Memuja Dewa
di Candi Gedong Songo Ungaran
oleh
Agusta Prihantoro
(Mahasiswa Sejarah, Universitas Negeri Semarang)
Periode sejarah klasik di Indonesia merupakan masa ketika masyarakat kita menganut kepercayaan Hindu dan Buddha dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan (Poesponegoro, 1993: 26-27; Rahardjo, 2011: 2). Proses menuju ini telah berlangsung lama semenjak adanya hubungan intensif antara India dengan Nusantara. Hingga pada akhirnya membentuk pola peradaban khas, seperti misalnya di Jawa. Peradaban kuno di Jawa ini berlangsung sejak abad 8 hingga 15. Dalam periode ini, ditandai oleh pengaruh dominan peradaban India, khususnya agama Hindu dan Buddha yang ketika itu menyebar di wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur (Rahardjo, 2011: 2).
Salah satu pemikiran India yang diadopsi oleh masyarakat Jawa adalah konsep Dewa Gunung (parwatarājadewa) (Saringendyanti, 2008: 20). Menurut konsep India ini, alam semesta terdiri atas sebuah benua berbentuk lingkaran, yang disebut jambudwīpa. Tempat ini ditinggali segala makhluk hidup, dan dikelilingi oleh tujuh samudra serta tujuh lapis pegunungan. Sebagai titik pusat terdapat Gunung Mahāmeru (Meru) yang dipuncaknya terdapat kota para dewa. Puncak dari Meru ini dikelilingi oleh empat puncak lainnya yang lebih kecil (Kasdi, 2005: 93). Kenyataan adanya pemikiran demikian menumbuhkan kepercayaan masyarakat Jawa Kuno untuk menghormati, menjaga, dan memuliakan gunung-gunung.
David J. Stuart Fox seperti yang dikutip Setiawan (2012, 195-207), menyatakan bahwa masyarakat Jawa dan Bali memercayai puncak gunung dianggap sebagai kawasan suci dan tempat bersemayam roh leluhur. Sehingga dalam pandangan keagamaan, gunung-gunung tertinggi pada suatu lingkup wilayah tertentu merupakan mandala pemujaan terpenting di era Hindu-Buddha. Banyak bangunan suci keagamaan di era tersebut yang dibangun di atas gunung, pegunungan, atau setidaknya bukit. Rahardjo (2011: 463) mengungkapkan bahwa di Jawa setidaknya terdapat tujuh (7) kawasan mandala pemujaan yang berorientasi pada gunung/pegunungan. Yaitu Dieng, Gedong Songo, Merapi, Ratu Baka, Penanggungan, Arjuna-Ringgit, dan Lawu.
Salah satu gunung yang disucikan oleh masyarakat Hindu-Buddha di pesisir utara Jawa Tengah adalah Gunung Ungaran. Secara administratif gunung ini terletak di Kabupaten Semarang dengan ketinggian 2.050 meter di atas permukaan air laut. Nama Gunung Ungaran pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kuti bertanggal 18 Juli 840 (762 Śaka). Isi prasasti ini adalah penetapan tanah sima Waharu Kuti. Meskipun ditemukan di Jawa Timur, namun prasasti ini banyak menyebut nama-nama tempat yang dilokasikan di Jawa Tengah. Termasuk Śataśṛngga dan Dihyang (atau Dieng?) (Poesponegoro, 1993: 140). Dalam prasasti tersebut Gunung Ungaran disebut sebagai “Karundungan.” Sebagai berikut:
(...semua [dimuliakan] sebagai dewa di pertapaan, menjadi dewa di Dihyang, di Satasrengga, menjadi dewa di Watu Lampyar. menjadi dewa merapi. merbabu ungaran. Gunung sumbing [dan] dewa [di] Sindoro...)
Selanjutnya,
nama Gunung Ungaran juga dijumpai dalam naskah-naskah sastra. Beberapa naskah
sastra yang menyebut keberadaan gunung ini adalah Tantu Panggelaran (naskah
Jawa) dan Bujangga Manik (naskah Sunda). Tantu Panggelaran digolongkan sebagai
karya sastra dari zaman Jawa Tengahan (pasca Majapahit). Naskah ini ditulis
dalam bentuk prosa (Jawa: gancaran). Isinya tentang pemindahan Mahāmeru dari
Jambudwīpa ke Pulau Jawa. Dan penciptaan sepasang manusia pertama di Jawa
(Poerbatjaraka, 1957: 57). Dalam naskah ini, disebut suatu tempat yang
toponimnya mirip seperti dalam Prasasti Kuti, yakni “Karurungan/Karungrangan.”
Ini kemudian diidentifikasikan sebagai Gunung Ungaran.
Menurut A. Teeuw seperti yang dikutip Hawe Setiawan (Tanpa Tahun: 4)
menyatakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung (atau ditulis?)
pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum
jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Dalam naskah tersebut, dijumpai lagi toponim
seperti yang telah disebutkan dalam karya sastra sebelumnya dan Prasasti Kuti.
Kata tersebut adalah “Karungrungan” (bait 760-775). Terdapat dalam uraian
seperti berikut:
“...nepi
aing ka Panjalin. Sacu(n)duk aing ka Se(m)bung, ngalalar ka Paka(n)dangan.
Sadatang ka Padanara, nu(n)juk gunung nyangkidulkeun: itu ta na gunung Rahung,
ti kulonna gunung Diheng, itu ta gunung Sundara, itu ta na gunung Kedu, ti
kidul gunung Damalung, inya na lurah Pantaran, itu gunung Karungrungan,
sakakala na batara, basa rnitineung batari. Ti wetan bukit Marapi, sakakala
Darmadewa...”
(...sampailah
aku di Panjalin. Setiba aku di Sembung, berjalan melewati Pakandangan. Sedatang
aku ke Padanara, menunjuk pegunungan di arah selatan: terdapat Gunung Rahung,
dari arah barat Gunung Dieng, ada Gunung Sundara, ada Gunung Kedu, di selatan
ada Gunung Damalung, tempat-tempat itu adalah wilayah Pantaran, itulah Gunung
Karungrungan, di mana terdapat peninggalan dewa-dewa, ketika merindukan
dewidewi. Di arah timur terdapat Gunung Merapi, menjaga peninggalan
Darmadewa...) (Setiawan, Tanpa Tahun: 25)
Seperti dicatat
dalam naskah tersebut, lagi-lagi kata Karungrungan harus diterjemahkan sebagai
nama gunung, mengingat selalu disebut bersamaan dengan gunung lain di
sekitarnya. Dalam naskah tersebut pula telah disinggung keberadaan sakakala
na batara (peninggalan dewa), sehingga tepat bila diidentifikasi sebagai
kompleks percandian Gedong Songo.
Candi Gedong Songo
adalah kawasan yang terdiri dari beberapa bangunan kuno berupa candi berlanggam
kuno. Kompleks percandian ini secara administratif berada di Dusun Darum, Desa
Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang Jawa Tengah, berada pada lereng
sisi selatan gunung Ungaran dengan ketinggian antara 1200 -1310 meter diatas
permukaan air laut (skala altimeter Thomen-TX). Sedangkan secara astronomik
situs Candi Gedongsongo menempati pada posisi 70 12 ' 16" LS. dan 30 31
'50" BT. meridian Jakarta (Wisjachudin F, 2001: 50-51).
Kompleks candi yang ditemukan pada
tahun 1740 sudah banyak diperhatikan melalui penyelamatan, penelitian maupun
pemugaran, baik oleh pemerintah Kolonial maupun pemerintah Indonesia. Terakhir
dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Jawa Tengah pada tahun 1977-1983. Memperhatikan ciri-ciri yang
melekat pada bangunan candi misalnya pada arca-arca yang menempati relung-relung
candi, adanya lingga dan yoni, adanya arca nandi maka latar belakang keagamaan
kompleks Candi Gedongsongo adalah agama Hindu.
Meskipun suatu kawasan percandian,
namun hingga sekarang belum ditemukan prasasti yang memperingati pendirian
candi tersebut. berdasarkan pengamatan arsitektur bangunan, terutama dilihat
dari bentuk bingkai kaki candi, diperkirakan candi ini sejaman dengan kompleks
Candi Dieng di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjamegara. Sehingga
kemungkinan bahwa kompleks Candi Gedongsongo dibangun pada abad ke-8 M, atau
pada masa pemerintahan dinasti Sanjaya. Dengan ciri ragam hias serta arsitektur
bangunan yang demikian tersebut merupakan corak paling kuna dibanding dengan
candi-candi lainnya, yaitu suatu ragam hias yang diduga sejaman dengan
candi-candi di Dieng (klasik awal) (Wisjachudin F, 2001: 54-55).
Berdasarkan perhitungan pertanggalan
absolut untuk mengetahui komunitas pendukung di Candi Gedong Songo, didapatkan
kesimpulan yang cukup unik. Dinyatakan bahwa budaya situs Gedong Songo sejak
dibangun pada abad ke-8 berlanjut minimal sampai abad ke-15. Kesimpulan ini
diambil setelah dilakukan uji pertanggalan absolut melalui teknik radiokarbon
(C14). Teknik ini sangat mendukung pengujian lingkungan budaya yang terjadi
pada aktivitas budaya di lingkungan candi (Wisjachudin F, 2001: 55).
Dari penelitian di atas, diketahui
bahwa sejak dibangun pada abad 8, Candi Gedong Songo masih terus digunakan
hingga abad 15. Kenyataan ini menampik anggapan bahwa seoalah-olah semenjak
pusat peradaban Jawa pindah ke Jawa Timur (di masa mPu Sindok), wilayah Jawa
Tengah menjadi kosong. Peradaban yang telah dibangun dengan megah ditinggalkan
secara massal. Adanya aktivitas budaya di Gedong Songo setidaknya pada abad
akhir Hindu-Buddha di Jawa, menjadi bukti bahwa peradaban di sekitar Ungaran
masih terus berjalan. Yang demikian ini dijelaskan oleh Rahardjo (2011: 429)
bahwa di Jawa terdapat lebih dari satu wilayah pusat (peradaban). Jawa juga
meliputi wilayah yang cukup luas, sehingga dapat dijumpai lebih dari satu
wilayah pusat, yang relatif sejajar kedudukannya sebagaimana terjadi di wilayah
India. Sehingga muncul wilayah-wilayah pusat yang memiliki pola dinamikanya
sendiri.
Dalam pandangan awam, kata “songo”
dalam Bahasa Jawa bermakna sembilan (9). Sehingga masyarakat menganggap kompleks
percandian ini terdiri dari sembilan candi. Kenyataannya bahwa terdapat
candi-candi kecil yang berada di sepanjang lereng Ungaran. Situs percandian
Gedongsongo menempati area kurang lebih 5 hektar, keberadaan candicandinya
tersebar pada punggung-punggung bukit. Berdasarkan riwayat bahwa dinamakan
Gedongsongo karena terdapat adanya sembilan kelompok candi. Gedong (Jawa)
berarti rumah, songo (Jawa) berarti sembilan, sehingga Candi Gedong Songo
berarti sembilan rumah dewa. Namun pada kenyataannya saat ini yang masih tampak
utuh hanya lima kelompok candi (dalam arti telah dipugar). Lainnya masih berupa
reruntuhan batu-batu candi (Wisjachudin F, 2001: 51).
Kaitannya dengan sarat pendirian
suatu mandala pemujaan dalam sastra Hindu, Candi Gedong Songo memiliki
kelengkapan kriteria. Santiko seperti yang dikutip Harto (Tanpa Tahun: 9),
menyatakan bahwa berdasarkan beberapa perbandingan kitab Vastusastra diketahui
bahwa tanah untuk candi dipilih jenis tanah yang baik berdasarkan warna, bau,
kelandaian, jenis tanaman, kandungan tanah. Serta ada pengujian mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan tanah ini. Syarat lain tanah harus subur
terindikasi dengan banyaknya kandungan air dari dalam tanah. Kemudian,
pendirian bangunan suci sebaiknya dekat dengan air (tirtha) baik air
sungai, terutama di dekat pertemuan dua sungai, danau, laut dan bahkan bila
tidak ada harus dibuatkan kolam buatan di halaman kuil, atau diletakkan sebuah
jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Lokasi
bangunan suci (candi) juga didirikan di puncak bukit, lereng bukit, lembah atau
hutan.
Kompleks Candi Gedong Songo memiliki
kelengkapan seperti disebutkan di atas. Lahan sekitar candi adalah kawasan
pertanian yang subur. Mengingat pula bahwa jenis tanah vulkanis sangat cocok
bagi pertanian. Di Gunung Ungaran banyak ditemui sumber mata air (Jawa: tuk)
yang dialirkan menuju daerah-daerah sekitar Ungaran. Selain memang kita tahu
bahwa lokasi Candi Gedong Songo memang berada di lereng Gunung Ungaran.
Kesemuanya sesuai yang digariskan dalam Vastusastra mengenai tata cara
pendirian bangunan suci keagamaan.
Masyarakat sekitar Gedong Songo
memercayai mitos Dasamuka yang dikurung di dalam perut Gunung Ungaran. Mitos
ini berkaitan dengan adanya sumber air panas di sekitar kawasan candi. Konon,
pengunjung candi yang kedapatan membawa arak akan menyebabkan kawah atau sumber
air panas mengeluarkan semburan belerang (menggelegak). Hal ini karena menurut
mitos, Dasamuka terangsang untuk bangkit dari dalam kawah gunung akibat bau
dari arak yang dibawa pengunjung. Sehingga kearifan lokal ini secara tidak
langsung menjaga kesucian lingkup Candi Gedong Songo dari hal-hal tidak baik.
Adapun
mitos ini sesungguhnya disarikan dari Kakawin Arjunawijaya (dari era Majapahit)
tentang Rahwana. Kakawin ini digubah oleh Mpu Tantular. Ikhtisar dapat dilihat
pada karya Zoetmulder (1985: 411) yang menyatakan bahwa:
“...Daśamukha
meneruskan perjalanannya sambil menyebarkan kehancuran dan berusaha mencapai
puncak Gunung Kailāśa, tempat sang Śiwa sedang bercengkerama dengan Umā,
permaisurinya. Raja raksasa itu dicegat oleh Nandīśwara, penjaga gunung itu; ia
memperingatkan Daśamukha bahwa para dewa pun tidak berani datang ke sana serta
mengganggu Śiwa dan Umā. Ketika si penjaga gunung itu diperolok-olok oleh
Daśamukha karena kepalanya yang berbentuk kera, ia dikutuk dengan ramalan, bahwa
kelak para kera akan menghancurkan keratonnya dan membunuh sanak saudaranya.
Dalam kemarahannya Daśamukha mengangkat kaki gunung dan menggoncangkannya
kian-kemari. Śiwa lalu menekan puncaknya sehingga tangan Daśamukha terjepit dan
tidak dapat digerakkan lagi. Jeritannya menggema ke seluruh dunia dan ini
mendorong Śiwa, yang kemudian membebaskannya, memberinya nama Rāwaṇa
[jeritan]...” (Zoetmulder, 1985: 411-412)
Suara
menggelegar dari kawah (yang sesungguhnya) adalah uap air yang disertai gas-gas
(belerang, metana, dll), oleh masyarakat dianggap sebagai suara dari Dasamuka,
raja raksasa dari Alengka yang dihukum Hanuman di perut gunung. Nampaknya mitos
demikian bersumber dari karya sastra seperti yang dijelaskan di atas. Yang dimunculkan
dalam ingatan kolektif masyarakat sebagai tuturan berupa dongeng/mitos.
Masyarakat Desa Candi sebagai
pendukung lokasi Candi Gedong Songo, menuturkan bahwa terdapat sebuah masjid
yang dipercaya sebagai peninggalan Sunan Kalijaga. Menurut mereka masjid
tersebut sebagai bukti bahwa pada masa lalu, Sunan Kalijaga datang ke situ dan
mengislamkan daerah sekitar. Sehingga banyak warga masyarakat yang memeluk
agama Islam.
Tuturan ini sangat logis apabila
dikaitkan dengan hasil perhitungan pertanggalan absolut untuk mengetahui
komunitas pendukung di Candi Gedong Songo. Dalam perhitungan tersebut,
setidaknya Candi Gedong Songo digunakan hingga abad ke-15, yaitu pada masa di
mana dakwah Islam secara masif mulai digencarkan oleh masyarakat Islam di
pesisir Jawa. Sehingga tuturan tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa dakwah
Islam menjangkau jantung-jantung komunitas Hindu-Buddha, di Candi Gedong Songo.
Terlepas dari siapa pun ulama yang mendakwahkan Islam di daerah tersebut.
Candi Gedong Songo tidak lain adalah
monumen budaya yang bertahan dari pelbagai perubahan zaman. Sejak dibangun pada
era Hindu-Buddha, Islam, hingga era modern ini, Candi Gedong Songo masih perlu
dikuak pelbagai misteri yang melingkupinya. Kontinuitas sejarah akan terus
berjalan, sejalan dengan kepentingan pelestarian benda cagar budaya, atau pun
sebaliknya. Semua tergantung pada kita semua.
****