang disucikan oleh masyarakat Hindu-Buddha di pesisir utara Jawa Tengah adalah Gunung Ungaran. Secara administratif gunung ini terletak di Kabupaten Semarang dengan ketinggian 2.050 meter di atas permukaan air laut. Nama Gunung Ungaran pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kuti bertanggal 18 Juli 840 (762 Śaka). Isi prasasti ini adalah penetapan tanah sima Waharu Kuti. Meskipun ditemukan di Jawa Timur, namun prasasti ini banyak menyebut nama-nama tempat yang dilokasikan di Jawa Tengah. Termasuk Śataśṛngga dan Dihyang (atau Dieng?) (Poesponegoro, 1993: 140). Dalam prasasti tersebut Gunung Ungaran disebut sebagai “Karundungan.” Sebagai berikut:
“...sakwaiḥ ta bhaṭāra baprakeśwara, kamuṅ hyaṅ i dihyaṅ, riṅ śataśṛṅga. kamuṅ hyaṅ i watu lampyar. kamuṅ hyaṅ marapwi. umaluṅ karuṇḍuṅan. Wukir sumbi[ṅ] saṅ hyaṅ susundara...” (Lempeng 8. B)
(...semua [dimuliakan] sebagai dewa di pertapaan, menjadi dewa di Dihyang, di Satasrengga, menjadi dewa di Watu Lampyar. menjadi dewa merapi. merbabu ungaran. Gunung sumbing [dan] dewa [di] Sindoro...)
         

           Selanjutnya, nama Gunung Ungaran juga dijumpai dalam naskah-naskah sastra. Beberapa naskah sastra yang menyebut keberadaan gunung ini adalah Tantu Panggelaran (naskah Jawa) dan Bujangga Manik (naskah Sunda). Tantu Panggelaran digolongkan sebagai karya sastra dari zaman Jawa Tengahan (pasca Majapahit). Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa (Jawa: gancaran). Isinya tentang pemindahan Mahāmeru dari Jambudwīpa ke Pulau Jawa. Dan penciptaan sepasang manusia pertama di Jawa (Poerbatjaraka, 1957: 57). Dalam naskah ini, disebut suatu tempat yang toponimnya mirip seperti dalam Prasasti Kuti, yakni “Karurungan/Karungrangan.” Ini kemudian diidentifikasikan sebagai Gunung Ungaran.

            Menurut A. Teeuw seperti yang dikutip Hawe Setiawan (Tanpa Tahun: 4) menyatakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung (atau ditulis?) pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Dalam naskah tersebut, dijumpai lagi toponim seperti yang telah disebutkan dalam karya sastra sebelumnya dan Prasasti Kuti. Kata tersebut adalah “Karungrungan” (bait 760-775). Terdapat dalam uraian seperti berikut:


“...nepi aing ka Panjalin. Sacu(n)duk aing ka Se(m)bung, ngalalar ka Paka(n)dangan. Sadatang ka Padanara, nu(n)juk gunung nyangkidulkeun: itu ta na gunung Rahung, ti kulonna gunung Diheng, itu ta gunung Sundara, itu ta na gunung Kedu, ti kidul gunung Damalung, inya na lurah Pantaran, itu gunung Karungrungan, sakakala na batara, basa rnitineung batari. Ti wetan bukit Marapi, sakakala Darmadewa...”


(...sampailah aku di Panjalin. Setiba aku di Sembung, berjalan melewati Pakandangan. Sedatang aku ke Padanara, menunjuk pegunungan di arah selatan: terdapat Gunung Rahung, dari arah barat Gunung Dieng, ada Gunung Sundara, ada Gunung Kedu, di selatan ada Gunung Damalung, tempat-tempat itu adalah wilayah Pantaran, itulah Gunung Karungrungan, di mana terdapat peninggalan dewa-dewa, ketika merindukan dewidewi. Di arah timur terdapat Gunung Merapi, menjaga peninggalan Darmadewa...) (Setiawan, Tanpa Tahun: 25)

Seperti dicatat dalam naskah tersebut, lagi-lagi kata Karungrungan harus diterjemahkan sebagai nama gunung, mengingat selalu disebut bersamaan dengan gunung lain di sekitarnya. Dalam naskah tersebut pula telah disinggung keberadaan sakakala na batara (peninggalan dewa), sehingga tepat bila diidentifikasi sebagai kompleks percandian Gedong Songo.

            Candi Gedong Songo adalah kawasan yang terdiri dari beberapa bangunan kuno berupa candi berlanggam kuno. Kompleks percandian ini secara administratif berada di Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang Jawa Tengah, berada pada lereng sisi selatan gunung Ungaran dengan ketinggian antara 1200 -1310 meter diatas permukaan air laut (skala altimeter Thomen-TX). Sedangkan secara astronomik situs Candi Gedongsongo menempati pada posisi 70 12 ' 16" LS. dan 30 31 '50" BT. meridian Jakarta (Wisjachudin F, 2001: 50-51).
Kompleks candi yang ditemukan pada tahun 1740 sudah banyak diperhatikan melalui penyelamatan, penelitian maupun pemugaran, baik oleh pemerintah Kolonial maupun pemerintah Indonesia. Terakhir dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah pada tahun 1977-1983. Memperhatikan ciri-ciri yang melekat pada bangunan candi misalnya pada arca-arca yang menempati relung-relung candi, adanya lingga dan yoni, adanya arca nandi maka latar belakang keagamaan kompleks Candi Gedongsongo adalah agama Hindu.
Meskipun suatu kawasan percandian, namun hingga sekarang belum ditemukan prasasti yang memperingati pendirian candi tersebut. berdasarkan pengamatan arsitektur bangunan, terutama dilihat dari bentuk bingkai kaki candi, diperkirakan candi ini sejaman dengan kompleks Candi Dieng di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjamegara. Sehingga kemungkinan bahwa kompleks Candi Gedongsongo dibangun pada abad ke-8 M, atau pada masa pemerintahan dinasti Sanjaya. Dengan ciri ragam hias serta arsitektur bangunan yang demikian tersebut merupakan corak paling kuna dibanding dengan candi-candi lainnya, yaitu suatu ragam hias yang diduga sejaman dengan candi-candi di Dieng (klasik awal) (Wisjachudin F, 2001: 54-55).
            Berdasarkan perhitungan pertanggalan absolut untuk mengetahui komunitas pendukung di Candi Gedong Songo, didapatkan kesimpulan yang cukup unik. Dinyatakan bahwa budaya situs Gedong Songo sejak dibangun pada abad ke-8 berlanjut minimal sampai abad ke-15. Kesimpulan ini diambil setelah dilakukan uji pertanggalan absolut melalui teknik radiokarbon (C14). Teknik ini sangat mendukung pengujian lingkungan budaya yang terjadi pada aktivitas budaya di lingkungan candi (Wisjachudin F, 2001: 55).
            Dari penelitian di atas, diketahui bahwa sejak dibangun pada abad 8, Candi Gedong Songo masih terus digunakan hingga abad 15. Kenyataan ini menampik anggapan bahwa seoalah-olah semenjak pusat peradaban Jawa pindah ke Jawa Timur (di masa mPu Sindok), wilayah Jawa Tengah menjadi kosong. Peradaban yang telah dibangun dengan megah ditinggalkan secara massal. Adanya aktivitas budaya di Gedong Songo setidaknya pada abad akhir Hindu-Buddha di Jawa, menjadi bukti bahwa peradaban di sekitar Ungaran masih terus berjalan. Yang demikian ini dijelaskan oleh Rahardjo (2011: 429) bahwa di Jawa terdapat lebih dari satu wilayah pusat (peradaban). Jawa juga meliputi wilayah yang cukup luas, sehingga dapat dijumpai lebih dari satu wilayah pusat, yang relatif sejajar kedudukannya sebagaimana terjadi di wilayah India. Sehingga muncul wilayah-wilayah pusat yang memiliki pola dinamikanya sendiri.
            Dalam pandangan awam, kata “songo” dalam Bahasa Jawa bermakna sembilan (9). Sehingga masyarakat menganggap kompleks percandian ini terdiri dari sembilan candi. Kenyataannya bahwa terdapat candi-candi kecil yang berada di sepanjang lereng Ungaran. Situs percandian Gedongsongo menempati area kurang lebih 5 hektar, keberadaan candicandinya tersebar pada punggung-punggung bukit. Berdasarkan riwayat bahwa dinamakan Gedongsongo karena terdapat adanya sembilan kelompok candi. Gedong (Jawa) berarti rumah, songo (Jawa) berarti sembilan, sehingga Candi Gedong Songo berarti sembilan rumah dewa. Namun pada kenyataannya saat ini yang masih tampak utuh hanya lima kelompok candi (dalam arti telah dipugar). Lainnya masih berupa reruntuhan batu-batu candi (Wisjachudin F, 2001: 51).
            Kaitannya dengan sarat pendirian suatu mandala pemujaan dalam sastra Hindu, Candi Gedong Songo memiliki kelengkapan kriteria. Santiko seperti yang dikutip Harto (Tanpa Tahun: 9), menyatakan bahwa berdasarkan beberapa perbandingan kitab Vastusastra diketahui bahwa tanah untuk candi dipilih jenis tanah yang baik berdasarkan warna, bau, kelandaian, jenis tanaman, kandungan tanah. Serta ada pengujian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tanah ini. Syarat lain tanah harus subur terindikasi dengan banyaknya kandungan air dari dalam tanah. Kemudian, pendirian bangunan suci sebaiknya dekat dengan air (tirtha) baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua sungai, danau, laut dan bahkan bila tidak ada harus dibuatkan kolam buatan di halaman kuil, atau diletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Lokasi bangunan suci (candi) juga didirikan di puncak bukit, lereng bukit, lembah atau hutan.
            Kompleks Candi Gedong Songo memiliki kelengkapan seperti disebutkan di atas. Lahan sekitar candi adalah kawasan pertanian yang subur. Mengingat pula bahwa jenis tanah vulkanis sangat cocok bagi pertanian. Di Gunung Ungaran banyak ditemui sumber mata air (Jawa: tuk) yang dialirkan menuju daerah-daerah sekitar Ungaran. Selain memang kita tahu bahwa lokasi Candi Gedong Songo memang berada di lereng Gunung Ungaran. Kesemuanya sesuai yang digariskan dalam Vastusastra mengenai tata cara pendirian bangunan suci keagamaan.
            Masyarakat sekitar Gedong Songo memercayai mitos Dasamuka yang dikurung di dalam perut Gunung Ungaran. Mitos ini berkaitan dengan adanya sumber air panas di sekitar kawasan candi. Konon, pengunjung candi yang kedapatan membawa arak akan menyebabkan kawah atau sumber air panas mengeluarkan semburan belerang (menggelegak). Hal ini karena menurut mitos, Dasamuka terangsang untuk bangkit dari dalam kawah gunung akibat bau dari arak yang dibawa pengunjung. Sehingga kearifan lokal ini secara tidak langsung menjaga kesucian lingkup Candi Gedong Songo dari hal-hal tidak baik.
Adapun mitos ini sesungguhnya disarikan dari Kakawin Arjunawijaya (dari era Majapahit) tentang Rahwana. Kakawin ini digubah oleh Mpu Tantular. Ikhtisar dapat dilihat pada karya Zoetmulder (1985: 411) yang menyatakan bahwa:
 

“...Daśamukha meneruskan perjalanannya sambil menyebarkan kehancuran dan berusaha mencapai puncak Gunung Kailāśa, tempat sang Śiwa sedang bercengkerama dengan Umā, permaisurinya. Raja raksasa itu dicegat oleh Nandīśwara, penjaga gunung itu; ia memperingatkan Daśamukha bahwa para dewa pun tidak berani datang ke sana serta mengganggu Śiwa dan Umā. Ketika si penjaga gunung itu diperolok-olok oleh Daśamukha karena kepalanya yang berbentuk kera, ia dikutuk dengan ramalan, bahwa kelak para kera akan menghancurkan keratonnya dan membunuh sanak saudaranya. Dalam kemarahannya Daśamukha mengangkat kaki gunung dan menggoncangkannya kian-kemari. Śiwa lalu menekan puncaknya sehingga tangan Daśamukha terjepit dan tidak dapat digerakkan lagi. Jeritannya menggema ke seluruh dunia dan ini mendorong Śiwa, yang kemudian membebaskannya, memberinya nama Rāwaṇa [jeritan]...” (Zoetmulder, 1985: 411-412)

Suara menggelegar dari kawah (yang sesungguhnya) adalah uap air yang disertai gas-gas (belerang, metana, dll), oleh masyarakat dianggap sebagai suara dari Dasamuka, raja raksasa dari Alengka yang dihukum Hanuman di perut gunung. Nampaknya mitos demikian bersumber dari karya sastra seperti yang dijelaskan di atas. Yang dimunculkan dalam ingatan kolektif masyarakat sebagai tuturan berupa dongeng/mitos.

            Masyarakat Desa Candi sebagai pendukung lokasi Candi Gedong Songo, menuturkan bahwa terdapat sebuah masjid yang dipercaya sebagai peninggalan Sunan Kalijaga. Menurut mereka masjid tersebut sebagai bukti bahwa pada masa lalu, Sunan Kalijaga datang ke situ dan mengislamkan daerah sekitar. Sehingga banyak warga masyarakat yang memeluk agama Islam.
            Tuturan ini sangat logis apabila dikaitkan dengan hasil perhitungan pertanggalan absolut untuk mengetahui komunitas pendukung di Candi Gedong Songo. Dalam perhitungan tersebut, setidaknya Candi Gedong Songo digunakan hingga abad ke-15, yaitu pada masa di mana dakwah Islam secara masif mulai digencarkan oleh masyarakat Islam di pesisir Jawa. Sehingga tuturan tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa dakwah Islam menjangkau jantung-jantung komunitas Hindu-Buddha, di Candi Gedong Songo. Terlepas dari siapa pun ulama yang mendakwahkan Islam di daerah tersebut.
            Candi Gedong Songo tidak lain adalah monumen budaya yang bertahan dari pelbagai perubahan zaman. Sejak dibangun pada era Hindu-Buddha, Islam, hingga era modern ini, Candi Gedong Songo masih perlu dikuak pelbagai misteri yang melingkupinya. Kontinuitas sejarah akan terus berjalan, sejalan dengan kepentingan pelestarian benda cagar budaya, atau pun sebaliknya. Semua tergantung pada kita semua.

****