Jumat, 13 Januari 2017

Memuja Dewa di Candi Gedong Songo Ungaran



Memuja Dewa

di Candi Gedong Songo Ungaran

oleh
Agusta Prihantoro
(Mahasiswa Sejarah, Universitas Negeri Semarang)


Periode sejarah klasik di Indonesia merupakan masa ketika masyarakat kita menganut kepercayaan Hindu dan Buddha dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan (Poesponegoro, 1993: 26-27; Rahardjo, 2011: 2). Proses menuju ini telah berlangsung lama semenjak adanya hubungan intensif antara India dengan Nusantara. Hingga pada akhirnya membentuk pola peradaban khas, seperti misalnya di Jawa. Peradaban kuno di Jawa ini berlangsung sejak abad 8 hingga 15. Dalam periode ini, ditandai oleh pengaruh dominan peradaban India, khususnya agama Hindu dan Buddha yang ketika itu menyebar di wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur (Rahardjo, 2011: 2).
Salah satu pemikiran India yang diadopsi oleh masyarakat Jawa adalah konsep Dewa Gunung (parwatarājadewa) (Saringendyanti, 2008: 20). Menurut konsep India ini, alam semesta terdiri atas sebuah benua berbentuk lingkaran, yang disebut jambudwīpa. Tempat ini ditinggali segala makhluk hidup, dan dikelilingi oleh tujuh samudra serta tujuh lapis pegunungan. Sebagai titik pusat terdapat Gunung Mahāmeru (Meru) yang dipuncaknya terdapat kota para dewa. Puncak dari Meru ini dikelilingi oleh empat puncak lainnya yang lebih kecil (Kasdi, 2005: 93). Kenyataan adanya pemikiran demikian menumbuhkan kepercayaan masyarakat Jawa Kuno untuk menghormati, menjaga, dan memuliakan gunung-gunung.
David J. Stuart Fox seperti yang dikutip Setiawan (2012, 195-207), menyatakan bahwa masyarakat Jawa dan Bali memercayai puncak gunung dianggap sebagai kawasan suci dan tempat bersemayam roh leluhur. Sehingga dalam pandangan keagamaan, gunung-gunung tertinggi pada suatu lingkup wilayah tertentu merupakan mandala pemujaan terpenting di era Hindu-Buddha. Banyak bangunan suci keagamaan di era tersebut yang dibangun di atas gunung, pegunungan, atau setidaknya bukit. Rahardjo (2011: 463) mengungkapkan bahwa di Jawa setidaknya terdapat tujuh (7) kawasan mandala pemujaan yang berorientasi pada gunung/pegunungan. Yaitu Dieng, Gedong Songo, Merapi, Ratu Baka, Penanggungan, Arjuna-Ringgit, dan Lawu.
Salah satu gunung yang disucikan oleh masyarakat Hindu-Buddha di pesisir utara Jawa Tengah adalah Gunung Ungaran. Secara administratif gunung ini terletak di Kabupaten Semarang dengan ketinggian 2.050 meter di atas permukaan air laut. Nama Gunung Ungaran pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kuti bertanggal 18 Juli 840 (762 Śaka). Isi prasasti ini adalah penetapan tanah sima Waharu Kuti. Meskipun ditemukan di Jawa Timur, namun prasasti ini banyak menyebut nama-nama tempat yang dilokasikan di Jawa Tengah. Termasuk Śataśṛngga dan Dihyang (atau Dieng?) (Poesponegoro, 1993: 140). Dalam prasasti tersebut Gunung Ungaran disebut sebagai “Karundungan.” Sebagai berikut:
“...sakwaiḥ ta bhaṭāra baprakeśwara, kamuṅ hyaṅ i dihyaṅ, riṅ śataśṛṅga. kamuṅ hyaṅ i watu lampyar. kamuṅ hyaṅ marapwi. umaluṅ karuṇḍuṅan. Wukir sumbi[ṅ] saṅ hyaṅ susundara...” (Lempeng 8. B)
(...semua [dimuliakan] sebagai dewa di pertapaan, menjadi dewa di Dihyang, di Satasrengga, menjadi dewa di Watu Lampyar. menjadi dewa merapi. merbabu ungaran. Gunung sumbing [dan] dewa [di] Sindoro...)
         

           Selanjutnya, nama Gunung Ungaran juga dijumpai dalam naskah-naskah sastra. Beberapa naskah sastra yang menyebut keberadaan gunung ini adalah Tantu Panggelaran (naskah Jawa) dan Bujangga Manik (naskah Sunda). Tantu Panggelaran digolongkan sebagai karya sastra dari zaman Jawa Tengahan (pasca Majapahit). Naskah ini ditulis dalam bentuk prosa (Jawa: gancaran). Isinya tentang pemindahan Mahāmeru dari Jambudwīpa ke Pulau Jawa. Dan penciptaan sepasang manusia pertama di Jawa (Poerbatjaraka, 1957: 57). Dalam naskah ini, disebut suatu tempat yang toponimnya mirip seperti dalam Prasasti Kuti, yakni “Karurungan/Karungrangan.” Ini kemudian diidentifikasikan sebagai Gunung Ungaran.

            Menurut A. Teeuw seperti yang dikutip Hawe Setiawan (Tanpa Tahun: 4) menyatakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung (atau ditulis?) pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Dalam naskah tersebut, dijumpai lagi toponim seperti yang telah disebutkan dalam karya sastra sebelumnya dan Prasasti Kuti. Kata tersebut adalah “Karungrungan” (bait 760-775). Terdapat dalam uraian seperti berikut:


“...nepi aing ka Panjalin. Sacu(n)duk aing ka Se(m)bung, ngalalar ka Paka(n)dangan. Sadatang ka Padanara, nu(n)juk gunung nyangkidulkeun: itu ta na gunung Rahung, ti kulonna gunung Diheng, itu ta gunung Sundara, itu ta na gunung Kedu, ti kidul gunung Damalung, inya na lurah Pantaran, itu gunung Karungrungan, sakakala na batara, basa rnitineung batari. Ti wetan bukit Marapi, sakakala Darmadewa...”


(...sampailah aku di Panjalin. Setiba aku di Sembung, berjalan melewati Pakandangan. Sedatang aku ke Padanara, menunjuk pegunungan di arah selatan: terdapat Gunung Rahung, dari arah barat Gunung Dieng, ada Gunung Sundara, ada Gunung Kedu, di selatan ada Gunung Damalung, tempat-tempat itu adalah wilayah Pantaran, itulah Gunung Karungrungan, di mana terdapat peninggalan dewa-dewa, ketika merindukan dewidewi. Di arah timur terdapat Gunung Merapi, menjaga peninggalan Darmadewa...) (Setiawan, Tanpa Tahun: 25)

Seperti dicatat dalam naskah tersebut, lagi-lagi kata Karungrungan harus diterjemahkan sebagai nama gunung, mengingat selalu disebut bersamaan dengan gunung lain di sekitarnya. Dalam naskah tersebut pula telah disinggung keberadaan sakakala na batara (peninggalan dewa), sehingga tepat bila diidentifikasi sebagai kompleks percandian Gedong Songo.

            Candi Gedong Songo adalah kawasan yang terdiri dari beberapa bangunan kuno berupa candi berlanggam kuno. Kompleks percandian ini secara administratif berada di Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang Jawa Tengah, berada pada lereng sisi selatan gunung Ungaran dengan ketinggian antara 1200 -1310 meter diatas permukaan air laut (skala altimeter Thomen-TX). Sedangkan secara astronomik situs Candi Gedongsongo menempati pada posisi 70 12 ' 16" LS. dan 30 31 '50" BT. meridian Jakarta (Wisjachudin F, 2001: 50-51).
Kompleks candi yang ditemukan pada tahun 1740 sudah banyak diperhatikan melalui penyelamatan, penelitian maupun pemugaran, baik oleh pemerintah Kolonial maupun pemerintah Indonesia. Terakhir dipugar oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah pada tahun 1977-1983. Memperhatikan ciri-ciri yang melekat pada bangunan candi misalnya pada arca-arca yang menempati relung-relung candi, adanya lingga dan yoni, adanya arca nandi maka latar belakang keagamaan kompleks Candi Gedongsongo adalah agama Hindu.
Meskipun suatu kawasan percandian, namun hingga sekarang belum ditemukan prasasti yang memperingati pendirian candi tersebut. berdasarkan pengamatan arsitektur bangunan, terutama dilihat dari bentuk bingkai kaki candi, diperkirakan candi ini sejaman dengan kompleks Candi Dieng di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjamegara. Sehingga kemungkinan bahwa kompleks Candi Gedongsongo dibangun pada abad ke-8 M, atau pada masa pemerintahan dinasti Sanjaya. Dengan ciri ragam hias serta arsitektur bangunan yang demikian tersebut merupakan corak paling kuna dibanding dengan candi-candi lainnya, yaitu suatu ragam hias yang diduga sejaman dengan candi-candi di Dieng (klasik awal) (Wisjachudin F, 2001: 54-55).
            Berdasarkan perhitungan pertanggalan absolut untuk mengetahui komunitas pendukung di Candi Gedong Songo, didapatkan kesimpulan yang cukup unik. Dinyatakan bahwa budaya situs Gedong Songo sejak dibangun pada abad ke-8 berlanjut minimal sampai abad ke-15. Kesimpulan ini diambil setelah dilakukan uji pertanggalan absolut melalui teknik radiokarbon (C14). Teknik ini sangat mendukung pengujian lingkungan budaya yang terjadi pada aktivitas budaya di lingkungan candi (Wisjachudin F, 2001: 55).
            Dari penelitian di atas, diketahui bahwa sejak dibangun pada abad 8, Candi Gedong Songo masih terus digunakan hingga abad 15. Kenyataan ini menampik anggapan bahwa seoalah-olah semenjak pusat peradaban Jawa pindah ke Jawa Timur (di masa mPu Sindok), wilayah Jawa Tengah menjadi kosong. Peradaban yang telah dibangun dengan megah ditinggalkan secara massal. Adanya aktivitas budaya di Gedong Songo setidaknya pada abad akhir Hindu-Buddha di Jawa, menjadi bukti bahwa peradaban di sekitar Ungaran masih terus berjalan. Yang demikian ini dijelaskan oleh Rahardjo (2011: 429) bahwa di Jawa terdapat lebih dari satu wilayah pusat (peradaban). Jawa juga meliputi wilayah yang cukup luas, sehingga dapat dijumpai lebih dari satu wilayah pusat, yang relatif sejajar kedudukannya sebagaimana terjadi di wilayah India. Sehingga muncul wilayah-wilayah pusat yang memiliki pola dinamikanya sendiri.
            Dalam pandangan awam, kata “songo” dalam Bahasa Jawa bermakna sembilan (9). Sehingga masyarakat menganggap kompleks percandian ini terdiri dari sembilan candi. Kenyataannya bahwa terdapat candi-candi kecil yang berada di sepanjang lereng Ungaran. Situs percandian Gedongsongo menempati area kurang lebih 5 hektar, keberadaan candicandinya tersebar pada punggung-punggung bukit. Berdasarkan riwayat bahwa dinamakan Gedongsongo karena terdapat adanya sembilan kelompok candi. Gedong (Jawa) berarti rumah, songo (Jawa) berarti sembilan, sehingga Candi Gedong Songo berarti sembilan rumah dewa. Namun pada kenyataannya saat ini yang masih tampak utuh hanya lima kelompok candi (dalam arti telah dipugar). Lainnya masih berupa reruntuhan batu-batu candi (Wisjachudin F, 2001: 51).
            Kaitannya dengan sarat pendirian suatu mandala pemujaan dalam sastra Hindu, Candi Gedong Songo memiliki kelengkapan kriteria. Santiko seperti yang dikutip Harto (Tanpa Tahun: 9), menyatakan bahwa berdasarkan beberapa perbandingan kitab Vastusastra diketahui bahwa tanah untuk candi dipilih jenis tanah yang baik berdasarkan warna, bau, kelandaian, jenis tanaman, kandungan tanah. Serta ada pengujian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tanah ini. Syarat lain tanah harus subur terindikasi dengan banyaknya kandungan air dari dalam tanah. Kemudian, pendirian bangunan suci sebaiknya dekat dengan air (tirtha) baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua sungai, danau, laut dan bahkan bila tidak ada harus dibuatkan kolam buatan di halaman kuil, atau diletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Lokasi bangunan suci (candi) juga didirikan di puncak bukit, lereng bukit, lembah atau hutan.
            Kompleks Candi Gedong Songo memiliki kelengkapan seperti disebutkan di atas. Lahan sekitar candi adalah kawasan pertanian yang subur. Mengingat pula bahwa jenis tanah vulkanis sangat cocok bagi pertanian. Di Gunung Ungaran banyak ditemui sumber mata air (Jawa: tuk) yang dialirkan menuju daerah-daerah sekitar Ungaran. Selain memang kita tahu bahwa lokasi Candi Gedong Songo memang berada di lereng Gunung Ungaran. Kesemuanya sesuai yang digariskan dalam Vastusastra mengenai tata cara pendirian bangunan suci keagamaan.
            Masyarakat sekitar Gedong Songo memercayai mitos Dasamuka yang dikurung di dalam perut Gunung Ungaran. Mitos ini berkaitan dengan adanya sumber air panas di sekitar kawasan candi. Konon, pengunjung candi yang kedapatan membawa arak akan menyebabkan kawah atau sumber air panas mengeluarkan semburan belerang (menggelegak). Hal ini karena menurut mitos, Dasamuka terangsang untuk bangkit dari dalam kawah gunung akibat bau dari arak yang dibawa pengunjung. Sehingga kearifan lokal ini secara tidak langsung menjaga kesucian lingkup Candi Gedong Songo dari hal-hal tidak baik.
Adapun mitos ini sesungguhnya disarikan dari Kakawin Arjunawijaya (dari era Majapahit) tentang Rahwana. Kakawin ini digubah oleh Mpu Tantular. Ikhtisar dapat dilihat pada karya Zoetmulder (1985: 411) yang menyatakan bahwa:
 

“...Daśamukha meneruskan perjalanannya sambil menyebarkan kehancuran dan berusaha mencapai puncak Gunung Kailāśa, tempat sang Śiwa sedang bercengkerama dengan Umā, permaisurinya. Raja raksasa itu dicegat oleh Nandīśwara, penjaga gunung itu; ia memperingatkan Daśamukha bahwa para dewa pun tidak berani datang ke sana serta mengganggu Śiwa dan Umā. Ketika si penjaga gunung itu diperolok-olok oleh Daśamukha karena kepalanya yang berbentuk kera, ia dikutuk dengan ramalan, bahwa kelak para kera akan menghancurkan keratonnya dan membunuh sanak saudaranya. Dalam kemarahannya Daśamukha mengangkat kaki gunung dan menggoncangkannya kian-kemari. Śiwa lalu menekan puncaknya sehingga tangan Daśamukha terjepit dan tidak dapat digerakkan lagi. Jeritannya menggema ke seluruh dunia dan ini mendorong Śiwa, yang kemudian membebaskannya, memberinya nama Rāwaṇa [jeritan]...” (Zoetmulder, 1985: 411-412)

Suara menggelegar dari kawah (yang sesungguhnya) adalah uap air yang disertai gas-gas (belerang, metana, dll), oleh masyarakat dianggap sebagai suara dari Dasamuka, raja raksasa dari Alengka yang dihukum Hanuman di perut gunung. Nampaknya mitos demikian bersumber dari karya sastra seperti yang dijelaskan di atas. Yang dimunculkan dalam ingatan kolektif masyarakat sebagai tuturan berupa dongeng/mitos.

            Masyarakat Desa Candi sebagai pendukung lokasi Candi Gedong Songo, menuturkan bahwa terdapat sebuah masjid yang dipercaya sebagai peninggalan Sunan Kalijaga. Menurut mereka masjid tersebut sebagai bukti bahwa pada masa lalu, Sunan Kalijaga datang ke situ dan mengislamkan daerah sekitar. Sehingga banyak warga masyarakat yang memeluk agama Islam.
            Tuturan ini sangat logis apabila dikaitkan dengan hasil perhitungan pertanggalan absolut untuk mengetahui komunitas pendukung di Candi Gedong Songo. Dalam perhitungan tersebut, setidaknya Candi Gedong Songo digunakan hingga abad ke-15, yaitu pada masa di mana dakwah Islam secara masif mulai digencarkan oleh masyarakat Islam di pesisir Jawa. Sehingga tuturan tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa dakwah Islam menjangkau jantung-jantung komunitas Hindu-Buddha, di Candi Gedong Songo. Terlepas dari siapa pun ulama yang mendakwahkan Islam di daerah tersebut.
            Candi Gedong Songo tidak lain adalah monumen budaya yang bertahan dari pelbagai perubahan zaman. Sejak dibangun pada era Hindu-Buddha, Islam, hingga era modern ini, Candi Gedong Songo masih perlu dikuak pelbagai misteri yang melingkupinya. Kontinuitas sejarah akan terus berjalan, sejalan dengan kepentingan pelestarian benda cagar budaya, atau pun sebaliknya. Semua tergantung pada kita semua.

****